Menuju konten utama

Pangan Aman, Kunci Masa Depan

Keamanan pangan dimulai dari teliti membaca label pada kemasan pangan yang akan dikonsumsi keluarga.
Nutricia dan Sarihusada meluncurkan kampanye gizi “Pangan Aman, Hidup Sehat” sebagai komitmen memenuhi hak konsumen akan pangan yang aman.

Pangan Aman, Kunci Masa Depan
Pangan aman hidup sehat. FOTO/Istimewa

tirto.id - “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” kata Bung Karno suatu kali. Lantang dan optimistik, seruan tersebut menggambarkan keyakinannya bahwa generasi muda adalah agen perubahan yang akan mengemban masa depan bangsa. Ia tentu berharap para pemuda Indonesia akan menjadi generasi yang sehat jiwa raga. Kenyataannya, generasi muda Indonesia dihantui oleh masalah kekurangan gizi sampai hari ini.

Kajian Gizi yang dirilis oleh UNICEF Indonesia pada 2012 menyimpulkan jika anak-anak kurang gizi menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat, dan lebih rentan terhadap penyakit. Generasi muda dengan gizi buruk adalah penanda buruknya sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas bangsa di masa mendatang.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, balita kurang gizi menjadi salah satu ancaman kesehatan dengan tingkat prevalensi tertinggi di Indonesia. Secara nasional, prevalensi balita kurang gizi mencapai 19,6%. Hampir 1 dari 5 balita di Indonesia mengidap kurang gizi. Lebih lanjut, data balita yang mengalami masalah kurang gizi kronis (stunting) secara nasional mencapai 37,2% yang artinya pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia pun tercatat lebih tinggi dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).

Intervensi terhadap konsumsi pangan dan pemenuhan gizi ibu dan anak merupakan kunci untuk menangani persoalan ini, khususnya dalam seribu hari pertama masa pertumbuhan anak yang dimulai dari masa prakehamilan sampai anak berumur dua tahun. Di masa ini, ibu memiliki peranan penting sebagai penentu pola dan jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh sang buah hati.

Selain mengikuti anjuran keragaman pangan yang tercantum dalam Prinsip Gizi Seimbang oleh Kemenkes, perlu diingat bahwa sekalipun anak memiliki tubuh yang lebih kecil dibanding orang dewasa, namun mereka membutuhkan mikronutrien 6 kali lebih banyak untuk membangun sistem imun dan mengoptimalkan proses tumbuh kembang.

Salah satu penyumbang zat gizi mikro yang dianjurkan bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak berusia di bawah 5 tahun adalah susu, khususnya produk susu yang terfortifikasi dengan penambahan zat gizi makro dan mikro serta zat esensial lainnya untuk menyesuaikan komposisi yang hilang selama proses pengolahan sehingga tepat dan aman dikonsumsi.

Yang harus diperhatikan saat membeli produk susu terfortifikasi dalam kemasan adalah kelompok umur konsumsi serta tata cara penyajian yang tepat untuk memaksimalkan manfaat nutrisi yang terkandung di dalamnya. Caranya adalah dengan teliti membaca dan memahami label yang tercantum dalam kemasan produk pangan yang beredar di pasar.

Di Indonesia, pencantuman label pada produk pangan olahan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 69 tahun 1999 mengenai Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Kepala Badan BPOM nomor HK.031.5.12.11.09955 Tahun 2011 mengenai Pendaftaran Pangan Olahan. Tak hanya berfungsi sebagai pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen, label dalam kemasan juga memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mendapatkan seluruh informasi mengenai produk pangan tersebut. Mulai dari informasi gizi, bahan yang terkandung, cara penyajian, label halal, hingga tanggal kedaluwarsa.

Sayangnya, banyak konsumen yang ternyata belum memahami pentingnya membaca label makanan dengan teliti. Survei kajian keamanan pangan masyarakat tahun 2015 yang dilakukan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan menampilkan data yang cukup mencemaskan. Dari 750 responden, hanya 25,3% yang mengaku selalu mengecek komposisi makanan setiap membeli produk. 37,1% mengaku sering mengecek, 34,5% jarang, dan 3,1% tidak pernah mengecek komposisi pangan sama sekali. Hasil surve​i​ juga memaparkan jika merek produk, keterangan kedaluwarsa, harga, rasa, dan label halal menjadi hal yang paling dipertimbangkan konsumen dalam memilih suatu produk dibandingkan dengan komposisi, kandungan gizi, dan anjuran penyajian. Padahal, membaca label makanan kemasan dan memahami komposisi dan anjuran penyajian yang tertera adalah cara penting untuk mengatur asupan gizi yang akan dikonsumsi, khususnya gula, garam, dan lemak sesuai dengan batas konsumsi aman yang dianjurkan oleh Kemenkes. Konsumsi melebihi takaran yang dianjurkan dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti jantung, diabetes, hipertensi, hingga stroke.

Sebagai komitmen dalam mendukung keamanan pangan terutama pada pangan kemasan dan memenuhi hak konsumen untuk pangan yang aman demi pemenuhan nutrisi anak sejak usia tumbuh kembang, Nutricia dan Sarihusada pun meluncurkan inisiatif kampanye gizi lewat program “Pangan Aman, Hidup Sehat.”

Nutricia dan Sarihusada percaya bahwa salah satu pencegahan masalah keamanan pangan dimulai dari gerakan membaca label kemasan pangan dengan benar. Karena itu, label komposisi berisi informasi kandungan nutrisi yang ada pada kemasan menjadi atensi khusus dari Nutricia dan Sarihusada tidak hanya sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat mengenai produk pangan yang aman, tapi juga bentuk pertanggungjawaban mereka sebagai produsen terhadap para konsumen. Melalui kampanye ini, mereka berharap keluarga dapat lebih bijak dalam memilih dan memahami pangan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis