tirto.id - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengundang sejumlah pakar ekonomi untuk dimintai tanggapannya mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Sejumlah pandangan dan pertimbangan pun telah disampaikan oleh para pakar yang hadir. Mereka di antaranya adalah mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Periode 2001-2006 Hadi Poernomo dan ekonom Aviliani.
Seusai rapat, Hadi sempat menyampaikan pendapatnya lebih lanjut terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Menurut Hadi, kehadiran Perppu tersebut bukanlah suatu momok.
“Kenapa mesti takut? Kalau dia takut kena Perppu, berarti waktu amnesti pajak mungkin nggak lengkap, nggak benar, atau nggak jelas,” kata Hadi kepada sejumlah awak media di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Selasa (18/7/2017) sore.
Lebih lanjut, Hadi mengaku setuju dengan langkah pemerintah yang melakukan program pengampunan pajak atau tax amnesty terlebih dulu sebelum menerbitkan Perppu.
“Itu semua sudah sudah betul. Bukannya membela, tapi memang benar. Sejak 2001, pemerintah dan DPR RI telah sepakat untuk amnesti dan revisi UU Perbankan (Nomor 10 Tahun 1998) Pasal 40,” ucap Hadi.
“Jelas sekali apanya yang dipersoalkan. Makanya jangan campurkan kasus dengan sistem. Untuk pelaksanaannya, DPR harus mengawasi,” tambah Hadi.
Dalam rapat yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu, Hadi juga sempat menyinggung simpulan dari kesepakatan yang dihasilkan pada 16 tahun lalu.
“Di situ memang masih gagasan, namun intinya sama. Kelangkaan informasi menyangkut transaksi keuangan perusahaan maupun individu, membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sulit mencari bukti penghasilan yang menjadi basis pemungutan pajak,” ungkap Hadi.
Sementara itu, ekonom Aviliani mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menerapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tersebut. Menurut Aviliani, pemerintah perlu melakukan sosialisasi lebih gencar dan memastikan semua data tetap terjaga kerahasiaannya.
“Karena dianggapnya yang saldo Rp1 miliar itu akan dicek, jangan sampai membuat masyarakat panik dan sampai menjadi negatif. Sehingga sebagian orang dapat memindahkan dananya ke negara lain, karena negara tersebut komitmennya masih memakai syarat,” ujar Aviliani saat rapat.
“Dengan Perppu ini, otomatis bank harus memberikan semua data ke DJP. Jangan sampai kasus, lalu oper data menggunakan flashdisk. Kalau datanya kemana-mana, bisa disalahgunakan,” kata Aviliani lagi.
Lebih lanjut, Aviliani mengatakan perlu adanya rambu yang jelas bagi bank saat membuka data nasabah mereka kepada DJP.
“Karena seringkali nasabah menyalahkan perbankan ketika data mereka keluar,” ucap Aviliani yang juga merupakan Pembina Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas).
“Kita setuju, tapi dengan berbagai catatan. Itu agar kepercayaan terhadap perbankan tidak luntur, begitu juga kepercayaan kepada aparat pajak,” tambah Aviliani.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari