Menuju konten utama

Pemerintah Desak DPR Segera Tuntaskan UU Anti Terorisme

Pemerintah mendesak DPR segera mengesahkan UU Anti Terorisme. Tanpa itu, pemerintah tidak leluasa menindak aksi terorisme.

Pemerintah Desak DPR Segera Tuntaskan UU Anti Terorisme
Tim Inafis membawa sejumlah barang bukti usai penggeledahan rumah salah satu terduga teroris terkait bom Kampung Melayu di kawasan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (26/5). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

tirto.id - Pemerintah mendesak DPR RI agar segera menuntaskan UU Anti Terorisme. Pemerintah menilai penting keberadaan regulasi tersebut untuk bisa menindak aksi terorisme di Tanah Air.

Untuk menyelesaikan persoalan ini Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto menjanjikan akan segera menemui DPR.

"Sudah dari bulan November 2016 diajukan tapi belum tuntas. Sedangkan, terorisme tidak bisa menunggu UU selesai," kata Wiranto di Kantor Menkopolhukam, Medan Merdeka Barat, Jumat (26/5/2017).

Wiranto juga menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan UU tersebut karena dalam mekanisme pelaksanaannya menggunakan pengawasan. "Nanti akan ada pengawasan yang bisa menghindari untuk digunakan demi kepentingan politik dan pihak tertentu," kata Wiranto.

Mantan Panglima TNI di zaman Orde Baru ini pun menegaskan bahwa UU tersebut tidak ditujukan untuk masyarakat sipil, melainkan ditujukan untuk jaringan terorisme yang ada. "Kami akan menjamin itu," kata Wiranto lagi.

Ia pun menyayangkan adanya stigma dari publik mengenai tindakan pencegahan keras atas terorisme dari aparat yang kerap disebut melanggar HAM. Sebab, menurutnya, dengan adanya stigma semacam itu, aparat tidak akan bisa bertindak dengan tegas untuk menanggulangi terorisme. "Kalau sudah begini, bagaimana?" katanya.

Bahkan, Wiranto menyatakan bila di negara lain masih menggunakan Internal Subversive Act sebagai acuan aturan untuk menindak terorisme. "Itu seperti undang-undang subversif yang sudah lama dihapuskan di negeri ini," katanya.

Pernyataan Wiranto ini menyusul perintah Presiden Joko Widodo pada sehari lalu, Kamis (25/5/). Dalam konferensi pers terkait bom di Kampung Melayu, Presiden Jokowi menginginkan agar Menkopolhukam segera mempercepat proses pembahasan UU Anti Terorisme. Karena menurutnya masalah terorisme sudah mendesak untuk diselesaikan.

"Saya memerintahkan Menkopolhukam segera menyelesaikan Undang-undang anti terorisme," kata Presiden.

Lebih lanjut, Joko Widodo menyatakan bahwa upaya penindakan terhadap terorisme kerap gagal lantaran tidak ada UU yang memadai untuk melakukannya.

"Kami ingin menyelesaikan Undang-Undang anti terorisme sehingga memudahkan aparat penegak hukum agar memiliki landasan yang kuat dalam bertindak dan lebih mampu melakukan upaya pencegahan sebelum terjadi," katanya.

Revisi UU Terorisme sendiri mencakup poin adanya keterlibatan militer di dalam mencegah tindak terorisme. Hal tersebut dinilai berpeluang disalahgunakan untuk kepentingan beberapa pihak dan melanggar supremasi sipil dan HAM oleh sejumlah pihak.

Terlebih setelah adanya meninggalnya Siyono pada 18 Maret 2016. Pria asal Klaten yang diduga terlibat Jamaah Islamiyah (JI) itu ditangkap oleh Densus 88 dan kemudian meninggal setelah proses penyidikan. Saat itu, Kontras menyatakan terdapat penyalahgunaan prosedur dari pihak kepolisian dalam penangkapan Siyono.

Mengenai hal ini, Robi Sugara, Direktur Indonesia Middle East Crisis Centre (IMCC), menyatakan bahwa hal-hal semacam itu yang masih menjadi perdebatan dalam proses pembahasan RUU Anti Terorisme.

"Pemerintah inginnya hanya penambahan hal-hal yang belum tercover di UU teroris yang sudah ada. Tapi partai Gerindra dan partai yg beroposisi dengan pemerintah ingin perombakan total. Termasuk melibatkan militer bukan sekadar diperbantukan," kata Robi kepada Tirto melalui pesan pendek, Jumat (26/5).

Selanjutnya, Robi yang juga terlibat dalam program advokasi RUU Terorisme di bawah perkumpulan CSAVE (Civil Society Against Violent Extremist), menyatakan Jalan tengah perkara keterlibatan militer ada pada sub tim pengawasan khusus dari DPR yang fokus pada akuntabilitas, transparansi dalam hal penyelidikan dan penyidikan.

"Jadi, kalaupun militer terlibat tidak jadi masalah. Karena di beberapa negara juga melibatkan militer. Misalkan Paris Attack. Yang pertama kali turun adalah militer: Tapi, ketika sudah berlangsung pulih, polisi yang turun. Kasus Santoso pada akhirnya yang menyelesaikan militer karena pasukan Densus tidak punya keahlian perang di hutan," jelasnya.

Selai itu juga, dalam RUU tersebut dalam pasal 31 terdapat wacana untuk menghapus mekanisme penyadapan. Padahal, bila merujuk pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Hal ini dibenarkan oleh Robi, menurutnya mekanisme penyadapan yang melibatkan pengadilan memang dihapus.

Kendati begitu, menurutnya, dalam aspek keamanan pengesahan RUU Anti Terorisme memang harus segera dilaksanakan. Karena, kata Robi, Indonesia tidak mempunyai perangkat untuk menjerat kelompok terorisme foreign fighters dan orang-orang yang dideportasi karena terduga akan bergabung dengan kelompok teroris di Suriah.

Meskipun, katanya, dalam konteks harmonisasi dengan UU lainnya agak berat. Karena, menurutnya, misalkan RUU terorisme harus menunggu dulu pembahasan RUU KUHP dalam klausul pemidanaannya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU ANTITEROR atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Agung DH