Menuju konten utama

Obligasi Rekap: Bank Untung, Negara Buntung

Pemerintah harus mengeluarkan puluhan triliun untuk membayar obligasi rekap setiap tahunnya. Selain terikat utang pembayaran pokok, pemerintah juga terkait dengan pembayaran bunga yang melekat pada obligasi itu. KAU mendesak pemerintah untuk mengalihkan pembayaran bunga obligasi rekap kepada hal-hal produktif dan penting bagi rakyat. Tidak hanya likuiditas, bunga obligasi rekap pun dapat mendongkrak laba Bank.

Obligasi Rekap: Bank Untung, Negara Buntung
Buronan BLBI Samadikun Hartono (tengah) didampingi Kepala BIN Sutiyoso (kiri) tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. TIRTO/TF Subarkah

tirto.id - Kamis malam, 21 April 2016, buronan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Ia mengenakan kaos berkerah dengan motif garis-garis hitam dan putih. Tangannya tak diborgol layaknya para kriminal. Padahal, ia mengemplang uang negara hingga Rp169 miliar.

Kedatangan Samadikun disambut para pejabat tinggi negara. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso dan Jaksa Agung HM Prasetyo mengapitnya di kiri dan kanan. Senyum merekah di bibir kedua pejabat negara itu.

Samadikun buron selama 13 tahun setelah divonis empat tahun penjara dan harus mengembalikan Rp169 miliar uang negara. Ia ditangkap di Cina pada 17 April lalu. Kini, setelah 13 tahun menikmati hidup di berbagai negara, ia harus menikmati dinginnya sel penjara di Rutan Salemba, Jakarta.

Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan hukuman kurungan dan denda tidak bisa diubah. Ia harus dijalankan sesuai putusan hakim, 13 tahun lalu.

Tapi Samadikun sudah menang banyak. Jika saja uang Rp169 miliar itu diinvestasikan ke pasar saham ataupun reksadana dengan imbal hasil rata-rata 10 persen saja per tahun, ada keuntungan Rp414,43 miliar. Itu hanya imbal hasil saja, sementara uang Rp169 miliar itu tetap utuh.

Rekapitalisasi Perbankan

Ditangkapnya Samadikun kembali membawa ingatan ke 18 tahun lalu, saat negeri ini diguncang krisis ekonomi dan perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan melemah. Ini ditandai dengan adanya penarikan dana besar-besaran dari bank yang dianggap tak cukup kuat. Tak hanya itu, banyak nasabah yang mengubah denominasi tabungan dari rupiah menjadi dolar.

Ketika terjadi krisis, tak sedikit nasabah memindahkan dananya ke luar negeri. Bank-bank dalam negeri kemudian mengalami kekurangan likuiditas. Banyak bank yang akhirnya beroperasi dalam keadaan sakit. Penyakit ini diperparah oleh tingginya angka kredit macet. Secara teknis, industri perbankan Indonesia saat itu bisa dikatakan bangkrut.

Sebagai langkah penyelamatan, pemerintah menggelontorkan dana talangan BLBI. Uang sebesar Rp147,7 triliun disalurkan BI kepada 48 bank. Dari hasil audit BPK, ditemukan indikasi penyimpangan atau penyelewengan dana BLBI sebesar Rp138 triliun. Samadikun Hartono, pemilik PT Bank Modern adalah salah satu pelaku penyelewengan. Kini, masih ada 33 pelaku yang masih buron.

Lalu, apa kabar dengan program rekapitulasi perbankan berupa penyertaan obligasi rekap yang juga menguras kas negara?

Dalam program itu, pemerintah melakukan penyertaan berupa obligasi rekap kepada bank-bank yang memenuhi persyaratan. Bank menerima obligasi rekap senilai aset kredit macet sebagai ganti atas aset macet bank yang diserahkan kepada pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset kredit macet itu dihargai 100 persen oleh pemerintah.

BPPN kemudian menjual aset-aset itu dan hanya laku senilai 30 persen. Sampai tahap itu, bank sebenarnya sudah untung 70 persen dari nilai rill obligasi. Tiap tahunnya, bank menerima pembayaran kupon dari pemerintah.

Kala itu, pendapatan bunga obligasi yang diterima perbankan diharapkan akan meningkatkan pendapatan bank dalam bentuk dana segar guna menambah likuiditas. Ini akan membuat bank mempunyai ruang untuk menyalurkan kredit kepada sektor rill.

Penerbitan obligasi ini mencapai Rp430,4 triliun. Secara umum, suntikan itu berhasil memperkuat permodalan bank. Namun, dari sisi fiskal, penerbitan obligasi membebani pemerintah. Setiap tahunnya, pemerintah harus membayar bunga dan ketika jatuh tempo, nilai pokoknya harus dilunasi. Hal ini memberi pengaruh negatif terhadap kemampuan pemerintah dalam memberikan stimulus pembangunan dan subsidi.

Menguras Kas Negara

Kalau setiap lembar dari obligasi rekap dibayar tepat pada waktu saja, kewajiban pembayaran bunganya mencapai Rp600 triliun. Jadi selain terikat utang pembayaran pokok obligasi sebesar Rp430,4 triliun, pemerintah juga terikat pembayaran bunga yang melekat pada obligasi itu.

Lalu, bagaimana jika pada tanggal jatuh temponya, pemerintah ternyata tidak dapat membayar sebab tak punya cukup uang? Surat utang baru tentu akan diterbitkan untuk membayar obligasi rekap yang sudah jatuh tempo itu. Ini akan membuat negeri ini terus terlilit utang dengan jumlah yang semakin besar.

Tahun 2002, tiga staf sekretariat dari BPPN pernah menulis sebuah skenario tentang obligasi rekap ini untuk dimuat di buletin resmi BPPN. Mereka adalah Gatot Arya Putra, Ira Setiati, dan Damayanti. Tulisan itu dilarang terbit. Tak menyerah, mereka mengirim tulisan itu ke Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat Kepala Bappenas. Oleh Kwik, tulisan itu kemudian digandakan dan dibagikan kepada anggota DPR juga para wartawan. Tak lama, ketiganya dipecat.

Kisah itu dituliskan kembali olek Kwik dalam blog pribadinya. Ada enam skenario yang dikembangkan tiga staf BPPN itu. Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar obligasi rekap bisa dibayar tepat waktu. Dalam skenario ini, total kewajiban pemerintah berarti menyentuh Rp1.030 triliun. Angka tersebut didapat dari utang pokok beserta bunganya yang mencapai Rp600 triliun.

Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar obligasi rekap yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp14.000 triliun.

Beberapa tahun belakangan, saat industri perbankan menampakkan kepulihan, banyak pihak meminta pemerintah menghentikan pembayaran kupon atau bunga obligasi rekap. Koalisi Anti Utang (KAU), salah satunya.

Tahun lalu, KAU mendesak pemerintah untuk mengalihkan pembayaran bunga obligasi rekap kepada hal-hal produktif dan penting bagi rakyat. Ketua KAU Dani Setiawan heran, mengapa pemerintah bisa memangkas habis subsidi bahan bakar minyak tetapi enggan memangkas bunga obligasi rekap yang menurutnya tak lagi dibutuhkan.

Menurut perhitungan KAU, bunga yang harus dibayarkan pemerintah kepada sejumlah bank dalam rentang tahun 2013 hingga 2030 bisa mencapai Rp1.360 triliun. Uang sebanyak itu bisa untuk membayar premi BPJS Kesehatan bagi 100 juta warga miskin selama tiga tahun.

Protes juga datang dari Pusat Studi dan Politik Indonesia. Salah satu penelitinya, Kusfiardi Sutan Majo Endah bilang pemerintah harusnya bisa menggunakan keputusan politik untuk membekukan bunga obligasi yang harus dibayar hingga tahun 2034 itu.

"Dengan pembayaran bunga obligasi rekap maka hasil pembayaran pajak rakyat sebagian besar hanya dinikmati perbankan dan menjadi sumber keuntungan bagi perbankan," katanya.

Untung dari Bunga Obligasi Rekap

Dalam perjalanannya, bunga obligasi rekap memang tampak mendongkrak laba bank, bukan hanya likuiditas. Pada tahun 2002 saja, bank-bank itu tampak kelebihan banyak uang untuk sekadar memenuhi ketentuan permodalan dan likuiditas. Jika tujuan obligasi rekap hanya “perban” untuk membuat bank berhenti “berdarah”, perban yang dipasang bisa dikatakan melebihi masa waktu yang seharusnya. Darah sudah berhenti, tetapi perban tak kunjung dilepas.

Dari data keuangan kesepuluh bank pada 2002, terlihat jelas bahwa tanpa bunga obligasi rekap, bank-bank itu akan rugi besar. Bank Mandiri tampak rugi Rp15,625 triliun. Bunga obligasi yang mencapai Rp21,435 triliun tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti “berdarah”, tetapi juga meraup laba Rp5,81 triliun.

Sementara itu BCA merugi Rp5,192 triliun. Tetapi pendapatan bunga obligasi rekap senilai Rp8,592 triliun membuatkan mencatatkan laba sebesar Rp3,4 triliun.

Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, Bambang Sudibyo selaku menteri keuangan saat itu sudah menyadari ancaman jangka panjang dari obligasi rekap. Dia dan Kwik yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri sepakat untuk menarik kembali obligasi rekap tanpa membuat bank bangkrut.

Menurut Kwik, Obligasi Rekap adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Kwik meyakini ada teknik tersendiri untuk mengatasi itu.

“Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan keuangan negara,” tulis Kwik.

Dia mengemukakan, cara menarik kembali obligasi rekap itu adalah menggantinya dengan zero coupon bond (ZCB). Ini semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR) senantiasa memenuhi persyaratan Bank for International Settlement (BIS), sebesar 8 persen. ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF.

Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.

Semua bank akan diberi waktu lima tahun untuk menjadi sehat atas kekuatannya sendiri. Kalau tidak, akan ditutup. Kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik.

Waktu itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan enam alternatif solusi menarik obligasi rekap sebelum bank dijual berikut obligasnya. Kesemua pikiran itu telah dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para menteri, dan media massa.

Tim para ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator. Anggotanya antara lain Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito, dan Lenny Sugihat.

Sayangnya, kerja-kerja dan hasil pemikiran tim itu tak digubris. Hingga kini, tiap tahunnya, pemerintah masih terus membayar bunga obligasi. Pemerintah mengeluarkan uang sebesar sekitar Rp80 triliun tiap tahunnya, entah sampai kapan.

Baca juga artikel terkait OBLIGASI REKAP atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti