Menuju konten utama
Daffy al-Jugjawy

Pak Hormon, Abu Hurairah, dan Laqob Para Santri

Nama panggilan santri di pesantren bisa jadi aneh dan jenaka. Namun, siapa sangka, di kebudayaan Arab hal tersebut sudah terjadi bahkan sejak era Nabi Muhammad.

Pak Hormon, Abu Hurairah, dan Laqob Para Santri
Sejumlah santri Pondok Pesantren Al Falah mengikuti Parade Santri di Desa Ploso, Kediri, Jawa Timur, Minggu (30/4). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - “Panggilannya Embek,” ujar Muhammad Bahrul Mustawa atau biasa dipanggil Gus Tawa. Putra pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Sragen, Jawa Tengah.

Benar-benar “embek” seperti penyebutan suara kambing.

“Embek?” tanya saya, “Nama aslinya siapa?”

“Wah itu saya lupa,” kata Gus Tawa sambil tertawa.

Di pesantren, hal semacam ini wajar terjadi. Istilahnya laqob. Gelar atau nama julukan atau nickname. Sebenarnya laqob sering digunakan sebagai gelar dalam tradisi penamaan bangsa Arab. Ada beberapa laqob untuk Nabi Muhammad, misalnya, Al-Amin, atau untuk Abu Bakar kita kenal dengan As-Shidiq.

Meski begitu tidak melulu laqob bermuatan positif. Misalnya, Nabi Musailamah Al-Kadzdzab, sang penipu. Karena ia memang nabi palsu. Atau Abu Abbas As-Saffah, sang penumpas darah.

Terkadang laqob menjadi negatif bukan karena sosok tersebut benar-benar buruk, tapi karena ada sejarah atau kejadian yang membuatnya dipanggil demikian. Seperti perawi hadis bernama Abu an-Nu’am Muhammad bin al-Fadhl as-Sadusi yang punya laqob “Gharim” yang berarti orang jahat dan perusak hanya karena ia adalah seorang budak. Padahal dalam keseharian An-Nu’am adalah orang baik-baik.

Ada juga Mu’awiyyah bin Abdul Karim “Adh-Dhol” yang berarti “tersesat” hanya karena, dalam suatu perjalanan ke Kota Mekah, Mu’awiyyah pernah tersesat. Juga dengan perawi hadis bernama Abdullah bin Muhammad “Ad-Dhoif”. Yang mendapat laqob ini bukan karena hadis-hadis darinya adalah lemah apalagi palsu, tapi karena badannya memang lemah secara harfiah.

Itulah yang terjadi dengan “Embek”, yang setelah diselidiki ternyata bernama Yusuf Wahyu. Sebagaimana laqob untuk para sahabat atau orang terdahulu, laqob untuk para santri juga ada sebab musababnya. Meski kadang alasannya tidak cukup jelas.

“Kenapa dipanggil Embek?” tanya saya.

“Karena kalau jalan munduk-munduk, suaranya cempreng, dan mukanya seperti cempe (anakan kambing),” kata Gus Tawa.

“Bahkan santri saya ada juga yang dipanggil Bawal,” katanya.

“Bawal? Maksudnya nama jenis ikan?” tanya saya.

“Iya, karena sering megap-megap seperti ikan kalau bernapas," jawab Gus Tawa yang mengundang tawa lebar.

Beberapa santri di pesantren juga memiliki laqob yang aneh-aneh. Seperti halnya tradisi laqob, semua bisa dijelaskan asbabul nuzul-nya kenapa sampai dipanggil demikian.

Beberapa di antaranya seperti “Sedot”. Yang punya nama asli Muhammad Yasir. Dipanggil Sedot karena ia suka sekali menyeruput sisa gula es teh di gelas sampai terdengar suara-suara mengganggu. Atau “Pak RT”, yang punya nama asli Hanief Arifin, karena suka mengenakan peci hitam bermotif dan bentuk tubuhnya seperti tokoh Ketua RT dalam serial komedi situasi “Bajaj Bajuri”.

Meski begitu, terkadang, laqob juga punya alasan dan penjelasan yang cukup panjang untuk mengetahui kenapa dipanggil dengan panggilan tersebut, seperti panggilan “Hormon”.

