tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai prospek perusahaan teknologi finansial (financial technologi/fintech) syariah di Indonesia ke depannya akan besar. Oleh karena itu, OJK tengah mencari formula agar pengawasan terhadap fintech syariah yang telah berizin bisa lebih maksimal.
Sampai dengan saat ini, OJK memang belum secara spesifik mengatur soal fintech syariah. Baik fintech syariah maupun konvensional masih mengacu pada Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
“Karena fintech itu kan relatif baru di Indonesia. Makanya waktu dibuat ketentuan POJK mengenai fintech itu memang masih jadi satu. Kebanyakan nuansanya memang masih konvensional,” kata Penasihat Komite Strategis dan Pusat Riset OJK Ahmad Buchori di Menara 165, Jakarta pada Senin (14/5/2018).
Kendati demikian, Ahmad mengklaim bahwa OJK saat ini telah memahami fintech dan berkomitmen akan segera membentuk departemen khusus yang mengawasi fintech, baik yang syariah maupun konvensional. Ahmad pun mengharapkan OJK nantinya dapat memberikan arahan-arahan yang tepat bagi keberlangsungan fintech secara umum di Indonesia.
Menurut rencana, departemen yang berfokus pada industri fintech itu akan berada di bawah Bidang Pengawasan Industri Keuangan Non Bank. Ahmad lantas mengindikasikan bahwa akan ada amandemen dari POJK yang saat ini ada, mengingat perkembangan fintech di Indonesia relatif pesat.
“Terkait fatwa pun, untuk fintech belum. Makanya kami juga terus berdiskusi dengan Dewan Syariah Nasional,” ungkap Ahmad.
Masih dalam kesempatan yang sama, Ahmad sempat menjelaskan bahwa fintech syariah harus mengikuti prinsip-prinsip sahnya suatu akad serta memenuhi syarat dan rukun maupun hukum yang berlaku. Untuk itu, Ahmad menilai pentingnya dasar-dasar pokok yang fundamental dalam mengatur keberlangsungan fintech syariah.
“Prinsipnya sebetulnya kan ada tiga, tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (mengandung ketidakpastian), dan riba (bunga melebihi pinjaman),” ucap Ahmad.
Berdasarkan data OJK, total aset keuangan syariah Indonesia di luar saham syariah hingga Februari 2018 tercatat sebesar Rp1.117,88 triliun. Adapun posisi sukuk negara dalam pembagian aset syariah Indonesia mencapai Rp542 triliun, sedangkan total aset untuk perbankan syariah ialah Rp429,36 triliun.
Sementara itu, besaran persentase untuk tiga aspek keuangan syariah juga tercatat mengalami peningkatan pada Februari 2018. Untuk besaran persentasenya, pasar modal syariah ialah 52,70 persen, perbankan syariah 38,40 persen, dan IKNB syariah 8,89 persen.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Agung DH