tirto.id - Dalam al-Qur’an, demikian juga Sunnah Nabi saw, ditemukan sekian banyak doa yang menggunakan redaksi berbentuk jamak (plural). Hal tersebut menunjukkan dibenarkannya doa bersama. Bahkan bisa dikatakan semakin banyak yang terlibat dalam doa, maka semakin besar harapan (atau kemungkinan) pengabulannya.
Firman-Nya dalam QS. Al-Fatihah (1): "Ihdina ash-shirath al-Mustaqim (Antarlah kami menuju jalan lebar yang lurus)," diajarkan Allah SWT sebagai doa yang hendaknya dipanjatkan dalam salat, walau shalat itu dilaksanakan sendiri -- demikianlah sabda Rasul SAW. Maksudnya adalah “rahmat (dan bantuan) Allah hadir bersama jamaah”, yakni orang banyak.
Namun bukan berarti doa bersama yang dimaksud adalah doa yang dipanjatkan bersama oleh siapa pun tanpa memerhatikan syarat-syarat pengabulan doa. Sebelum ini, penulis telah kemukakan syarat utama pengabulan doa yang ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah, yakni keikhlasan berdoa dan beribadah kepada-Nya.
Keikhlasan tersebut, antara lain, tercermin dalam meng-esa-kan Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu atau sesedikit apa pun. Kendati umat agama lain boleh jadi memercayai dan mengakui keesaan Allah, namun pengakuan dan kepercayaan itu dalam pandangan Islam tidaklah murni. Oleh karenanya dinilai tidak dapat meraih tingkat keikhlasan yang ideal.
Suatu hal yang perlu selalu diingat bahwa ajaran Islam sangat memelihara kemurnian akidah. Sepanjang periode Mekkah, yang berlangsung sekitar sepuluh tahun lamanya, Nabi SAW mengajarkan hal tersebut kepada umat agar tidak terjadi kerancuan sedikit pun menyangkut ke-esaan-Nya itu. Karena itu pula, ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang akidah sangat gamblang dan tegas, lagi rinci, yang sedikit berbeda dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Ini karena kerancuan dalam akidah dapat mengakibatkan kemusyrikan yang tidak ditoleransi oleh Islam.
Atas dasar terbukanya peluang bagi munculnya kerancuan akidah menyangkut Allah SWT, serta untuk menutup segala kemungkinan yang tidak diinginkan, maka para ulama sepakat menyatakan tidak dibenarkan seorang Muslim mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh non-Muslim, karena doa mereka itu pada hakikatnya ditujukan kepada siapa yang tidak menyandang sifat-sifat ketuhanan yang diajarkan Islam. Kendati boleh jadi mereka pun menamainya Tuhan atau Allah dan menyatakan keesaan-Nya, namun keesaan yang mereka maksud bukan seperti yang diajarkan Nabi SAW, yang antara lain tercermin dalam QS. Al-Ikhlas (112):” Lam yalid wa lam yakun lahu kufwan ahad atau Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada satu pun yang setara dengan Dia.”
Terlibat secara langsung dan aktif dalam acara spiritual non-muslim, seperti mengaminkan doa mereka, mengandung arti menyetujui doa itu, baik pada permohonan yang dipanjatkan maupun pada siapa yang dipinta untuk mengabulkannya.
Bukan berarti ajaran Islam tidak memerkenankan kehadiran non-muslim dalam acara doa yang dilaksanakan kaum muslim, atau melarang non-muslim berdoa di satu tempat yang dihadiri oleh mayoritas umat Islam. Pakar tafsir, Ibnu Katsir, ketika menafsirkan firman Allah tentang mubahalah (QS. Ali Imran ayat 61) menyatakan bahwa Rasul SAW mengizinkan utusan orang-orang Nasrani dan Najran untuk melaksanakan salat mereka di Masjid Nabawi ketika waktu ibadah mereka telah tiba. Nabi dan para sahabat menyaksikan mereka beribahada dan berdoa. Ini berarti tidak ada larangan bagi non-muslim untuk berdoa di hadapan kaum muslim selama kaum muslim tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan ritual itu.
Selanjutnya harus pula digarisbawahi bahwa larangan di atas bukan berarti Islam melarang kegiatan bersama dalam bidang sosial. Allah SWT memerintahkan kaum muslim untuk bekerja sama dalam kebajikan, bahkan larangan tersebut bukan berarti larangan memberi bantuan kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi umat Islam. Umat Islam dibenarkan oleh Al-Qur’an untuk berbuat baik, memberi hadiah dan semacamnya kepada non-muslim.
Dalam konteks ini Allah SWT berfirman: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil (memberi sebagian dari harta kamu) terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-Mumtahanah ayat 8).
=====
*) Naskah diambil dari buku "Wawasan al-Qur'an tentang Doa dan Zikir" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS