Menuju konten utama

Pemasangan Chattra Borobudur Harus Sesuai UU dan Metote Pemugaran

Pemasangan chattra harus mengikuti metode pemugaran yang tepat, misalnya dengan cara anastilosis.

Pemasangan Chattra Borobudur Harus Sesuai UU dan Metote Pemugaran
Ilustrasi pemasangan chattra di Candi Borobudur. Foto/Shutterstock

tirto.id - Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussions (FGD) yang digelar oleh Balai Konservasi Borobudur merekomendasikan agar pemasangan chattra atau pemugaran Candi Borobudur harus dilakukan sesuai Undang-Undang (UU) dan metode pemugaran.

Rekomendasi ini berdasarkan hasil diskusi yang berlangsung pada 2-3 Februari 2018 di Hotel Alana, Yogyakarta. Pihak yang turut hadir dalam diskusi ini yakni dari Kemendikbud, Balai Konservasi Borobudur, arkeolog, antropolog hingga UNESCO.

Berdasarkan rilis yang diterima Tirto, Sabtu (3/2/2018), selain mengikuti perundangan-undangan di Indonesia, mereka juga merekomendasikan agar pemugaran Candi Borobudur harus mengikuti piagam-piagam dunia. Perlu juga memenuhi keutuhan dan keaslian bahan yang didasari pada sumber informasi yang benar dan dapat dipercaya.

Mengingat status Candi Borobudur sebagai warisan dunia, pemasangan chattra di Candi Borobudur tidak hanya mempertaruhkan nama bangsa Indonesia, tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada dunia internasional.

Oleh sebab itu pemasangan chattra harus mengikuti metode pemugaran yang tepat, antara lain dengan cara anastilosis yang membutuhkan identifikasi unsur-unsur bahan dan bentuk asli serta teknologi pengerjaaan (workmanship), tata letak, dan kesejarahannya.

Lebih lanjut, harus dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam secara intensif. Untuk itu, perlu dibentuk tim khusus yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam bidang pemugaran.

Rekomendasi itu terkait keberadaan chattra Candi Borobudur yang telah menimbulkan perdebatan. Hal itu tampak dari adanya proses pemasangan dan pembongkaran berkali-kali. Misalnya, dipasang dalam pemugaran tahun 1907 -1911, dan direncanakan dipasang lagi tahun 1940-an.

Sebelumnya, rencana pemasangan chattra pada puncak stupa induk, atau stupa tertinggi, di Candi Borobudur juga dikritik oleh sebagian arkeolog. Sejumlah arkeolog mempertanyakan rencana itu karena meragukan orisinalitas chattra hasil rekonstruksi yang saat ini tersimpan di Museum Borobudur.

Misalnya, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Mundardjito menilai pemasangan Chattra di Borobudur berpotensi melanggar etika pemugaran candi. Dia berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan mengenai orisinalitas hasil rekonstruksi Chattra yang ada saat ini.

Hasil rekonstruksi dengan bentuk serupa memang pernah dipasang usai pemugaran pertama Borobudur di awal abad ke-20, tapi lalu diturunkan kembali sebab orisinalitasnya meragukan. Apalagi, menurut dia, tak ada rekaman gambar saat Borobudur pertama kali dipugar yang menunjukkan serakan bagian candi menyerupai Chattra hasil rekonstruksi saat ini.

“Pemasangan bagian candi harus ada konteksnya. Kalau tidak ada, untuk apa? Tanpa dipasang Chattra, Borobudur sudah terkenal di seluruh dunia,” kata dia.

Baca juga artikel terkait CANDI BOROBUDUR atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora