tirto.id -
Lewat diseminasi bertajuk "Menggali Potensi Riset di Indonesia: Pembelajaran dari The Genomics and Science Dojo", para peserta mengupayakan terwujudnya kolaborasi penelitian berbagai disiplin ilmu untuk dapat mendukung kebijakan berbasis data.
"Diseminasi tersebut merupakan akhir dari rangkaian kegiatan pelatihan dan workshop untuk peneliti di bidang genomik dan kesehatan, berlangsung sepanjang Januari–Maret 2024, atas dukungan Pemerintah Inggris melalui British Embassy Jakarta," bunyi keterangan yang diterima Tirto.id, Jumat (28/6/2024).
Acara diseminasi dibuka oleh sejumlah nama, mulai dari Atase Kesehatan dan Reformasi Regulasi Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Zoe Dayan; CEO Summit Institute for Development, Yuni Dwi Setiyawati; serta Sekretaris Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yuli Budiningsih.
Seratusan peneliti dari berbagai umur, latar belakang penelitian dan keilmuan, juga berbagai lembaga riset dan universitas dari Jakarta dan luar kota turut hadir di acara ini.
Diseminasi dilangsungkan dalam dua sesi. Di sesi pertama, pembicara terdiri atas Septelia Inawati Wanandi (Kepala Fasilitas Inti Biologi Molekuler dan Proteomik), Elisabeth Farah N. Coutrier (Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman), Ririn Ramadhany (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional, Kementerian Kesehatan), Rina Agustina (Chair of Human Nutrition Research Center, IMERI FK UI), dan Zoe Dayan.
Di sesi tersebut, para pembicara membahas hubungan antara penelitian dan kebijakan kesehatan, serta pentingnya melakukan riset berkualitas. Para ahli juga menekankan betapa riset genomik dan kesehatan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dikembangkan dan berpartisipasi dalam mengubah kebijakan kesehatan masyarakat dalam skala global.
Sebagai contoh, setelah berdiskusi dengan seorang profesor di Havard University soal kebiasaan orang Indonesia makan nasi, salah satu penelitian Rina Agustina tentang bahaya refined grain menjadi top 10 paper yang memengaruhi kebijakan kesehatan di hampir 60 negara.
“Di platform internasional, orang Indonesia itu cenderung diam. Padahal, kapasitas teman-teman kita sangat kompeten. Kita harus berani bermimpi dan bekerja," ungkap Rina Agustina, sosok yang juga menduduki posisi Strategic Technical Advisor di WHO.
Untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang presisi, tak cukup berlandaskan penelitian saja, namun juga analisa data yang tepat yang melibatkan keahlian dari berbagai bidang. Terkait itu, Elisabeth Farah N. Coutrier mengungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan kolaborasi dengan banyak pihak sehingga dapat membangun data center yang terintegrasi demi menghasilkan analisis data yang presisi. Pihak-pihak tersebut, antara lain, institusi riset lain, para ahli laboratorium, bioinformatika, hingga ilmu komputer.
“Kami harap analisis data center tersebut bisa menjadi masukan bagi pemerintah, Kementerian Kesehatan, untuk melakukan aksi dan community health intervention.”
Kolaborasi juga menjadi salah satu poin penting untuk dapat menyelesaikan suatu persoalan kesehatan di masyarakat. Selain melakukan kolaborasi antar institusi riset, kolaborasi antar negara lewat kerjasama internasional juga diperlukan untuk dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan inovasi dalam teknologi kesehatan melalui berbagai bentuk.
Pemerintah Inggris Raya, misalnya, melakukan kolaborasi riset kesehatan serta peningkatan kapasitas peneliti antar negara. Kolaborasi yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan tersebut dilakukan dalam berbagai hal. Mulai dari berbagi pengetahuan, melaksanakan proyek riset bersama, training, studi banding, hingga pembelajaran untuk mengatasi masalah kesehatan tertentu.
Di sesi kedua, pembahasan mengarah pada kriteria apa saja yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kualitas riset genomik dan kesehatan di Indonesia. Ariel Pradipta, dosen di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FK UI menjelaskan bahwa peneliti itu harus memiliki sifat perspicacious, yakni kemampuan untuk beradaptasi, mengerti, menyesuaikan dan bahkan meningkatkan kualitas saat mendiskusikan suatu topik.
“Tidak hanya itu, para peneliti juga diharapkan mampu menyerap dan mengkomunikasikan riset mereka dengan baik kepada berbagai pihak, tidak hanya tertulis, dan mempertahankan argumen ilmiah mereka,” kata Ariel.
Direktur Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia Kevin Baird mengatakan, kunci untuk dapat mengubah kebijakan kesehatan global sehingga berdampak ke berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah lewat publikasi di jurnal berdampak internasional dengan penelitian yang menjawab pertanyaan penting dari masalah kesehatan yang dihadapi oleh banyak negara.
“Budaya dari sains sendiri adalah adu ide dan bukti, dan itulah spirit dari The Genomics and Science Dojo itu sendiri, juga sikap rendah hati dan ketangguhan, selain didukung oleh tersedianya peralatan riset and training,” sambung Kevin.
The G
enomics and Science Dojo sendiri merupakan cara baru dalam memberikan pelatihan langsung dan “minds-on” untuk berpikir kritis, analisis berkualitas tinggi, dan penulisan ilmiah.