tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap direksi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kali ini yang tertangkap dan telah dijadikan tersangka adalah Direktur Teknologi dan Produksi Krakatau Steel, Wisnu Kuncoro.
KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di PT Krakatau Steel. Selain Wisnu, ada Kenneth Sutarja dari PT Grand Kartech, Kurniawan Edy Tjokro dari Group Tjokro, serta Alexander Muskitta selaku swasta.
Penangkapan tersebut menambah panjang daftar perusahaan pelat merah yang terlibat dalam kasus korupsi. Terakhir, KPK menetapkan dua orang pejabat PT Waskita Karya sebagai tersangka. Mereka yakni Kepala Divisi IV PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode 2011- 2013 Fathor Rachman, dan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode 2010-2014 Yuly Ariandi Siregar.
Fathor dan Yuly menunjuk empat perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada 14 proyek konstruksi yang dikerjakan PT Waskita Karya. Namun, keempat perusahaan ini ternyata tidak mengerjakan pekerjaan yang diminta.
Menanggapi penangkapan Wisnu Kuncoro, Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim telah menyampaikan konferensi pers di kantornya, Jakarta, Minggu (24/3/2019) kemarin. Silmy mengklaim tidak tahu dan cukup terkejut dengan penangkapan rekan kerjanya.
"Saya selaku pimpinan dan rekan kerja sangat prihatin dan ini tentunya kita tidak ingin terjadi. Kita cukup kaget. Terus terang, jajaran direksi sangat baik dan kompak dalam membangun kembali kejayaan Krakatau Steel," ujar Silmy dalam konferensi pers tersebut.
Silmy mengatakan bahwa dirinya, serta jajaran direksi, tidak mengenal dan mengetahui satu pun pihak yang terlibat bersama Wisnu dalam kasus tersebut. Proyek yang dirujuk oleh KPK pun, kata Silmy, tidak tercatat dalam proyek tahun 2019 perusahaan baja tersebut.
“Proyek yang disangkakan itu belum tercatat di rencana kerja Krakatau Steel 2019,” kata Silmy.
Namun, saat ditanya lebih jauh, Silmy mengatakan pemeriksaan proyek tersebut dilihat dari besaran angka yang disebut oleh KPK. “Terus kami cari apa yang kira-kira Rp 24 miliar, dan sehubungan. itu belum ada,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa praktik korupsi yang terjadi sebagai tindakan pribadi atau individu.
“Hal-hal yang dilakukan itu kan sifatnya individu,” tegasnya.
Masalah Internal
Koordinator Divisi Riset Indonesian Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas menilai banyaknya BUMN yang terlibat korupsi menunjukkan adanya masalah dalam internal BUMN tersebut.
“Menurut kami karena pembersihan dalam internal belum maksimal,” kata Firdaus saat dihubungi reporter Tirto,Minggu (24/3/2019).
Firdaus menilai penerapan good corporate governance belum dilakukan secara maksimal. Pasalnya, kata dia, banyak komponen penting dalam usaha untuk menjadi good corporate governance yang belum berjalan dengan baik. “Transparansinya, integritas, belum berjalan lebih baik."
Firdaus juga menilai BUMN masih rentan untuk mendapatkan intervensi. Bahkan penetapan jajaran direksi di dalamnya ada yang tidak memiliki latar belakang profesional, melainkan kepentingan politik.
“Kita bisa melihat latar belakang orang-orang di BUMN, justru titipan-titipan politik, bukan dengan latar belakang profesional,” ujarnya.
Firdaus mengatakan BUMN memang rentan untuk terseret kasus korupsi. Terlebih, dengan melimpahnya uang yang dikelola untuk negara atau masyarakat di dalamnya.
“Karena BUMN mengelola dana publik yang begitu besar,” kata Firdaus.
Politik Buang Badan
Firdaus juga menyoroti pernyataan Direktur Utama Krakatau Steel yang menganggap tindak pidana korupsi sebagai permasalahan individu. Ia menyebut hal tersebut dengan “politik buang badan”.
“Ya gak bisa buang badan [menjadi masalah] individu dong. Orang [Wisnu] itu direktur,” kata Firdaus.
Firdaus mengatakan korupsi tidak bisa dikatakan sebagai masalah individu, apalagi jika yang terjaring adalah jajaran direksi. “kan kewenangan puncak yang diobok-obok,” ujarnya.
Menurut Firdaus kasus semacam ini seharusnya menjadi tamparan bagi BUMN yang bersangkutan dan perlu ada evaluasi yang lebih jauh.
“Pertanyaannya, apakah pola yang terjadi di direksi ini terjadi juga di direksi yang lain? Bisa enggak Krakatau Steel menjamin dari praktik korupsi atau penyimpangan?” tanya Firdaus.
Jangan sampai, kata Firdaus, kasus ini hanya berhenti di sebatas “kamu saja yang apes ketangkap, yang lain tidak”.
Sementara itu, Kementerian BUMN menyerahkan kasus dugaan korupsi di Krakatau Steel kepada KPK. Melalui Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Fajar Harry Sampurno menyampaikan Kementerian BUMN menghormati proses hukum di KPK.
"Kementerian BUMN menghormati proses hukum yang sedang berjalan di PT Krakatau Steel," kata Fajar lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (23/3/2019).
Ia katakan, ia mendukung Krakatau Steel untuk bersikap koperatif dengan membeberkan informasi yang dibutuhkan.
"Dalam pelaksanaannya, semua kegiatan di Kementerian BUMN berpedoman pada tata kelola lembaga baik," tulis Fajar.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan