Menuju konten utama

Pemerintah Paksa Harga Tiket Pesawat Turun, tapi Abai Soal Kartel?

Direktur Riset CORE, Piter Abdullah menilai upaya menurunkan harga tiket pesawat tidak cukup hanya mengotak-atik harga avtur saja.

Pemerintah Paksa Harga Tiket Pesawat Turun, tapi Abai Soal Kartel?
Petugas melakukan pengisian bahan bakar avtur pada salah satu pesawat komersial di Apron Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (12/6). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

tirto.id - Pemerintah kembali meminta maskapai penerbangan menurunkan harga tiket. Alasannya, tiket pesawat saat ini terlampau mahal dan dinilai memberatkan masyarakat. Langkah ini sebagai tindak lanjut dari masukan industri pariwisata, di antaranya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan ASITA.

Kabar ini mencuat usai notulensi rapat tertanggal 25 Maret 2019 bocor dan ramai di media. Isi dari notulensi ini pun dibenarkan oleh Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies ( ASITA), Nunung Rusmiato.

“Iya betul [notulensi itu]. Betul saya hadir juga waktu itu,” ucap Nunung saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Kamis (28/3/2019).

Dalam notulensi itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan bahkan dicatat memberi ultimatum untuk segera menurunkan harga tiket per April 2019. Namun, Luhut telah membantah hal ini.

“Enggak juga. Kami enggak bilang begitu. Jangan terlalu itu lah. Kami bilang [ke maskapai] coba lihat suasana pasar bagaimana,” kata Luhut kepada wartawan di Ayana Midplaza, Rabu, 27 Maret 2019.

Kendati demikian, Luhut membenarkan bila salah satu opsi yang disediakan pemerintah untuk mendukung penurunan tarif pesawat itu adalah dengan menekan harga avtur.

Upaya ini pernah dilakukan pemerintah dengan memerintahkan Pertamina. Perusahaan pelat merah itu pun resmi menurunkan harga avtur terhitung mulai 16 Februari 2019. Harga avtur (published rate) untuk bandara Soekarno Hatta Cengkareng, misalnya, mengalami penurunan dari sebelumnya Rp8.210 per liter menjadi Rp7.960 per liter.

Tak hanya itu, pemerintah juga mengundang perusahaan selain Pertamina untuk berbisnis avtur, salah satunya BP-AKR. Luhut menuturkan, keputusan untuk memberi lampu hijau bagi calon kompetitor Pertamina itu tidak perlu menunggu waktu lama.

“Ya kami mau [mereka jual avtur]. Kalau mereka [tanya] tanggal berapa, saya bilang ngapain tunggu lama-lama,” ucap Luhut.

Namun, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menilai upaya menurunkan harga tiket pesawat tidak cukup hanya mengotak-atik harga avtur saja. Sebab, kata dia, komposisi avtur dalam biaya operasional pesawat hanya berada di kisaran 10 persen.

Sebaliknya, Piter menilai mahalnya harga tiket pesawat ini lebih disebabkan karena banyak penerbangan yang tidak efisien. Seperti penerbangan yang dilakukan dengan jumlah penumpang sedikit atau batal karena alasan yang sama.

“Saya kira [menurunkan harga] avtur enggak cukup ya. Biaya utamanya dari banyak pesawat yang tidak berangkat atau tetap terbang tapi dengan jumlah penumpang sedikit. Jadi tidak efisien dan dia merugi,” kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, pada Kamis (28/3/2019).

Menurut Piter, hal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya bandara yang baru dibangun pemerintah. Konsekuensinya, kata dia, fokus maskapai dalam melayani penerbangan terpecah lantaran banyaknya bandara yang harus diladeni, sementara jumlah penumpang yang terkumpul juga tersebar.

Belum lagi, kata Piter, akhir-akhir ini pemerintah juga banyak meminta pembukaan rute baru yang segera harus dilayani maskapai.

“Misal Yogja, Solo, Semarang ada bandara masing-masing. Kenapa enggak satu saja, tapi di tengah-tengah. Akibatnya penerbangan terpecah dan tidak efisien. Kalau efisien, penerbangan akan selalu penuh dan harga tiket bisa lebih murah,” ucap Piter.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda juga menyangsikan dalih pemerintah yang mengaitkan penurunan tiket pesawat dengan harga avtur. Pasalnya, harga avtur di Bandara Soekarno Hatta, menurut dia, sudah 26 persen lebih rendah dari Changi, Singapura.

Sebaliknya, Nailul melihat adanya kecenderungan pemerintah untuk menepis dugaan kartel yang menyelimuti industri penerbangan Indonesia. Hal ini terutama usai Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan penyelidikan. Di saat yang sama, pemerintah terdesak akibat keluhan masyarakat untuk menurunkan harga tiket.

Karena itu, Nailul menyarankan pemerintah lebih terbuka bagi pasar penerbangan domestik, seperti meniadakan batas bawah. Tujuannya, kata dia, agar perusahaan penerbangan lain dapat masuk sehingga harga dapat lebih bersaing.

“Memaksa untuk menurunkan harga sebenarnya tindakan reaktif pemerintah atas desakan masyarakat. Jika praktik kartel yang diduga kuat ini masih ada, maka harga tiket pesawat tidak akan turun signifikan karena ini akar masalahnya,” ucap Nailul.

Respons Maskapai

Maskapai penerbangan pun tampak pasrah merespons desakan pemerintah yang mendesak agar menurunkan harga tiket pesawat. Corporate Communications Strategic Lion Air Group, Danang Mandala misalnya, hanya menjawab singkat dan berjanji akan melaksanakannya.

“Lion Air Group akan menjalankan atau melaksanakan aturan dan kebijakan dari regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk keuntungan bersama serta kepentingan semua pihak,” kata Danang saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Kamis (28/3/2019).

Sebaliknya, Vice Presiden Corporate Secretary Sriwijaya Air, Retri Maya justru mengungkapkan keberatannya. Alasannya, kata Maya, kondisi keuangan Sriwijaya Group tidak sedang baik-baik saja.

“Apalagi pemerintah berencana akan menurunkan harga tiket kembali. Hal tersebut tentu akan semakin menyulitkan kami,” kata Maya.

Baca juga artikel terkait TIKET PESAWAT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz