tirto.id - Pada suatu pagi yang hangat, Mildred Hayes (diperankan Frances McDormand) masuk ke mobil tuanya, menyusuri jalan dari kediamannya di atas bukit ke pusat kota. Kesan murung dan lelah di wajahnya adalah saksi trauma dan perih tak berkesudahan. Tujuh bulan sebelumnya, putri sulungnya, Angela, tewas di tangan para bajingan—diperkosa, dibakar dan dicampakkan begitu saja di pinggir jalan.
Di tengah perjalanan, Mildred melihat tiga papan iklan berukuran besar yang nampak tidak terurus.
Sesampainya di kota, ia mendatangi kantor pengurus papan iklan tersebut dan berjumpa dengan manajer bernama Red Welby (Celeb Landry Jones). Tanpa banyak basa-basi, Mildred langsung menanyakan tentang papan iklan. Mulai dari harga sewa, legalitas, hingga kata-kata yang boleh atau tidak boleh dimuat dalam papan iklan. Setelah bersepakat, Mildred langsung membayar uang muka dan Welby menjanjikan pemasangan papan iklan selesai saat malam Paskah.
Welby menepati janjinya di malam paskah. Papan iklan yang terakhir kali digunakan tahun 1986 itu sudah berganti rupa jadi lebih kinclong. Pada tiga papan tersebut tertulis tiga pesan yang berbeda: “Raped while dying” ("Diperkosa saat sekarat"), “And still no arrest" ("Belum ditahan"), serta “How come Chief Willoughby?” (Kok bisa begitu, Chief Willoughby?") Dengan warna latar merah menyala dan ukuran huruf yang besar, setiap orang yang melintas dipastikan melihat pesan tiga papan dengan mudah. Dari tiga papan iklan itu, cerita Three Billboards Outside Ebbing, Missouri bergulir.
Tiga buah papan iklan yang terletak di luar Ebbing, Missouri, digunakan Mildred sebagai alat kritiknya kepada kepolisian setempat. Mildred merasa polisi tidak becus menangani kasus pembunuhan putrinya dan membiarkan pelaku berkeliaran bebas. Bagi Mildred, setelah tujuh bulan usai putrinya tewas, penanganan kasus berjalan di tempat.
Aksi Mildred pun bikin gerah polisi dan malu. Alih-alih bersopan-sopan dengan aparat, Mildred justru menampar wajah kepolisian di hadapan masyarakat Ebbing.
Agar wajah kepolisian tidak semakin remuk, William Willoughby (Woody Harrelson) dan anak buahnya, Dixon (Sam Rockwell) melakukan berbagai upaya untuk menurunkan papan iklan tersebut. Tak hanya itu, polisi pun akhirnya mulai menggebuk.
Mildred tak tinggal diam. Meski berjuang sendirian dan mendapatkan perlawanan dari banyak pihak, ia tak gentar sedikitpun. Ia bersikeras mempertahankan papan iklan itu supaya masyarakat tahu bahwa polisi belum menangkap para pelaku pembunuhan.
Three Billboard Outside Ebbing, Missouri tak sekadar fokus pada kisah Mildred, perlawanannya kepada polisi, dan usaha aparat untuk memperbaiki citra. Sutradara Martin McDonagh dengan jitu melebarkan narasi, menyorot sisi privat tiap tokoh dengan segala masalahnya yang menjadikan Three Billboard Outside Ebbing, Missouri cerita yang lebih kompleks dari premis awalnya.
Mildred, misalnya. Di balik ketegarannya menghadapi kenyataan pahit tewasnya Angela, ia menjalani peran sebagai ibu bagi putra semata wayangnya, Robbie (Lucas Hedge) dan memastikan tumbuh dengan benar, di tengah konfliknya dengan sang mantan suami yang menguras pikiran.
Kondisi keluarga Mildred memang tak sempurna. Dalam satu kesempatan, McDonagh memperlihatkan bagaimana pertengkaran menjadi santapan sehari-hari keluarga Mildred. Saat bertengkar, Angela (dalam keadaan masih hidup) dan Robbie tak ragu menyebut ibunya dengan “cunt.” Masalah yang menjadi penyebab pertengkarannya pun sepele: Mildred tak membolehkan Angela mengendarai mobil. Ia pun marah dan mengorek kebiasaan mabuk ibunya di masa lalu.
Beda Mildred, beda pula Willoughby. Dari luar, ia nampak kasar, arogan, dan hanya mementingkan citra. Namun, siapa sangka ia seorang family man. Willoughby pun sebetulnya tidak pernah membenci Mildred walaupun ia getol meminta papan iklan yang terdapat namanya diturunkan. Konteks “tidak membenci” di sini dapat Anda saksikan tatkala Willoughby membayar uang sewa papan iklan Mildred secara diam-diam sesaat sebelum ia bunuh diri dengan menembakkan peluru ke kepalanya.
Melalui sosok Willoughby, McDonagh nampaknya ingin membuktikan kredo klasik “jangan melihat orang dari tampilan luarnya semata.” Di tengah serangan kanker pankreasnya yang menjadi-jadi, Willoughby masih berupaya menangkap pelaku. Meski belum berhasil merealisasikannya, setidaknya ia sudah memberitahu Mildred tentang apa yang dilakukannya dan dirasakannya selama ini perihal tewasnya Angela.
Tak ketinggalan pula sosok Nixon. Polisi rasis, brengsek, dan bebal ini lebih suka menempuh jalur kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Berbagai keburukannya itu muncul bukan tanpa sebab. Semenjak ayahnya meninggal, ia kehilangan figur panutan. Hal tersebut membuat psikisnya terguncang dan kerap melakukan kekerasan untuk menyelesaikan masalah—sebagai pelampiasan. Jauh disanubarinya, ia hanya ingin ada seseorang yang bisa menuntunnya.
Sisi-sisi semacam itulah yang membuat Three Billboards Outside Ebbing, Missouri kaya akan konflik. Penonton bakal disajikan permasalahan yang berlapis-lapis. Tak cuma bersimpati kepada perjuangan Mildred, tapi juga kepada tokoh lain—dengan konfliknya masing-masing—yang mengajak penonton berpikir bahwa dunia tak selalu hitam dan putih.
Kekuatan lain dalam Three Billboard Outside Ebbing, Missouri terletak dalam performa Frances McDormand yang memerankan tokoh Mildred. Tanpa cela ia memainkan seorang ibu yang rentan, sakit, dan berjuang mencari keadilan. Ia mampu memadukan kerapuhan, kegetiran, dan sifat jenaka dalam waktu bersamaan.
Penampilannya McDormand di Three Billboard Outside Ebbing, Missouri merupakan akting terbaiknya setelah Fargo (1996). Di film ini pula, McDormand membuktikan bahwa dirinya bisa mengeluarkan performa terbaik tanpa arahan Coen (Joel-Ethan) Bersaudara. Sebagai catatan, selama ini McDormand dikenal sebagai aktris andalan Joel dan Ethan Coen.
Pada akhirnya, film ketiga McDonagh—setelah Seven Psychopats (2012) dan In Bruges (2008)—ini adalah menawarkan meditasi, kehilangan, duka cita, dan pembalasan dendam. Namun, apabila dilihat dengan perspektif yang lebih luas, Three Billboard Outside Ebbing, Missouri tak sebatas soal itu semata.
Di dalamnya, kita bisa menyaksikan ajakan untuk berempati, untuk menyaksikan bahwa segala sesuatu yang penampilan luar belum tentu identik dengan jiwa yang bergemuruh. Memang terkesan klise, tapi di tangan McDonagh, semua itu terdengar masuk akal—tanpa penonton harus merasa sedang dikhotbahi.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf