tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan ajaran Padepokan Dimas Kanjeng Probolinggo sebagai ajaran sesat dan menyesatkan. Terkait hal itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengimbau agar masyarakat menghormati keputusan MUI.
"Hormati keputusan MUI Jatim terkait ajaran di Padepokan Dimas Kanjeng," ujar salah seorang Ketua PBNU Saifullah Yusuf kepada wartawan di Surabaya, seperti diberitakan Antara, Kamis (13/10/2016).
Sebelum memutuskan sesuatu, Saifullah menjelaskan, MUI pasti memiliki alasan dan proses yang melibatkan seluruh pengurusnya.
"Faktanya MUI sudah memutuskan karena memang menemukan sesuatu setelah melalui proses detil," ucap pria yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur tersebut.
Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah, juga mengimbau kepada seluruh pengikut Dimas Kanjeng yang masih bertahan di sekitar padepokan untuk pulang karena memiliki tanggung jawab kepada keluarga masing-masing. Terlebih karena di sana tidak ada yang bisa diharapkan setelah penanggung jawab padepokan menjalani pemeriksaan kepolisian sekaligus diminta untuk menghentikan kegiatan apapun.
"Sekarang jelas tidak ada yang bisa diharapkan dan percayalah bahwa tidak ada orang menggandakan uang. Buat apa mengajak orang kalau dia bisa menggandakan uang sendiri? Jadi, jangan percaya jika ada yang mengaku-aku mampu," katanya.
Mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal tersebut juga meminta kegiatan di padepokan dihentikan karena tak adanya pengasuh.
Sebelumnya, Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori menegaskan bahwa ajaran Padepokan Dimas Kanjeng Probolinggo yang dipimpin Taat Pribadi adalah sesat dan menyesatkan. MUI, lanjut dia, sudah meneliti ajaran padepokan tersebut sejak 2014 dan melakukan serangkaian wawancara dengan sejumlah mantan korban hingga kasus itu ditangani Polda Jatim.
Tujuh ajaran Dimas Kanjeng yang melenceng adalah praktik kun fayakun yang bertentangan dengan iradah Allah, wirid manunggaling kawula-Gusti, salawat fulus yang tidak ada dalam Islam, bank gaib (khurafat), konsep karomah tapi dipertontonkan, salat radhiyatul qubri, dan menyalahgunakan makna Istighatsah.
"Intinya ajaran Dimas Kanjeng itu merupakan kasus penipuan, namun dibungkus dengan kedok agama. Penipuan itu dilakukan melalui penggandaan uang. Kalau dia bisa menggandakan uang, kenapa mereka masih meminta mahar kepada calon anggota baru. Itu tidak logis," tegasnya.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari