tirto.id - Didukung kekuatan internet, manusia kini mengkonsumsi informasi yang berlimpah. Penerbit-penerbit konten bermunculan di internet. Orang tak perlu membuka koran untuk membaca informasi terbaru. Tinggal membuka gajet yang dilengkapi koneksi internet, kabar-kabar terbaru pun bisa diakses.
Menurut catatan Statista, pada 2015 terdapat 32.900 jurnalis di koran yang terbit di Amerika Serikat. Ada tren penurunan jika melihat angka pada 2014 yakni 36.700 jurnalis, dan di tahun 2013 ada 38.000 jurnalis. Penerbit konten online, kemungkinan adalah salah satu sebabnya. Internet Live Stat mencatat ada lebih dari 1,15 miliar situsweb di dunia internet saat ini.
Namun, selain bersaing dengan para penulis penerbit konten, ternyata wartawan juga harus bersaing dengan mesin. Sudah ada algoritma komputer yang mampu membuat berita. Dengan kata lain, pekerjaan para wartawan, lambat laun digantikan oleh robot, mesin, atau algoritma komputer.
Menurut laporan Techcruch, sebuah perusahaan rintisan asal Israel bernama Articoolo mampu membuat berita melalui algoritma komputer yang mereka kembangkan. Lebih hebatnya, ketika kita meminta berita dengan tema yang sama 100 kali, algoritma buatan Articoolo mampu memberikan 100 artikel yang berbeda, tidak sama.
Seperti dijelaskan di situsweb resmi mereka, Articoolo bekerja pertama kali dengan memahami konteks berita yang diminta. Selanjutnya, algoritma akan mencari sumber-sumber terpercaya dengan konteks yang berhasil ia jaring. Terakhir, Articoolo akan merekonstruksi data-data yang diperoleh dan lantas menggabungkannya menjadi satu artikel yang utuh, dan enak untuk dibaca.
Dalam percobaan yang dilakukan, jika pengguna memakai kata ”Kim Kardashian” akan tercipta artikel dengan panjang kurang dari 250 kata dalam tempo kurang dari 50 detik.
The Atlantic juga melaporkan ihwal Lost Angeles Times yang turut memanfaatkan algoritma komputer dalam membuat berita kepada pembacanya. Khususnya berita tentang bencana gempa bumi. LA Times memanfaatkan algoritma bernama QuakeBot.
Algoritma QuakeBot bekerja memanfaatkan data terbuka dari US Geological Survey. Saat terjadi gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 3.0 skala richter, QuakeBot akan menangkap data tersebut dan selanjutnya mengubah data menjadi sebuah informasi berbasis teks. QuakeBot lalu menambahkan peta terjadinya gempa dan langsung mengirim pada Content Managenet System milik LA Times. Setelahnya, konten tersebut akan diperiksa oleh editor dan kemudian akan dipublikasikan secara luas pada para pembacanya.
Associated Press atau AP, salah satu kantor berita tertua, juga memanfaatkan kecanggihan teknologi dalam membuat berita. AP di tahun 2014 memanfaatkan teknologi bernama Wordsmith dari sebuah perusahaan asal North Carolina, Amerika Serikat, bernama Automated Insights.
Mengapa AP memanfaatkan teknologi tersebut? Menurut situsweb resmi Automated Insights, AP kewalahan dalam membuat berita-berita bertema laporan keuangan perusahaan. Sebelum memanfaatkan teknologi Wordsmith, AP hanya sanggup membuat 300 artikel per kuartal dari banyak perusahaan di dunia. Setelah menggunakan Wordsmith, AP mampu membuat lebih dari 3.700 berita per kuartalnya.
Menurut laporan The Guardian, kebijakan AP tersebut memungkinkan reporternya cukup waktu dan tenaga untuk membuat artikel-artikel yang lain.
Wordsmith merupakan sebuah teknologi yang diberi nama “artificial writer” atau penulis artifisial. Ia memanfaatkan sebuah database dalam membuat berita-berita untuk dipublikasikan. Database tersebut, diperoleh dari reporter atau dari internet. Kemudian, data yang ada, dimasukkan ke dalam template dan langsung bisa dipergunakan sebagai berita siapa terbit.
Sebagai sebuah teknologi, Wordsmith telus memperbaiki dirinya. Terutama perihal dialek suatu bahasa. Pembuat Wordsmith, Robbie Allen, mengatakan kepada The Guardian bahwa roduknya merupakan “platform generasi bahasa natural.” Dengan kekuatan bahasa yang dimilikinya, Wordsmith di tahun 2015 mampu membuat lebih dari 1,5 miliar artikel. Meningkat dari hanya 300 juta artikel di tahun 2013.
Pengguna Wordsmith bukan hanya AP. Ada nama-nama beken di bidang jurnalistik seperti USA Today turut menggunakan teknologi ini. Yahoo News, media online yang dibaca oleh 28 persen responden di Amerika Serikat, juga turut memanfaatkan teknologi untuk membuat berita-berita yang mereka publikasikan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa penggunaan teknologi meningkat dalam dunia jurnalistik, khususnya perihal menulis berita ini?
Jawabannya, tak lain tak bukan adalah karena perkembangan teknologi itu sendiri. Robbie Allen kepada The Guardian mengatakan, “jika kita melihat teknologi dalam 20 tahun atau 30 tahun terakhir, semua kehidupan kita telah berubah dalam berbagai cara.” Wordsmith dan berbagai algoritma lain mengubah cara umat manusia bermain-main dalam dunia kepenulisan, termasuk dunia jurnalistik.
Penggunaan teknologi semacam Wordsmith meningkat karena permintaan terhadap berita dewasa ini, meningkat begitu tajam seiring dengan penggunaan internet yang kian besar.
Selain itu, sebagaimana dimuat Statista, 57 wartawan tewas di tahun 2016 kemarin, dunia jurnalistik merupakan dunia yang cukup berbahaya. Memanfaatkan teknologi dalam membuat berita bisa menurunkan jumlah jurnalis yang tewas ketika bertugas.
Juga menurut data yang dipacak di Statista, di tahun 2016 terdapat 53 persen wartawan yang memanfaatkan Twitter sebagai tempat memperoleh informasi bagi berita yang mereka buat. Artinya, dengan mengutak-atik kode komputer, apa yang dilakukan wartawan juga bisa dilakukan wartawan dalam bentuk robot atau algoritma komputer. Komputer atau robot tinggal mengekstraksi informasi dari berbagai macam media sosial dan lalu membuatkan suatu berita dari sana.
Namun, apakah dunia jurnalistik akan berubah oleh kemajuan teknologi?
Sampai saat ini, wartawan betulan jelas masih unggul dibanding wartawan dalam bentuk kode-kode komputer. Saat ini, wartawan dalam bentuk algoritma baru bisa membuat berita-berita dengan basis data yang “saklek” atau berupa angka-angka. Berita ihwal laporan keuangan perusahaan dan hasil pertandingan sepakbola, bisa dieksekusi oleh komputer.
Algoritma dan kode belum bisa mengolah informasi yang lebih kompleks. Laporan-laporan jurnalistik mendalam seperti investigasi belum mampu dilakukan algoritma. Namun, siapa tahu suatu hari hal ini bisa kesampaian. Seperti yang dikatakan Kris Hammond dari Narative Science, salah satu pemain di bidang ini, kepada The Guardian: “Sebuah mesin, suatu hari akan memenangkan Pulitzer.”
Satu hal yang perlu diingat, esensi jurnalisme adalah verifikasi. Apakah mesin bisa melakukan kerja-kerja verifikasi terkait hal ihwal yang bukan data numerik?
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani