Menuju konten utama

Pasal yang Disangkakan ke Robertus Robet Dianggap Tidak Tepat

Miko Ginting menilai pasal yang disangkakan pada Robertus Robet tidak ada yang tepat.

Pasal yang Disangkakan ke Robertus Robet Dianggap Tidak Tepat
Robertus Robet Menyanyikan Parodi Mars ABRI pada saat Aksi Kamisan ke-576 yang memprotes Dwi Fungsi ABRI. Parodi Lagu tersebut sempat populer pada Aksi Reformasi 1998. youtube/Jakartanicus

tirto.id - Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera, Miko Ginting menyatakan heran dengan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Aktivis sekaligus dosen sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet. Menurut Miko tidak ada satu pun pasal yang disangkakan kepada Robet tepat untuk digunakan.

Polisi menyangkakan Robet dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE, Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

"Dari pasal yang disangkakan, terlihat jelas terdapat pemaksaan delik yang berujung pada kesewenang-wenangan [arbitrary]," ujar Miko dalam keterangannya kepada reporter Tirto, Kamis (7/3/2019).

Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE memuat inti delik “penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan atau kebencian berdasarkan SARA”. Menurut Miko delik ini tidak tepat sama sekali diterapkan pada kasus ini karena delik ini memuat unsur berbasis SARA. Sementara ia tak melihat ada satu pun muatan SARA dalam orasi Robet.

Kedua, Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memuat inti delik “dengan menyiarkan berita bohong dengan sengaja memuat keonaran” dan “dengan sengaja menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebihan, dan tidak lengkap”.

Delik ini, menurut Miko kembali tidak tepat tidak digunakan karena harus ada unsur penyiaran berita atau informasi dari tindakan yang ia lakukan. Sementara apa yang dilakukan Robet sama sekali tidak memenuhi unsur penyebaran berita atau informasi ini.

Ketiga, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Delik ini memuat unsur “dengan sengaja menghina penguasa atau badan umum di muka umum melalui lisan maupun tulisan”. Menurut Miko apa yang dinyanyikan Robet adalah bentur satir yang pada era 1998 seringkali dinyanyikan elemen demokrasi dalam mendorong Reformasi TNI.

Selain itu, terdapat kata-kata “ABRI” yang sudah dihapus melalui TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000, UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan UU POLRI. Selanjutnya, kata Miko perlu diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022 yang menyatakan bahwa “penuntutan terhadap Pasal 207 ke depan seharusnya dilakukan dengan berdasar pada delik aduan”.

"Dengan demikian, 'pihak yang merasa dihina' dalam delik itu sudah hilang dengan sendirinya dan pasal ini tidak tepat sama sekali diterapkan," tegas Miko.

Miko juga menilai polisi tak boleh hanya melihat penggalan video yang beredar saja. Polisi harus melihat video orasi yang disampaikan Robet secara utuh. Video yang beredar, lanjutnya sengaja dipotong dan kemudian menghilangkan konteks dari keseluruhan apa yang Robet sampaikan.

"Intinya, penyidik tidak boleh melihat penggalan-penggalan semata tetapi melihat konteks dan pesan yang ia sampaikan secara lengkap dan utuh," pungkas Miko.

Baca juga artikel terkait AKSI KAMISAN atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Dipna Videlia Putsanra