Nama aslinya Chairul Huda. Dipanggil “Kuda”. Cukup lama dipanggil Kuda oleh teman-temannya, maka panggilannya diganti “Horse” untuk variasi. Lama-kelamaan, nama Horse ini berubah jadi “Hormon”. Sampai sekarang, sekalipun sudah punya anak dan istri, jika masih bertemu dengan teman-temannya ia akan dipanggil “Pak Hormon”. Aneh betul.

Asal-usul nama Arab

Dalam tata bahasa Arab, kata yang merujuk pada nama orang disebut dengan Al-‘Alam yang dibagi menjadi tiga unsur. ‘Alam sendiri adalah isim ma’rifat yang digunakan untuk menyebut nama orang, sebuah wilayah, atau hewan. Dengan kata lain ‘alam artinya nama. Nama apapun, termasuk nama panggilan untuk manusia.

‘Alam ini kemudian dibagi menjadi tiga. Ada isim sebagai nama diri, kun-yah yang merujuk pada julukan karena hubungan keluarga, dan laqob seperti yang tadi dibahas sebagai gelar atau julukan kepada seseorang - entah untuk pujian atau celaan.

Nama-nama Arab dalam kategori nama diri ini seperti Ali, Umar, atau Usman. Nama-nama yang langsung merujuk pada sosok. Nama Nabi Muhammad sendiri juga masuk dalam kategori ini, nama asli.

Setelah nama asli ada juga tradisi yang menggunakan panggilan awalan “Abu” (ayah), “Ummu” (ibu), “Ibnu” (anak laki-laki), atau “Bintu” (anak perempuan). Seperti Abu Bakar, Abu Dzar Al-Ghiffari, atau Ibnu Batutah.

Panggilan semacam ini, jika di dunia pesantren, digolongkan sebagai panggilan seorang teman dengan nama bapaknya. Sebuah pola yang juga ditemui di sekolah-sekolah formal lainnya. Hal semacam ini dinamakan sebagai isim kun-yah. Panggilan yang bersifat unsur keluarga.

Infografik Jenis Nama Arab

Kun-yah dan laqob juga bisa digabungkan menjadi satu. Seperti Abu Hurairah, yang mempunyai nama asli Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi. Karena perawi hadis Nabi Muhammad ini lebih sering dipanggil dengan nama julukannya, “Abu Hurairah”, bapaknya kucing, karena suka sekali memelihara banyak kucing di kediamannya. Hal semacam inilah yang sering kali membuat nama asli seseorang malah tenggelam.

Tradisi ini digunakan karena nama Arab antara satu dengan yang lain terdengar mirip. Dalam ilmu untuk mencari perawi hadis, nama perawi kadang bisa sama antara yang satu dengan yang lain. Seperti salah satu nama perawi hadis dengan nama Muhammad bin Ja’far.

Ada tiga orang perawi hadis dengan menggunakan nama itu sama persis. Untuk membedakannya maka yang dilacak adalah laqob, nama julukannya, untuk menjadi penanda perbedaan.

Al-Bashri untuk perawi dari sanad Syu’bah, Al-Raazi dari sanad Abu Hatim Ar-Raazi, dan Al-Baghdadi untuk perawi dari sanad Abu Khalifa al-Jumahi. Jadi Muhammad bin Ja’far Al-Bashri, Muhammad bin Ja’far Ar-Raazi, dan Muhammad bin Ja’far Al-Baghdadi adalah tiga orang yang berbeda.

Selain penting dalam tradisi ilmu hadis untuk nama-nama perawi, di dunia pesantren di Indonesia, laqob juga penting untuk melacak nama-nama para santri ketika sudah menjadi alumni sebagai penanda.

Sebab sebagaimana monotonnya nama-nama Arab di Timur Tengah, di Indonesia nama-nama tersebut juga tidak cukup banyak punya varian. Nama para santri tidak pernah jauh-jauh antara satu dengan yang lain. Nama seperti Muhammad, Yusuf, Arifin, Zaki, Mubarak, sampai dengan Lukman Hakim adalah nama-nama lazim yang setiap angkatan di pesantren hampir selalu ada. Dan laqob akhirnya digunakan sebagai penanda perbedaan di antara mereka. Entah itu Sedot, Embek, Pak RT, atau barangkali Hormon.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagainya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS