tirto.id - Sejumlah pegiat antikorupsi mengusulkan perlunya standar acuan dalam menegakkan integritas di internal partai politik. Tujuannya meminimalisir kasus korupsi di legislatif. Hal ini disampaikan para pegiat antikorupsi dalam diskusi “Mengapa DPRD Korupsi Beramai-ramai?” di Gado-Gado Boplo, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9/2018).
Penulis buku Mencuri Uang Rakyat, Hamid Busyaib dalam diskusi itu menyampaikan perlunya sebuah aturan baku yang mengatur internal partai politik, semisal ISO. Ia mencontohkan bahwa sistem di pemerintahan, universitas, sekolah, hingga perusahaan sudah menerapkan ISO. “Saya tidak tahu apakah partai politik punya standar serupa.”
Menurutnya acuan tersebut perlu, karena setiap anggota yang duduk di DPRD atau badan lain berawal dari partai politik.
Di tempat yang sama, peneliti senior LIPI dan pengurus AIPI, Prof Syamsuddin Haris sependapat dengan Hamid. Ia menyampaikan bahwa LIPI dan KPK akan membangun sistem integritas partai politik. Isinya lima aspek yakni tentang standar etik; demokrasi internal; sistem kaderisasi yang inklusif, berjenjang, dan berkesinambungan; sistem seleksi pejabat publik yang terbuka, demokratis, dan akuntabel; terakhir sistem tata kelola keuangan yang baik.
Syamsudin menjelaskan bahwa standar etik itu penting. Dengan standar itu ia tidak ingin ada muncul lagi kasus 'papa minta saham'.
Selain itu, Syamsudin menilai Indonesia saat ini sedang mengalami krisis etik dan kepemimpinan, termasuk pendangkalan pemahaman mengenai apa itu politik.
“Politik sudah jadi sangat sempit menjadi sekadar kekuasaan itu sendiri, padahal politik itu mestinya suatu kebajikan untuk kemaslahatan kolektif,” kata dia.
Ia juga menilai ideologi juga disempitkan dan didangkalkan menjadi visi misi. Termasuk pendangkalan pemahaman mengenai parpol itu sendiri.
“Kemudian muncul debat kusir tentang apakah partai politik perlu disubsidi dan bisa diintervensi negara. Hal ini disebabkan tidak ada kesepahaman tentang definisi partai politik, dalam UU partai bahkan didefinisikan seperti Non Government Organization (NGO),” ujarnya.
Idealnya, kata Syamsudin, partai politik itu adalah badan hukum publik yang diamanatkan oleh konstitusi untuk melakukan seleksi calon pejabat publik melalui Pemilu, Pileg, dan Pilpres. Namun status itu tidak jelas, sampai kemudian muncul UU partai No.2 tahun 2011.
“Parpol itu leluasa menentukan deal-nya sendiri. Kaderisasi, validasi, pola seleksi, termasuk etik dia tentukan sendiri. Kan aneh, di satu pihak dia dapat mandat badan hukum publik,” ujar dia.
Editor: Agung DH