Menuju konten utama

Pelanggaran HAM dan Hukum yang Diskriminatif di Israel

Menurut Yesh Din, organisasi HAM asal Israel, pada 2015 melaporkan ada 229 investigasi kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pihak militer Israel terhadap warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, tapi hanya delapan kasus yang berujung penuntutan.

Pelanggaran HAM dan Hukum yang Diskriminatif di Israel
Tentara Israel memblokir jalan di Tepi Barat. GETTY IMAGES

tirto.id - Empat prajurit militer Israel terbunuh, sementara 13 lainnya terluka di Yerusalem saat sebuah truk menabrak trotoar di dekat Armon Hanatziv Promenade, Minggu kemarin. Haaretz melaporkan supir truk tersebut memang secara sengaja menabrak prajurit militer Israel yang tengah melakukan studi wisata bersama kelompok lain. Usai tabrakan, seorang prajurit Israel bernama Eitan langsung menembak si penyerang. Keempat korban meninggal tersebut berusia antara 20-22 tahun dan tiga di antaranya merupakan serdadu militer yang belum berpengalaman.

Empat korban tersebut sudah diidentifikasi, yakni Yael Yekutiel (20) dari Givataiym, Shir Hajaj (22) dari Ma’ale Adumim, Shira Tzur (20) dari Haifa, dan Erez Orbach (20) dari Alon Shvut. Hajaj adalah komandan di Israel Defense Forces. Selain korban tewas, ada pula tiga dalam keadaan serius, satu dalam kondisi luka berat, dan sembilan yang lain luka ringan. Leah Schreiber, saksi mata yang melihat kejadian itu menyebut bahwa kejadian itu terjadi sangat cepat.

Para prajurit termasuk Schreiber baru saja turun dari bis di luar International Convention Center. Beberapa menit kemudian, ada orang berteriak dan sebuah truk berjalan di atas trotoar dan menabrak orang-orang. Prajurit yang berjaga langsung menembak truk tersebut. Pada mulanya mereka tak bisa mengenai pelaku. Saat truk tersebut mundur mereka menembaki lagi sampai si pelaku meninggal. Beberapa saat kemudian paramedik tiba dan menolong mereka yang terluka.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut pelaku merupakan anggota ISIS. Kepala polisi Roni Alsheich menyebut bahwa pelaku berasal dari Yerusalem Timur dan sudah ditembak mati di tempat. Pemerintah Israel menyebut mereka menolak mengembalikan jenazah pelaku dan berencana akan menghancurkan rumah si pelaku sebagai bentuk pembalasan. Ada pula yang mengira penyerangan terhadap prajurit militer Israel ini ada kaitannya dengan persidangan Elor Azaria.

Sepuluh bulan lalu, Elor Azaria hanya seorang prajurit Yahudi biasa. Namanya mulai dikenal publik Palestina dan Israel setelah pada 24 Maret tahun lalu ia menembak seorang warga Palestina bernama Abed Fattah al-Sharif yang dianggap sebagai ancaman. Saat itu Abed Fattah telah tergeletak tak berdaya, terluka karena berusaha menikam pasukan Israel. Meski jelas-jelas tak berdaya, dalam rekaman video yang diperlihatkan kepada publik, Azaria tetap menembak mati Abed.

Pengadilan militer Israel kemudian menggelar persidangan untuk mengadili kasus ini. Sidang yang beranggotakan tiga hakim pengadilan militer Tel Aviv memutuskan Elor Azaria bersalah dalam pembunuhan tidak berencana. Sidang ini, dianggap sebagai salah satu persidangan yang membuat masyarakat Israel terbelah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerukan agar Elor Azaria diampuni. Lebih dari 60 persen anggota masyarakat Israel, menurut poling yang dilakukan oleh media setempat, menyetujui hal ini. Namun pengadilan tetap memutuskan Elor bersalah.

Infografk Impunitas Israel

Hukum Militer Israel memperbolehkan hukuman dari seorang yang terbukti bersalah untuk dikurangi berdasarkan permintaan pemimpin IDF atau salah satu petugas jenderal yang ada. Meski hukuman maksimal yang diberikan untuk anggota militer yang terbukti membunuh tak berencana adalah 20 tahun penjara, tapi Elor Azaria tak akan dihukum selama itu.

Prajurit Israel terakhir yang terbukti bersalah adalah Taysir Heib, anggota dari batalion Bedouin, yang menembak dan membunuh warga Inggris Tirn Hurndall. Heib divonis delapan tahun penjara pada 2004 dan dibebaskan setelah enam setengah tahun.

Menteri kebudayaan dan olahraga dari partai Likud, Miri Regev, mengajukan permohonan pengampunan secara resmi kepada kementerian pertahanan. Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennet, malah mengajukan pengampunan segera terhadap Azaria karena dianggap pahlawan.

“Hari ini seorang prajurit yang membunuh seorang teroris yang memang berhak mampus, yang mencoba membunuh prajurit lain, malah diborgol dan divonis sebagai kriminal,” kata Bennet, yang memimpin partai sayap kanan Israel Habayit Hayehudi.

Perdebatan tentang kasus ini menjadi menarik karena warga Israel terbelah. Ada yang menyerukan agar Azaria dihukum berat sebagai bukti komitmen terhadap hukum. Lebih dari separuh masyarakat Israel lainnya dan pemerintahan Israel berencana mengampuninya. Meski terlihat dalam rekaman bahwa Azaria sengaja membunuh Abed Fattah al-Sharif, tapi dakwaan yang diajukan adalah pembunuhan tidak berencana. Ini kemudian memunculkan dugaan bahwa Israel memberlakukan impunitas terhadap personel militernya sendiri.

Dalam catatan HRW, pasukan Israel diadukan melakukan pelanggaran HAM karena melakukan pembunuhan ekstrayudisial, yakni penggunaan kekuatan berlebihan, pembubaran paksa aksi penyiksaan terhadap masyarakat sipil Palestina, penggusuran paksa terhadap warga Palestina, dan pembunuhan terhadap warga Palestina. Anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia dalam catatan HRW bisa menjadi korban dan pelakunya tidak mendapat hukuman apapun.

Dr. Ali Omidi, asisten profesor hubungan internasional dari University of Isfahan, Iran, menuliskan artikel panjang di Foreign Policy tentang bagaimana dunia membiarkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel nyaris tanpa sanksi. Menurut Omidi, sejak juli 1946 sampai Agustus 2014, Israel telah melakukan setidaknya 28 kasus kejahatan brutal terhadap orang Palestina.

Beberapa di antaranya adalah pembantaian warga Palestina, yakni di Deir Yassin (1948), Dataran Tinggi Golan (1948), Kafr Qasim (1956), Khan Yunis (1956), Kamp Pengungsian Sabra dan Shatila (1982), Kamp Pengungsian Jenin (2002), Qana (2006), Invasi Gaza (2008), dan berbagai kekerasan di Jalur Gaza (2014).

Tahun lalu Organisasi Hak Asasi Manusia Palestina mengirimkan informasi kepada Mahkamah Kriminal Internasional. Informasi itu berisi keterlibatan militer Israel yang membuktikan bahwa mereka sengaja menyerang fasilitas nonmiliter pada invasi Gaza 2014. Setidaknya 28 sekolah hancur dan rusak pada serangan tersebut.

Berdasarkan laporan Human Rights Watch, rumah sakit, staf medis, saluran sanitasi, sumber listrik, dan berbagai infrastruktur sipil menjadi target serangan untuk melumpuhkan orang-orang Palestina. Sejak Oktober 2015, militer Israel melakukan 228 pelanggaran terhadap staf medis Palestina. Sebanyak 56 kasus di antaranya adalah penyerangan terhadap ambulans dan ada 116 kasus penyerangan terhadap staf medis.

Meski jelas telah banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Palestina, pemerintah Israel sejauh ini belum mendapatkan sanksi tegas. Berbagai pemerintah dunia mengecam dan mengutuk tindakan Israel, tetapi tidak ada hukuman terkait apa yang mereka lakukan terhadap masyarakat Palestina. Segala usaha untuk menyeret Israel ke mahkamah internasional sudah dilakukan, tapi belum ada yang membuahkan hasil.

Protes terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh militer Israel juga datang dari dalam negeri mereka. Yesh Din, organisasi HAM asal Israel pada 2015 mempublikasikan tentang impunitas terhadap kasus kejahatan kemanusiaan di Israel. Berdasarkan 229 investigasi kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak militer Israel terhadap warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, hanya delapan kasus saja yang berujung pada penuntutan.

Baca juga artikel terkait ISRAEL atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hukum
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani