tirto.id - Agus Harimurti Yudhoyono tak menduga pidato politiknya di GOR Jakarta Utara pada 13 November akan berbuntut panjang. Bantuan dana sebesar Rp. 1 miliar per RW per tahun yang dia tawarkan sebagai program unggulan apabila terpilih pada Pilgub DKI Jakarta 2017, justru menuai polemik.
Bagi pasangan Agus-Sylvi, anggaran sebesar itu sebagai bentuk perhatian dan pemberdayaan komunitas terkecil di ibu kota, yaitu RT dan RW. Namun, bagi lawan politiknya, hal tersebut merupakan bentuk politik uang yang harus ditindaklanjuti sebagai pelanggaran kampanye.
Persoalan ini semakin meruncing ketika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta menilai, program tersebut diduga sebagai praktik politik uang karena tidak tercantum dalam visi dan misi yang dilaporkan Agus-Sylvi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI.
Akan tetapi, karena tidak ada unsur tindak pidana politik dalam program tersebut, maka Bawaslu DKI hanya melaporkan sebagai pelanggaran administrasi. Namun, tim hukum pasangan Agus-Sylvi tetap pada pendiriannya: program bantuan Rp1 miliar per RW per tahun tidak melanggar aturan.
Ketua Tim Hukum dan Advokasi Tim Pemenangan Agus-Sylvi, Didi Irawadi Syamsudin, meminta Bawaslu tidak kaku memandang prorgam yang dicanangkan pasangan ini. Menurut Didi, program tersebut memang tidak tertulis dalam visi dan misi Agus-Sylvi, namun pada halaman 29 visi dan misi yang diserahkan ke KPU disebutkan bahwa visi dan misi calon akan dielaborasi saat kampanye.
Didi berdalih, justru dengan penjabaran seperti itu, maka program Agus-Sylvi menjadi lebih konkrit dan dipahami oleh pemilih. Didi mencontohkan, jika pasangan calon tidak boleh menyebutkan nominal angka dalam menjabarkan visi-misi, maka program yang ditawarkan pasangan calon akan menjadi abstrak.
“Misalnya ada pasangan calon berjanji menaikkan gaji guru dan karyawan, kalau tidak disebutkan berapa naiknya, akan menjadi abstrak dan tidak bisa diukur apakah programnya realistis terhadap inflasi dan sebagainya atau tidak,” ujarnya dikutip dari Antara.
Temuan Bawaslu
Kampanye terbuka pasangan calon peserta Pilgub DKI Jakarta 2017 baru dimulai pada 28 Oktober 2016. Namun, pelanggaran kampanye periode 28 Oktober sampai 10 November saja tercatat 27 pelanggaran yang dilakukan tiga pasang calon. Pasangan Agus-Sylvi diduga melakukan 15 pelanggaran kampanye, sementara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi masing-masing diduga melakukan 6 pelanggaran kampanye.
Selain pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon, Bawaslu DKI juga menemukan 32 spanduk yang mengandung unsur kampanye negatif, yaitu: 18 spanduk di Jakarta Pusat, 7 spanduk di Jakarta Timur, 3 spanduk di Jakarta Barat, sedangkan Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, masing-masing ditemukan 2 spanduk.
Bentuk pelanggaran kampanye pun beragam. Misalnya, pasangan Agus-Sylvi diduga melakukan pelanggaran kampanye karena melibatkan relawan yang belum terdaftar, tidak ada izin kampanye, keterlibatan anak di bawah usia, dan pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Sementara pelanggaran kampanye yang diduga dilakukan pasangan Ahok-Djarot berupa penggunaan fasilitas negara, relawan belum terdaftar, dan kegiatan yang tidak memiliki izin kampanye. Sedangkan pelanggaran kampanye yang dilakukan pasangan Anies-Sandiaga adalah dugaan politik uang, keterlibatan anak-anak, penggunaan tempat ibadah, dan tidak ada izin kampanye.
Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti mengatakan, pihaknya telah menindak langsung beberapa temuan pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing pasangan, dan sebagian lagi masih dalam proses tindak lanjut.
Misalnya, tindakan yang dilakukan petugas seperti pembubaran kampanye pasangan Ahok-Djarot di RPTRA Jakarta Selatan, dan teguran terhadap calon Wakil Gubernur Sylviana Murni saat mendatangi majelis taklim di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bawaslu DKI juga telah memproses dugaan politik uang yang dilakukan oleh pasangan Anies-Sandiga.
Ancaman Diskualifikasi
Secara kuantitas, pasangan Agus-Sylvi adalah kandidat yang paling banyak melakukan pelanggaran kampanye. Namun, jika dilihat dari ancaman sanksi yang diatur dalam regulasi, pasangan Anies-Sandiaga yang justru tergolong melakukan pelanggaran berat. Ia diduga melakukan politik uang yang ancaman pidana politiknya adalah diskualifikasi sebagai peserta pilkada.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Misalnya, Pasal 73 ayat (1) berbunyi “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.”
Sementara ayat (2) berbunyi: “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”
Artinya, berdasarkan regulasi yang ada, maka calon yang terbukti melakukan praktik politik uang akan mendapatkan sanksi diskualifikasi. Karena itu, Bawaslu DKI Jakarta langsung memproses kasus dugaan politik uang yang dilakukan Anies Baswedan di salah satu masjid di Jakarta Barat. Namun, dugaan tersebut tidak terbukti.
Menurut Mimah, pemberian uang oleh Anies usai salat di Jakarta Barat memang terjadi, tetapi tindakan tersebut tidak termasuk kategori politik uang karena mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu tidak sedang kampanye. Apalagi uang tersebut diberikan sebagai santunan pada anak yatim yang berada di masjid tersebut.
Karena itu, Bawaslu DKI menyimpulkan bahwa tindakan pemberian uang oleh Anies tidak termasuk politik uang karena tidak memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam regulasi. Yaitu, tidak sedang kampanye dan uang tersebut diberikan kepada mereka yang tidak memiliki hak pilih pada Pilgub DKI.
Meskipun dugaan politik uang oleh pasangan Anies-Sandiaga tidak terbukti, namun hal tersebut harus dijadikan pelajaran bagi semua kandidat untuk mewujudkan pilkada yang berintegritas dan bebas dari praktik politik uang. Mungkinkah?
Editor: Zen RS