tirto.id - Malam masih sangat panjang ketika segerombolan maling tunggang-langgang dikejar penduduk sebuah kampung. Nyaris tertangkap dan diamuk massa, nasib baik masih menghampiri. Mereka berhasil meloloskan diri dan menjauh pergi ke kampung yang dirasa sedikit lebih aman dari endusan penduduk yang memburu secara membabi-buta.
Guna menghapus jejak, mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah rumah. Kepada pemilik rumah mereka mengaku sebagai prajurit istana yang sedang kelelahan mengejar pemberontak.
Senyum merekah segera meluncur dari bibir tuan rumah. Lelaki sepuh itu segera menjamu para tamu yang istimewa di matanya. Ia bahagia sebahagia-bahagianya. Tuhan sedang menitipkan para pejuang yang berjihad untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan dari rongrongan pemberontak. “Orang bughat (memberontak kepada penguasa yang sah) memang harus diperangi,” demikian ia membuka percakapan sembari menyuguhkan minuman hangat.
Suasana hening dan kikuk. Masing-masing anggota gerombolan maling yang berjumlah empat orang itu saling berpandangan mata. Sadar akan sandiwara mereka, para maling segera menyesuaikan keadaan dan mengikuti alur pembicaraan yang tentu saja penuh dengan kepalsuan dan kebohongan.
Ketika malam semakin larut, tuan rumah memaksa gerombolan itu menginap di rumahnya. Mula-mula mereka menolak. Namun atas kuatnya dorongan dan rasa iba terhadap tuan rumah yang demikian bahagia, mereka akhirnya memutuskan untuk menurutinya. Tentu saja mereka tak tidur. Mereka tetap waspada, barangkali ada kejadian-kejadian yang tidak diduga, termasuk terbukanya kedok dan kemungkinan terendusnya keberadaan mereka oleh penduduk.
Ketika semua berada di dalam kamar, tuan rumah dengan penuh semangat membopong seorang gadis paruh baya. Ia membaringkan putrinya di lantai ruang tamu. Sisa-sisa air minum para tamu dilaburkan ke sekujur tubuh anaknya yang lumpuh. Ia percaya bahwa sisa-sisa air minum para mujahid yang ikhlas membela kedaulatan kerajaan bisa menjadi jalan kesembuhan bagi kelumpuhan anaknya.
Para tamu yang sadar dan tahu akan kejadian itu hanya bisa diam dan menitikkan air mata. Kebohongan dan kepalsuan yang mereka lakukan dibalas dengan kebaikan dan juga penghormatan yang demikian luar biasa. Bahkan tuan rumah percaya dan berharap air bekas minum mereka bertuah bagi kesembuhan anaknya. Malam semakin larut ketika masing-masing maling itu meneteskan air mata.
Ajaib. Esok hari ketika keadaan dirasa aman, para tamu itu pamit undur diri. Si lelaki sepuh keluar kamar melepas kepergian sembari menciumi tangan mereka satu per satu. Lelaki itu berterima kasih. Ia bercerita bahwa putrinya telah sembuh dari penyakit lumpuh.
Sekonyong-konyong, rombongan maling itu menangis sejadi-jadinya. Bukan hanya karena kesembuhan putri tuan rumah, namun mula-mula karena kesadaran mereka bahwa prasangka yang baik bisa membawa keajaiban. Pikiran positif melahirkan ketakjuban yang bahkan dinilai mustahil terjadi.
Kisah di atas sangat populer. Salah satu perawi kisahnya adalah Kiai Cholil Bisri dalam tulisannya bertajuk “Berbaik Sangka” di buku Menuju Ketenangan Batin (2008: 67).
Jangan Terburu-Buru Menyimpulkan
Lain cerita. Kali ini menimpa Ibrahim bin Adham. Di sebuah sore yang teduh, ia berjalan di seputaran pantai. Ia menyapukan pandangan ke hampir seluruh penjuru. Sepi. Ia hanya melihat ada sekelompok orang sedang bermain-main air laut. Kurang lebih berjumlah lima orang.
Sementara di jarak yang tidak begitu jauh dari para pemuda yang sedang bermain itu, ada seorang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk berduaan. Ada beberapa botol minuman di sebelah mereka. Ibrahim bin Adham menggerutu. Ia membenci kemaksiatan, apalagi dilakukan di tempat terbuka. Singkatnya, Ibrahim bin Adham sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mematung di tepi pantai, sampai kemudian datang sebuah ombak besar yang menelan lima pemuda yang sedang bermain di areal pantai.
Lelaki yang duduk-duduk di tepi pantai secara cekatan berlari menolong satu per satu pemuda yang terseret ombak. Empat orang berhasil dievakuasi. Satu orang raib ditelan ombak. Lepas menyelamatkan para pemuda, lelaki itu justru segera menghampiri Ibrahim bin Adham, bukan kembali kepada perempuan yang ada duduk di sampingnya tadi.
“Harusnya kau bisa membantu menyelamatkan satu pemuda yang terseret ombak. Ketika aku sibuk menyelamatkan empat pemuda, kau justru belum bisa keluar dari kecamuk pikiran dan prasangka burukmu. Perempuan yang ada di sampingku dialah yang melahirkanku.”
Ibrahim bin Adham gemetar. Engsel-engsel kakinya seakan-akan rapuh. Peristiwa ini menjadi pukulan berat baginya. Kejadian ini kelak juga menjadi pelecut bagi Ibrahim bin Adham untuk mengajarkan kepada murid-muridnya agar mengedepankan pikiran positif dan sebisa mungkin menunda kesimpulan. Pribadi yang baik adalah mereka yang tidak tergopoh-gopoh menyimpulkan.
Demikianlah asketisme yang diajarkan Ibrahim bin Adham, yang oleh sejarawan Ibnu Katsir dalam Al-Bidāyah wan Nihāyah (vol. 10: 213) diberi gelar sebagai ahadu masyāhiril ubbād wa akābirizuhhād (salah satu ahli ibadah yang populer dan biangnya kezuhudan).
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan