tirto.id - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari meminta Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti serius menata aparat kepolisian, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat. Pasalnya, di dua daerah tersebut kasus intoleransi tinggi.
“Hal itu mengingat tingkat intoleran di dua daerah tersebut paling tinggi di Indonesia,” kata Eva K. Sundari melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Senin (4 /4/2016), saat merespons pembubaran paksa acara Lady Fast 2016 di Yogyakarta.
Koordinator Kaukus Pancasila ini menilai, polisi dalam penegakan hukum berdasar prasangka yang dipaksakan kelompok intoleran.
“Ini ironi negara demokrasi yang berbasis supremasi sipil karena polisi sudah melanggar perintah Presiden RI. Dalam hal ini, polisi harus menindak tegas kelompok intoleran dan radikal yang bertindak di luar hukum,” kata dia.
Karena itu, Eva meminta Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mencopot aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas insiden pada acara Lady Fast 2016 di Yogyakarta, Sabtu (2/4/2016) malam.
Polisi, lanjut dia, harus menunjukkan kepatuhan kepada Presiden RI Jokowi serta menjadi pelindung, pemenuhan, dan penegakan hak asasi manusia, bukan malah sebaliknya.
Ia menekankan, Surat Edaran Kapolri yang terkait dengan hal ini supaya dipastikan direspons dan dipatuhi oleh bawahan hingga ke polsek-polsek. Menurut dia, agak mengherankan menyaksikan polisi melakukan pembiaran terhadap pertemuan para penentang Pancasila, penyebar kebencian, bahkan aktivitas rekrutmen untuk ke Suriah yang diyakininya tidak ada izin kepolisian.
Sebaliknya, lanjut dia, polisi memilih melaksanakan perintah kelompok intoleran untuk membubarkan pertemuan-pertemuan aktivis berdasar argumen izin polisi.
“Kenapa ada beda perlakuan dan sifatnya fatal? Yang makar dibiarkan, yang diskusi ilmiah dibubarkan? Izin kepolisian faktanya telah dipakai kepolisian untuk melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum,” kata dia.
Menyinggung isu ada tidaknya izin dari Polri terkait dengan penyelenggaraan tersebut, Eva mengatakan, logika yang sama dengan kasus izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk menyatroni rumah-rumah ibadah yang hanya berlaku untuk kelompok agama minoritas. Ia juga menilai izin kepolisian telah menjadi alat bagi polisi untuk konspirasi dengan kelompok intoleran untuk membunuh kebinekaan dengan kekerasan.
“Kapolri harus segera menghentikan disorientasi dan 'double standard' dalam tubuh kepolisian. Intoleransi menguat karena penegakan hukum yang lemah,” ujarnya. (ANT)