Menuju konten utama

Operasi Pasar Bulog Kurang Manjur Atasi Kenaikan Harga Beras

Eliza Mardian menuturkan, upaya pemerintah dalam menurunkan harga beras medium lewat operasi pasar melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) kurang manjur.

Operasi Pasar Bulog Kurang Manjur Atasi Kenaikan Harga Beras
Pekerja memindahkan karung berisi beras impor di Gudang Bulog Divre Sumatera Barat, di Padang, Selasa (31/1/2023). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.

tirto.id - Harga beras medium saat ini telah tembus Rp13.200 per kilogram (kg) seperti dipantau dari data panel harga pangan yang dilansir dari laman Badan Pangan Nasional (Bapanas), Jumat (29/9/2023). Kenaikan tersebut melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan Nomor 7 Tahun 2023 sebesar Rp10.900 sampai Rp11.800 per kg.

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian menuturkan, upaya pemerintah dalam menurunkan harga beras medium lewat operasi pasar melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) kurang manjur. Sebab, pemerintah secara jumlah dalam mengendalikan pasokan beras sangat sedikit, hanya sekitar 10 persen.

"Perihal operasi beras, kurang manjur mengatasi kenaikan harga ya karena pemerintah secara jumlah dalam mengendalikan pasokan beras sangat sedikit, kurang lebih hanya 10 persen saja. Sehingga untuk mengintervensi harga di pasar itu kurang signifikan," ucap Eliza saat dihubungi Tirto, Jakarta, Jumat (29/9/2023).

Eliza menyebut, saat ini 90 persen suplai beras berada di tingkat rumah tangga petani, swasta atau penggilingan kecil dan besar. Namun sayangnya, data jumlah suplai beras di rumah tangga dan penggilingan kecil maupun besar, tidak ada yang riil atau nyata.

"Sayangnya data jumlah suplai beras di rumah tangga dan penggilingan kecil dan besar ini tidak ada yang real time di-publish. Akibat ketiadaan data yang akurat ini jadi menimbulkan ketidakpastian supply. Dalam kondisi ini sangat rentan spekulasi oleh pihak yang mencari rente di tengah krisis," jelasnya.

Menurutnya, penggilingan beras saat ini sebagian besar banyak dikuasai oleh pihak swasta, bukan pemerintah sehingga pemerintah dipastikan tidak bisa mengintervensi secara langsung.

"Pemerintah memiliki Bulog yang semestinya bisa menyerap gabah petani, namun dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang rendah dibandingkan harga yang ditawarkan oleh penggilingan swasta sehingga petani enggan menjual ke bulog. Akhirnya, Bulog mengisi cadangan pangan pemerintahnya dari impor. Mayoritas CBP itu dari impor," bebernya.

Kendati begitu, Eliza mengatakan pemerintah perlu mengawasi peredaran beras medium tersebut. Baik itu pengawasannya ada harga beras yang naik hingga adanya isu penimbunan.

"Mestinya diawasi peredarannya, apakah harga naik karena memang suplai sangat sangat terbatas akibat gagal panen, atau ada isu penimbunan oleh spekulan," terangnya.

Lebih lanjut, pemerintah dinilai perlu memastikan neraca berasnya, berapa total produksinya dalam negeri pada musim panen kedua ini. Jika disandingkan dengan kebutuhan konsumsi, maka kekurangan tersebut perlu ditempuh dengan impor atau dialihkan ke diversifikasi pangan.

"Kita bisa mencontoh yang dilakukan Bupati Flores yang mengimbau warganya untuk tiap hari Jumat tidak makan nasi karena meroketnya harga beras. Bupati menginstruksikan untuk mengkonsumsi pangan lokal," imbuh Elfiza.

"Jadi memang upaya diversifikasi ini tidak cukup hanya sebatas rekomendasi saja, melainkan perlu aksi kolektif yang nyata dari berbagai pihak yang didorong oleh pemerintah," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait HARGA BERAS MAHAL atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang