tirto.id - Pemilihan umum yang digelar serentak untuk memilih anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden akan diberlakukan pertama kali pada 2019. Keputusan menyamakan jadwal pemilu ini diputuskan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu pada 23 Januari 2014.
Dalam amar putusannya, MK menyampaikan pelaksanaan pilpres setelah pileg tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki. Pemilu terpisah membuat koalisi tidak bersifat jangka panjang dan membuat sistem demokrasi menjadi tak baik.
“Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi,” kata Hakim Ahmad Fadlil Sumadi saat membaca putusan di Gedung MK, Kamis 23 Januari 2014.
Putusan yang diketok lebih dari empat tahun lalu itu bukan tanpa potensi masalah. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memandang partisipasi pemilih dan kualitas pemilu Indonesia jadi yang terdampak.
Titi beralasan pemilu serentak akan menghabiskan waktu dan energi dan pada saat bersamaan membuat beban berlipat bagi penyelenggara pemilu.
“[Ini] akan mempengaruhi profesionalisme dan integritas mereka dan potensial memicu ketidakcermatan kerja serta terjadinya manipulasi dan kecurangan,” kata Titi kepada reporter Tirto, Kamis (29/11/2018).
Pada sisi lain, Titi juga menyoroti target KPU yang mencanangkan tingkat partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen. Target itu dinilai akan sulit dicapai lantaran tiap TPS butuh 233 pemilih. Jika demikian, satu bilik di TPS harus diisi 58 pemilih.
Berdasarkan simulasi yang digelar KPU di Bogor dan Tangerang, lama waktu yang diperlukan seorang pemilih mencoblos lima surat suara dan keluar dari bilik mencapai 8,5 menit.
Dengan perhitungan tersebut, lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai target keikutsertaan pemilih adalah 493 menit atau atau sekitar 8 jam 21 menit. Sedangkan waktu yang disediakan KPU hanya sekitar 6 jam.
Ini berarti target waktu yang dibutuhkan kurang dua jam lebih dari waktu yang disediakan. Jumlah waktu itu belum ditambah waktu pemilih masyarakat difabel.
Lama waktu tersebut juga belum mencakup perhitungan suara. Berkaca pada Pemilu 2014, penghitungan suara setelah pencoblosan bisa mencapai subuh hari, padahal partisipasi pemilih 75,14 persen.
Kondisi demikian dianggap Titi akan bikin KPPS kelelahan dan kualitas kerja mereka bisa jadi tidak sesuai standar yang diharapkan. Ini berpotensi menimbulkan ketidakcermatan yang Titi prediksi bisa merusak kualitas pemilu.
“Akibat pengawasan tidak optimal, mekanisme kerja yang sangat melelahkan, dan sangat mungkin melahirkan kong kalikong akibat proses yang panjang dan minim kehadiran masyarakat,” kata Titi.
Untuk itu, Titi berharap KPU segera mengedukasi pemilih supaya bisa cepat mencoblos di bilik, sehingga pencoblosan bisa selesai tepat pukul 13.00 siang.
“Kalau kita sudah bisa mendiagnosis potensi masalah yang ada, sudah semestinya KPU membuat langkah antisipasi sejak awal. Contohnya sosialisasi yang masif, tepat sasaran dan intensif,” harapnya.
KPU Sudah Siap
Kekhawatiran Titi disanggah Komisioner KPU Viryan. Dari simulasi terakhir, Viryan menjelaskan pemilih hanya menghabiskan waktu 5 menit untuk mencoblos.
“Kami sudah simulasi,” kata Viryan.
Jika waktu yang dibutuhkan 5 menit, Viryan menyebut, waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 4,8 jam. Jika tepat waktu, pencoblosan sudah selesai sebelum pukul 12.00 siang.
Viryan mengaku sudah siap jika penghitungan suara dilakukan hingga subuh. Namun dia berharap semoga hal itu tak terjadi karena petugas KPPS akan kelelahan.
“Kalau tidak selesai ya diteruskan. Harus diteruskan,” kata dia.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria tak menganggap masalah waktu itu sebagai hal yang krusial. Ia memandang, cara KPU menambah jumlah TPS dan mengurangi jumlah maksimal pemilih di TPS sudah efektif.
“Sudah betul itu KPU menurunkan jumlah pemilih agar proses pencoblosan waktu tersedia tercukupi dan proses penghitungan suara bisa segera [dilakukan],” kata Riza kepada reporter Tirto.
Riza menilai jika hanya 300 orang per TPS, simulasi KPU harusnya sudah tepat dan tidak akan ada penghitungan suara hingga larut malam. Justru pemilih punya waktu lebih di lokasi pencoblosan untuk berpikir matang.
“Sehingga tidak diburu-buru dan tidak perlu tergesa-gesa dan bisa berjalan normal dan tidak ada tekanan,” ucapnya lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih