tirto.id - Oesman Sapta Odang terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam sidang paripurna yang digelar di Gedung Parlemen, pada Selasa (4/4/2017) dini hari. Pria yang akrab disapa Oso ini terpilih secara aklamasi bersama Nono Sampono serta Damayanti Lubis sebagai Wakil Ketua DPD RI.
Terpilihnya Oso menjadi Ketua DPD membuatnya merangkap tiga jabatan sekaligus. Sebelumnya, pria kelahiran Sukadana, 18 Agustus 1950 itu telah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI, dan Ketua Umum DPP Partai Hanura.
Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR, Dadang Rusdiana menilai dengan pengalaman dan latar belakang yang dimilikinya, Oesman Sapta akan mampu memperkuat institusi DPD, mengingat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, DPD tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam legislasi, anggaran maupun pengawasan.
“Saya yakin beliau bisa melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak dalam rangka memperkuat peran DPD. Saya yakin pengalaman dan integritas Oso dapat menata dan memperbaiki citra DPD,” ujarnya, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (4/4/2017).
Paripurna DPD Ricuh
Sebelum terpilihnya Oso, sidang paripurna DPD yang digelar pada Senin (3/4/2017) sempat diwarnai kericuhan. Pemantiknya, para senator yang hadir dalam sidang paripurna memperdebatkan soal keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) No 1 Tahun 2016 dan 2017.
Sejumlah anggota DPD yang menghadiri rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPD RI, Ratu Hemas juga mempermasalahkan undangan mengenai pemilihan pemimpin DPD baru. Saat itu, Hemas menanyakan apakah sidang paripurna akan membacakan keputusan MA dahulu atau melanjutkan agenda lainnya.
Namun, belum selesai ia menyampaikan pendapatnya, para anggota menghujani Ratu Hemas dengan interupsi. Seperti dikutip Antara, beberapa anggota DPD yang bukan anggota Badan Musyawarah, seperti Bambang Sadono, mempertanyakan adanya dua agenda dalam surat undangan yang diterima.
Menurut Bambang Sadono, agenda pertama dalam sidang paripurna DPD adalah soal pemilihan pemimpin DPD, sedangkan agenda kedua pembacaan putusan MA. Bambang mengatakan, lebih baik mengikuti urutan dua surat undangan yang ada, yaitu: melakukan pemilihan pemimpin DPD dulu, baru membacakan keputusan MA.
Akan tetapi, sidang paripurna akhirnya diskors setelah tidak menemukan kesepakatan. Setelah skorsing hingga dua kali, sidang paripurna DPD pun akhirnya sepakat untuk melakukan pemilihan pimpinan yang baru setelah melewati batas waktu masa jabatan 2,5 tahun.
Pada sidang paripurna tersebut akhirnya Oesman Sapta Odang terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD yang baru, menggantikan Mohammad Saleh. Dalam konteks ini, Oso tercatat sebagai ketua DPD pertama dari kalangan politisi sejak lembaga DPD lahir pada 1 Oktober 2004.
Senator Ramai-ramai Masuk Parpol
Sejak Oesman Sapta Odang menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Hanura, sejumlah anggota DPD ramai-ramai mengikuti jejaknya, bergabung dengan partai politik. Menurut Oesman, hal itu wajar dan justru menguntungkan bagi DPD secara kelembagaan.
“Anggota DPD RI yang masuk ke parpol itu sah saja dan dibenarkan oleh UU. Jadi agar semua pihak tahu, siapa pun boleh bergabung ke parpol manapun, apalagi kalau itu terserah hati nurani mereka,” kata Oesman Sapta, seperti dikutip Antara.
Menurut dia, jika ada yang menilai masuknya anggota DPD ke parpol tidak menguntungkan, maka anggapan tersebut salah. Menurut dia, dengan bergabungnya anggota DPD ke partai politik justru menguntungkan DPD, karena aspirasinya bisa disuarakan melalui fraksi.
Oesman menegaskan masuknya 40 orang anggota DPD RI ke Partai Hanura akan sangat berarti bagi penguatan DPD RI. “DPD tanpa banyak bersuara maka sudah ada parpol yang menyuarakannya. Jadi kalau banyak orang DPD yang masuk ke parpol maka akan kuat sekali suara DPD di paripurna MPR. Dan ini sangat menguntungkan DPD,” kata dia.
Namun, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan banyaknya anggota DPD RI yang masuk partai politik justru tidak sesuai dengan semangat reformasi.
“Saya kira ini yang harus kita kritisi, bukan karena kewenangan yang tidak seimbang dengan DPR, tapi sejak awal anggota DPD adalah wakil perseorangan yang punya hak pengawasan terhadap otonomi. Jika masuk partai maka tidak sesuai dengan cita-cita reformasi,” ujarnya seperti dikutip Antara akhir Maret lalu.
Menurut Lucius, para senator tersebut seolah lupa dan tidak sadar ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPD berdasarkan perseorangan, bukan dari partai politik. Karena itu, ia menilai sangat aneh jika orang-orang yang sejak awal maju secara sadar sebagai anggota DPD dari jalur perseorangan, kemudian tiba-tiba bergabung dan menjadi pengurus partai.
Hal senada juga diungkapkan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Valina Singka Subekti. Ia menilai idealnya DPD harus diisi oleh tokoh-tokoh daerah, bisa tokoh adat, atau tokoh masyarakat. Menurut Valina, DPD dibentuk untuk mewakili daerah dari unsur perseorangan sehingga harus dimaknai diisi tokoh daerah atau tokoh-tokoh golongan bukan dari parpol.
“Meskipun yang dimaksud anggota DPD berasal dari perseorangan tidak dijelaskan secara utuh. Namun, hakikatnya yang dimaksud perseorangan adalah tokoh daerah, atau tokoh-tokoh golongan bukan dari parpol,” ujarnya, dikutip Antara.
Menurut dia, apabila DPD diisi oleh kader-kader parpol, maka menjadi tidak ada bedanya dengan DPR. Padahal anggota DPD dari unsur perseorangan dibutuhkan agar bisa bekerja secara mandiri dalam memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing.
Valina menilai apa yang diperjuangkan DPD murni untuk kepentingan daerah, terutama mengenai Sumber Daya Alam (SDA), pemekaran dan ekonomi. “Itu semua tugas anggota DPD yang bekerja secara mandiri tidak dipengaruhi oleh kepentingan lain, karena DPD sangat strategis,” ujarnya.
Namun, dengan terpilihnya Ketua Umum DPP Partai Hanura, Oesman Sapta sebagai Ketua DPD dan bergabungnya sejumlah senator menjadi pengurus partai, maka kekhawatiran Formappi tak dapat dielakkan lagi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz