Menuju konten utama

Papua Ricuh, Akses Komunikasi Lumpuh, Bagaimana Kecemasan Kerabat?

Hak untuk mendapat informasi terpangkas akibat pelambatan dan pemblokiran internet di Papua.

Papua Ricuh, Akses Komunikasi Lumpuh, Bagaimana Kecemasan Kerabat?
Ilustrasi HL Indepth Nina Bobo Papua. tirto.id/Lugas

tirto.id - Situasi keamanan di Papua dan Papua Barat tidak menentu. Protes anti rasisme terjadi di Manokwari, Deiyai, hingga Jayapura. Sekolah diliburkan, SPBU dan tiga bandara: Sentani, Deiyai, Dogiyai sempat ditutup. Gedung-gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), KPU Provinsi Papua, Dinas Komunikasi dan Informatika Papua, hingga Bea Cukai Pelabuhan Jayapura dibakar massa.

Secara beruntun, personel TNI-Polri dari berbagai daerah dikerahkan ke Papua. Sampai, Sabtu (31/8/2019) sudah ada 700 personel TNI di Papua. Kemudian sejak Jumat (30/8/2019) saja, terdapat 682 polisi yang dikirim untuk mempertebal keamanan di Papua.

Secara sepihak, pemerintah Indonesia melambatkan akses komunikasi data di Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019). Kemudian disusul dengan penangguhan total akses internet sejak, Rabu (21/8/2019) hingga kini. Akibatnya demonstran meluapkan protes dengan membakar kabel koneksi antar Base Tranceiver Station (BTS) Telkomsel. Dampaknya bukan hanya sinyal internet, akses komunikasi melalui sms dan telepon mati.

Dalam situasi tak stabil, personil TNI-Polri diperbanyak, dan penangguhan pelayanan komunikasi: Bagaimana mereka yang berada di luar Papua dan Papua Barat memastikan kerabatnya aman?

Rima, 22 tahun, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta Barat, cemas mencari tahu kabar ibunya yang tinggal di Jayapura. Ia dan keluarga besarnya kesulitan menghubungi ibunya.

"Sejak yang rusuh di Jayapura, [Kamis] baru enggak bisa telepon," kata Rima saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (30/8/2019).

Usai kerusuhan yang terjadi di Jayapura, sekitar satu jam perjalanan darat dari Bandar Udara Sentani, layanan telepon dan pesan singkat sangat sulit diakses. Namun pada Jumat sore Rima sempat berhasil menelpon ibunya.

Dia mendapat kabar, area sekitar rumahnya dijaga ketat polisi. Pagar kawat pun dibentangkan untuk menghalau massa. Keluarga besar di Jayapura pun berkali-kali berusaha menghubungi, tapi selalu gagal.

Belum selesai Rima melepas gundahnya, tiba-tiba sambungan telepon terputus. Ibunya tak bisa dihubungi lagi.

Hal serupa juga dialami Teta, 22 tahun. Dia tengah menempuh pendidikan di Malang, Jawa Timur. Dia tak bisa menghubungi paman dan keluarganya di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, sejak 25 Agustus kemarin.

"Enggak ada komunikasi lagi sampai sekarang. Saya sudah coba SMS tapi belum dibalas," kata Teta saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (30/8/2019).

Teta bercerita pamannya cukup aktif di grup WhatsApp keluarga. Ia mengatakan pamannya masih sempat mengucapkan selamat pagi di grup tersebut pada 17 Agustus. Namun esoknya, beredar berita kerusuhan di Manokwari dan pamannya tak bisa dihubungi.

Sepekan berselang, Teta baru mendapat kabar dari pamannya pada 25 Agustus. Ia mendapat cerita bahwa rumah pamannya dijaga ketat oleh para tetangga. Mereka khawatir ada massa yang menyerang pendatang asal Malang sebagai balasan atas persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua.

"Keadaan di lingkungan tempat tinggal om saya masih kondusif katanya," ujar Teta.

Teta menambahkan, simpang siurnya informasi lantaran pelambatan dan pemblokiran internet menjadi teror bagi pamannya beserta keluarga. Hal itu dikarenakan sempat beredar informasi akan ada sweeping terhadap kelompok tertentu di Papua.

Rima dan Teta hanya sedikit dari sekian banyak masyarakat yang khawatir akan keselamatan sanak saudara atau orang terdekatnya di Papua. Mereka kompak berharap, saluran komunikasi bisa dipulihkan lagi sehingga mereka bisa memastikan keluarganya baik-baik saja. Mereka pun berharap situasi Papua bisa kembali normal seperti sedia kala.

Masyarakat Dirugikan

Terputusnya jaringan komunikasi di Papua disesalkan koalisi masyarakar sipil. Pelambatan dan pemblokiran internet membuat situasi makin kacau.

Damar Junianto, Koordinator SafeNET, jaringan relawan pembela hak-hak digital se-Asia Tenggara berkata, efek negatif penghentian akses internet sebagaimana terjadi di Papua membuat masyarakat tak mengetahui situasi konflik.

“Justru masyarakat kesulitan untuk mengetahui apa yang terjadi di lapangan,” kata Damar di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (26/8/2019).

Damar berpendapat, cara berpikir pemerintah terlalu dangkal. Sebab seringkali menyelesaikan masalah Papua dengan sudut pandang keamanan.

“Yang perlu dicari adalah cara lebih bijak. Hanya semata aspek keamanan, kita tahu tidak efektif dan merugikan banyak pihak,” ujar Damar.

Alasan pemblokiran untuk membendung hoaks juga dinilai malah menimbulkan masalah baru di Papua. Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan masalah yang muncul yakni terpangkasnya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan mengakses internet.

"Hak untuk mendapatkan akses internet itu hak dasar, enggak boleh seenaknya main delay," tegas Fadli di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Namun, pemerintah berkukuh tetap memblokir internet di Papua sampai situasi kondusif. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan pemblokiran internet dilakukan lantaran masih banyak kabar bohong beredar yang dijadikan alat propaganda untuk melawan pemerintah.

Wiranto mengklaim sikap pemerintah membatasi akses internet bukan tindakan sewenang-wenang. "Bukan melanggar hukum. Tetapi semata-mata menjaga keamanan nasional, menjaga keutuhan nasional."

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan