tirto.id - Litbang Kompas menggelar survei terkait Pemilu 2019, khususnya mengenai elektabilitas partai dalam menghadapi pemilihan legislatif. Hasilnya, dari 16 yang turut serta, hanya enam yang memenuhi ambang batas parlemen yang ditetapkan sebesar empat persen. Dengan kata lain: lolos ke DPR.
Partai tersebut adalah PDIP dengan perolehan suara 26,9 persen, Gerindra 17 persen, Golkar 9,4 persen, PKB 6,8 persen, Demokrat 4,6 persen, dan PKS 4,5 persen.
Empat partai lain yang tidak lolos adalah penghuni lama Senayan. Mereka adalah PAN yang mendapat suara cuma 2,9 persen, PPP 2,7 persen, Nasdem 2,6 persen, dan Hanura 0,9 persen. Dua partai lain adalah partai lama non-parlemen (PBB 0,4 persen dan PKPI 0,2 persen). Sisanya adalah partai baru: Perindo 1,5 persen, PSI 0,9 persen, Berkarya 0,5 persen, dan Garuda 0,2 persen.
Namun, bagi pengurus partai yang tak lolos ke Senayan, hasil survei yang dilakukan pada 22 Februari hingga 5 Maret 2019 terhadap 2.000 responden itu tak membuat mereka pesimis. Setidaknya begitu menurut pejabat Berkarya dan PAN.
Ketua DPP Berkarya Badarudin Andi Picunang mengatakan survei yang menyebut partainya tak lolos bukan hal baru. Survei lain pernah mengemukakan hal serupa. Hal itu justru dilihat sebagai penyemangat di sisa waktu yang kurang dari sebulan ini.
"Tak masalah. Justru memacu kami bekerja di sisa waktu beberapa hari ini," kata Badarudin kepada reporter Tirto, Jumat (22/3/2019).
Rasa percaya diri juga ditunjukkan PAN. Meski banyak survei menyebut elektabilitas mereka berada di bawah ambang batas minimal, namun Ketua DPP PAN Yandri Susanto tetap yakin partainya lolos, bahkan bisa masuk lima besar.
"Faktanya PAN itu selalu lima besar selama pemilu yang berlangsung sejak reformasi. Makanya [kader] PAN selalu [jadi] pimpinan DPR. Kami tidak khawatir," ujar Yandri kepada reporter Tirto.
Rasa percaya dirinya ini, selain didasari rekam jejak, juga asumsi bahwa caleg mereka relatif populer. Dia bahkan mengatakan di sejumlah daerah perolehan suara caleg justru lebih besar dari jumlah pemilih atau pendukung PAN.
"Misalkan di tempat saya, Banten, PAN hanya 30 ribu [suara], saya 80 ribu. Nah ternyata setelah hasil pemilu [2014] PAN itu suara terbanyak karena ada suara saya, suara caleg," kata Yandri.
Faktor Pilpres
Meski optimis, Yandri memberikan sejumlah catatan terkait hasil survei ini. Menurutnya, dalam Pemilu 2019 pekerjaan rumah partai lebih besar karena pileg dilakukan bersamaan dengan pilpres.
Kerja-kerja politik mereka terbagi, antara kampanye capres-cawapres yang diusung partai dengan kampanye diri sendiri.
Masalahnya lagi capres-cawapres relatif tak banyak memberikan pengaruh elektoral atau coattail effect bagi partai, kecuali PDIP dan Gerindra. Perhatian masyarakat tersedot semata ke Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.
Bagi caleg, pengaruh capres-cawapes hanya terasa--dan sekali lagi tak begitu signifikan--jika daerah pemilihan mereka memang basis massa pendukung si pasangan capres-cawapres yang partai mereka usung.
"Misal Banten, karena basis Prabowo maka itu menguntungkan bagi saya. Saya juga tidak terlalu susah untuk 'menjual' Prabowo-Sandi di sini," katanya.
"Tapi apakah di daerah lain sama?" tambahnya.
Pemilu serentak, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang komarudin, memang membuat semua partai kesulitan. Dan ini berlaku baik bagi partai lama maupun baru. Begitu pula dengan pemberitaan media massa yang lebih tertuju ke pilpres dan menutupi pileg.
"Banyak pemilih yang tidak tahu caleg-caleg yang ada di dapilnya," ujar Ujang kepada reporter Tirto.
Partai lama yang diprediksi tidak lolos ke Senayan seharusnya melakukan evaluasi dan refleksi sebelum hari pencoblosan, kata Ujang. Masa kampanye terbuka dari 24 Maret hingga 13 April harus benar-benar dimanfaatkan.
"Karena bisa jadi partai-partai tersebut ketika berkuasa meninggalkan rakyat. Sehingga rakyat pun menjauh," pungkasnya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino