Menuju konten utama
Mozaik

Parakitri, Menulis Kusni Kasdut & Mengkritik Orde Baru via Kolom

Selain menulis kisah hidup Kusni Kasdut--pejuang yang kecewa terhadap kondisi setelah kemerdekaan--Parakitri juga menjadi musuh Orde Baru lewat kolomnya.   

Parakitri, Menulis Kusni Kasdut & Mengkritik Orde Baru via Kolom
Header Mozaik Parakitri Tahi Simbolon. tirto.id/Ecun

tirto.id - Ketika buku itu terbit pada 1979, Kusni Kasdut sudah 15 tahun menanti pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Parakitri Tahi Simbolon mengemas kisah hidup bromocorah tersebut dalam bentuk novel. Judulnya mengambil nama sang tokoh.

Kusni adalah veteran Perang Kemerdekaan. Usai revolusi fisik, ia gagal masuk ketentaraan lantaran kakinya cacat akibat terjangan peluru Belanda. Kekecewaan menggelembung karena tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak. Kusni pun menjadi perampok.

Untuk menghasilkan Kusni Kasdut, Parakitri melakukan wawancara intensif dengan sang tokoh di penjara, plus menemui sejumlah orang lain untuk menggali fakta pendukung.

Di majalah TEMPO, sastrawan Lekra, SI Poeradisastra, memuji karya Parakitri. Secara bentuk, pilihan alur maju-mundur sukses menghalau kejemuan ketimbang jika kronologi yang dihamparkan. Secara isi, novel ini menyajikan pandangan jernih tentang sisi lain revolusi kemerdekaan.

"Barangkali buku Parakitri ini memberikan snapshots revolusi yang lebih cermat-realistik, dibanding Surabaya-nya Idroes. Tapi kedua buku itu memang lahir di zaman berbeda," tulis Poeradisastra di TEMPO 8 Maret 1980.

Saat Kusni Kasdut terbit, Parakitri telah tiga tahun bekerja sebagai jurnalis KOMPAS. Pada 1979 juga ia mulai rutin menulis kolom. Konon banyak pembaca yang menggemari tulisan-tulisannya.

Kolom-kolom itu mengandung banyak kritik terhadap kekuasaan Orde Baru. Tapi, situasi politik tak memungkinkan dilancarkan secara terus terang. Parakitri mengemas dengan banyak simbolisasi dan metaforis, dengan memunculkan tiga tokoh utama. Tokoh pertama diberi nama Cucu Wisnusarman, seorang anak muda yang kritis. Dua tokoh lain adalah kakeknya, Wisnusarman dan Laotan.

Ketika dihimpun menjadi buku pada akhir 1993, mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, diminta menulis kata pengantar. Bang Ali menyatakan, karena disampaikan dalam metafora, tidak terlalu mudah bagi banyak orang untuk memahami intinya. Cuma, kata Bang Ali, pesan utama tulisan-tulisan itu tetap sangat bermanfaat dan relevan bahkan bertahun-tahun setelah pertama kali muncul di koran.

Kekuasaan yang menindas tak menyajikan ruang lapang. Saat mengantarkan antologi itu, Parakitri menulis, dirinya berjuang untuk memiliki wilayah bebas, betapa pun sempit, di tengah keadaan yang serba mengekang. Kolom-kolom itu menjadi wilayah bebasnya.

"Cucu Wisnusarman saya tulis pada saat paling gelap dalam mempertahankan keutuhan nurani saya," tulisnya.

Tertunda ke Paris

Pertikaian dengan Orde Baru berlangsung sejak Parakitri masih kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada akhir 1971, ia dan beberapa temannya mendapat sponsor untuk membuat majalah mingguan. Di antara mereka ada nama seperti Zulkifly Lubis, Aini Chalid, Peter Hagul, Daniel Dhakidae, dan Ashadi Siregar.

Ashadi didapuk menjadi pemimpin redaksi. Alasannya, hanya dia yang belajar secara formal tentang jurnalistik. Masalah berikutnya adalah penentuan nama. Dalam ingatan Daniel Dhakidae, Parakitri yang mengajukan Sendi sebagai nama media mereka.

"Sendi, yang menjadi kekuatan penyambung, baik dalam diri manusia maupun di dalam urusan teknologi bangunan pada umumnya. Semua menerima Sendi, koran mingguan yang dikelola oleh mahasiswa, sebagai nama penerbitan itu," kenang Daniel dalam "Keping-keping Kenangan Gerakan Mahasiswa Bersama Ashadi Siregar" (2010).

Sendi hanya terbit 13 kali. Pada setiap edisi ada serangan terhadap Orde Baru. Puncaknya, muncul tulisan yang memparodikan Pembukaan UUD 1945. Targetnya jelas: protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Aparat keamanan pun bergerak. Sendi ditutup dan Ashadi diadili, lalu dijatuhi hukuman percobaan.

Bersama para eks Sendi, Parakitri membentuk Kelompok Tiga Belas yang kegiatan utamanya ngobrolin politik. Saat Peristiwa Malari meletus, para eksponen Kelompok Tiga Belas diburu karena dianggap punya hubungan dengan Hariman Siregar dkk di Jakarta.

Ketika itu Parakitri sudah lulus dari UGM dan mendapat beasiswa dari Institut International d’Administration Publique (IIAP), Paris. Gara-gara Malari, keberangkatan ke Paris sempat tertunda. Sudah di bandara, barang-barang sudah masuk bagasi, sejumlah aparat keamanan menarik Parakitri untuk diinterogasi.

Sepulang dari Prancis, ia bergabung dengan Kompas. Sepuluh tahun kemudian, ia dibiayai Kompas untuk studi doktoral di Vrije Universiteit, Amsterdam. Pada Februari 1991, ia mempertahankan disertasi mengenai etnisitas dan perdagangan besar di metropolitan Jakarta.

Kegemarannya pada sejarah melahirkan buku Menjadi Indonesia pada 1995. Ini buku pertama dari tiga buku yang direncanakan Kompas mengenai proses kebangsaan Indonesia. Parakitri kebagian tugas menulis jilid pertama.

Kurun waktu yang dibahas jilid pertama mencakup abad ke-4 Masehi sampai menjelang Perang Dunia II. Dibutuhkan 800 halaman lebih untuk memaparkan, setengah di antaranya dipakai untuk catatan kaki.

"Kalau catatan-catatan ini dimasukkan ke tulisan pokok di bagian depan buku, dikhawatirkan kelancaran uraian akan terganggu, sehingga pembaca bisa terusik keasyikannya," tulis Ketua Dewan Redaksi Buku, P. Swantoro.

Tak terdengar penjelasan mengapa jilid kedua dan ketiga belum kunjung hadir meski nyaris tiga dekade berlalu.

Infografik Mozaik Parakitri Tahi Simbolon

Infografik Mozaik Parakitri Tahi Simbolon. tirto.id/Ecun

Kertas Pembungkus Kue

Dalam wawancara dengan Wimar Witoelar untuk acara Perspektif di SCTV, Parakitri mengatakan para antropolog sangat paham bahwa salah satu kelebihan orang Batak adalah mereka punya tradisi sejarah.

Dalam tradisi yang disebut Tambo itu, misalnya, keluarga Batak diajarkan untuk mengenal silsilah nenek moyang, bahkan sampai 20 generasi ke belakang.

"Mereka bisa menceritakan siapa istrinya, berapa anaknya, di mana mereka, sejak kapan mereka pindah ke satu tempat. Ada perasaan sejarah, ada sense of history di masyarakat itu," ujar Parakitri yang setelah pensiun dari Kompas diminta memimpin penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Sebagai pencerita, Parakitri juga merambah dunia film. Skenarionya untuk Gadis Penakluk memenangkan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1981. Pada 1982, skenarionya, Topaz Sang Guru, yang disadur dari naskah drama Marcel Pagnol, Topaze, juga banyak dipuji meski tak menyabet penghargaan FFI.

Kontribusinya di dunia jurnalistik pun terlihat dalam Vademekum Wartawan. Semula buku ini merupakan bahan pelatihan wartawan Kompas. Dikemas dalam format cerita bergambar, karya ini merupakan salah satu buku terbaik dalam bahasa Indonesia terkait dasar-dasar reportase jurnalistik.

Penulis keren adalah pembaca yang rakus. Parakitri mengaku kegemarannya membaca dimulai dari kertas pembungkus kue di kampung halamannya di Pulau Samosir, Sumatra Utara. Ia lahir di Rianiate, Pulau Samosir, pada 28 Desember 1947.

Alkisah, ada warga keturunan Tamil yang berjualan bandrek dan kue singkong di sana. Kertas yang dipakai membungkus kue adalah koran bekas berbahasa Inggris dari Singapura. Kertas-kertas itulah yang dibaca dengan antusias oleh Parakitri yang waktu itu masih bernama Tahi Simbolon.

"Nama saya sebenarnya Tahi Simbolon. Tapi kalau di Jawa, suka hilang H-nya. Lalu daripada susah, dibuat lebih susah. Bilang 'Parakitri'-kan susah sekali. Maka saya pilih nama itu," katanya kepada Wimar.

Pada 24 Maret 2024, Parakitri wafat. Ia pergi, menyusul sahabatnya, Daniel Dhakidae; menyusul sosok yang ditulisnya dengan memikat, Kusni Kasdut.

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Yus Ariyanto
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi