Menuju konten utama

Neuralink dan Segudang Problematika yang Membayanginya

Riset Neuralink terlihat menjanjikan, tapi kita tetap perlu mempertahankan skeptisisme lantaran banyak masalah di sekitarnya.

Neuralink dan Segudang Problematika yang Membayanginya
Neuralink dan foto Elon Musk terlihat dalam ilustrasi yang diambil, 19 Desember 2022. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo

tirto.id - Jika ada sebuah peranti yang mampu membuat seorang penderita lumpuh total bisa mengakses gawai berteknologi canggih seperti ponsel pintar, tentunya itu merupakan kabar baik, bukan?

Sepintas, mudah untuk memberi jawaban "ya" bagi pertanyaan tersebut. Namun, realitasnya tidaklah sesederhana itu.

Saat ini, Peranti canggih semacam itu saat ini memang sedang dalam pengembangan. Namun, para pengembang peranti itu belum sepenuhnya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan etis yang selama ini mengiringi proses pengembangan serta uji cobanya.

Di sini, kita sedang bicara soal implan otak N1 yang dikembangkan oleh Neuralink, perusahaan milik Elon Musk. Impan seukuran koin itu dirancang untuk ditanam di otak. Ia punya fungsi untuk menangkap sinyal dari sistem saraf dan menerjemahkannya menjadi sebentuk informasi. Dengan perantara bluetooth, informasi itu lantas dikirim ke gawai atau perangkat komputer sehingga seseorang bisa mengendalikannya.

Teknologi itu memungkinkan para penyandang quadriplegia (kelumpuhan tubuh dari leher ke bawah), misalnya, untuk mengendalikan kursor komputer atau mengetik di gawai cukup dengan otak. Berbagai aktivitas otak yang ditangkap oleh implan N1 tadi bakal dikode ulang sehingga tercipta pola-pola yang konsisten saat pengguna membayangkan sebuah perintah.

Intinya, apa yang pengguna bayangkan atau pikirkan akan bisa dijalankan oleh perangkat komputer secara "otomatis" dengan bantuan implan N1 tadi.

Neuralink sendiri mulai beroperasi pada 2016 dengan fokus mengembangkan teknologi antarmuka otak-komputer atau brain-computer interface (BCI). Setelah beberapa tahun dikembangkan dan diujicobakan pada hewan, implan otak N1 akhirnya mendapat lampu hijau untuk diujicobakan pada manusia pada awal 2024.

Sejauh ini, sudah ada dua pasien yang otaknya ditanami implan tersebut. Implan pada pasien pertama, Nolan Arbaugh, sempat mengalami kerusakan karena ada kabel yang tertarik sehingga elektroda penangkap sinyal otak mengalami gangguan. Namun, tidak ada bahaya yang dialami oleh Arbaugh dan para insinyur Neuralink telah memulihkan fungsionalitasnya.

Segudang Problematika Neuralink

Dari apa yang telah dijabarkan sebelumnya, misi Musk melalui Neuralink sepintas terkesan mulia. Meski demikian, pengembangan teknologi implan otak itu sesungguhnya menyimpan segudang problematika.

Kita mesti melacak terlebih dahulu apa sesungguhnya motif Musk mendorong pengembangan implan otak itu. Dalam sebuah presentasi mengenai progres pengembangan implan Neuralink pada 2020, Musk mengungkapkan bahwa tujuan utamanya adalah menciptakan apa yang disebutnya “general population device".

Di baliknya, ada perkembangan artificial intelligence (AI) yang begitu cepat. Oleh karena itu, Musk merasa tergerak untuk memastikan agar umat manusia tidak sampai tertinggal dari AI tersebut.

"Di level spesies, sangat penting untuk mencari cara bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan AI yang canggih, dengan mencapai sebuah simbiosis agar kehidupan di bumi tetap dikontrol oleh manusia. Ini adalah hal terpenting yang bisa dicapai perangkat seperti ini," ujar Musk, dikutip dari MIT Technology Review.

Musk memiliki "kekhawatiran" bahwa nantinya ketika AI sudah semakin canggih, akan muncul "sesosok" diktator dalam wujud teknologi tersebut. Oleh karena itu, dari sekarang, pria kelahiran Afrika Selatan itu ingin agar AI didemokratisasi melalui antarmuka penghubung otak manusia dengan AI. Implan otak N1-lah yang kini jadi pelopornya.

Bisa dikatakan, melalui Neuralink, Musk sebenarnya turut berkompetisi dalam perlombaan AI yang sejauh ini didominasi nama-nama macam Sam Altman (OpenAI), Mustafa Suleyman (DeepMind), serta Andrew Ng (DeepLearning.AI). Baik Musk maupun ketiga sosok tersebut bermain di arena yang sama. Bedanya, mereka mendekati subjek dari arah yang berlawanan.

Artinya pula, Musk punya kepentingan yang lebih dari sekadar niat mulia membantu sesama. Dalam prosesnya, barangkali (dan semoga saja) bakal banyak orang yang ikut terbantu dan termudahkan hidupnya. Namun, "misi terselubung" Musk tetap tak bisa dikesampingkan begitu saja dan tetap perlu selalu dicurigai.

Kita tetap perlu mempertahankan skeptisisme lantaran pengembangan implan otak Neuralink itu beberapa kali melanggar etika serta undang-undang yang ada. Menurut laporan Reuters pada Desember 2022, pengembangan implan N1 sejak 2018 telah membuat lebih dari 1.500 hewan mati akibat dijadikan kelinci percobaan.

Kisah mengerikan di balik pengembangan N1 juga disampaikan sejumlah mantan karyawan Neuralink kepada Reuters. Salah satu dari mereka bercerita bahwa para ilmuwan Neuralink beberapa kali salah memperkirakan ukuran implan yang cocok untuk otak babi. Alhasil, babi-babi laboratorium tersebut mengalami kesakitan luar biasa sampai akhirnya tak ada pilihan lain kecuali mengeutanasia mereka.

Para eks karyawan itu bahkan berani mengklaim bahwa tingkat kematian hewan dalam uji coba implan N1 sudah melewati ambang normal.

Selain itu, informasi mengenai implan N1 bisa dibilang noneksisten kecuali pada brosur-brosur yang diedarkan oleh Neuralink sendiri. Sama sekali tidak ada peer review dalam pengembangan implan ini. Sampai-sampai, sebuah lembaga think tank bernama Hastings Center menyebut sains ala Neuralink itu sebagai "sains rilis pers" karena semuanya terkesan dibagus-baguskan.

Neuralink sendiri sempat jadi subjek investigasi oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat menyusul laporan para mantan karyawan soal kematian hewan laboratoriumnya. Namun, anehnya, para penyelidik tidak menemukan satu pun pelanggaran yang dilakukan oleh Neuralink.

Kendati demikian, Reuters pada Januari 2024 lalu memberitakan bahwa perusahaan ini pernah dikenai denda oleh Departemen Perhubungan akibat melanggar aturan soal transportasi material berbahaya, termasuk cairan yang mudah terbakar.

Menerabas Etika Sains

Neuralink adalah bagian dari tren masa kini di mana kebanyakan riset dan pengembangan dalam sains dilakukan oleh perusahaan swasta. Pasalnya, suka tidak suka, merekalah yang memiliki sumber daya untuk melakukannya.

Sebuah perusahaan swasta secara natural beroperasi untuk mendulang profit. Sifat ini tentu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan kemaslahatan orang banyak. Apalagi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, riset dan pengembangan implan Neuralink itu tidak transparan sehingga para ahli di luar perusahaan sulit melakukan kroscek tentang bahaya sesungguhnya dari produk tersebut.

Persoalan etika lainnya berkaitan dengan bagaimana perangkat implan Neuralink itu bekerja. Dengan mengakses otak secara langsung, artinya implan tersebut memiliki akses pada data dan informasi paling pribadi yang dipunyai seseorang. Potensi terjadinya pencurian serta penyalahgunaan data pun terbuka lebar di sini.

Kemudian, yang tak kalah penting, adalah tanggung jawab jangka panjang Neuralink sendiri. Dalam laporan Kompas terkait Neuralink, turut disinggung bagaimana sebuah perusahaan implan retina bernama Second Sight Medical Product bangkrut setelah menanamkan implan di mata lebih dari 350 pasien di seluruh dunia.

Implan tersebut tidak lagi dapat dilepas dan, setelah mengalami kerusakan seiring berjalannya waktu, tak ada lagi yang bisa dilakukan para pasien tersebut. Produk implan milik Neuralink itu telah terbukti bisa rusak dan oleh karenanya, perusahaan perlu memikirkan apa yang bisa dilakukan para pasien jika seandainya mereka gulung tikar.

Masalah etika terakhir adalah menyoal keterlibatan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dalam pengembangan implan otak N1. Sebenarnya, sampai saat ini belum ada keterlibatan langsung militer AS di dalam pengembangan implan milik Neuralink. Namun, militer AS sudah melakukan studi mengenai potensi penggunaan BCI untuk "menjaga keamanan nasional dan memitigasi berbagai risiko".

Artinya, di masa depan nanti, implan seperti yang dikembangkan Neuralink bisa jadi bakal disalahgunakan oleh militer untuk melakukan hal-hal yang melanggar hak asasi manusia. Sebab, kemungkinan-kemungkinan yang bisa lahir dari perkembangan teknologi semacam itu tidak memiliki batas.

Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat, regulasi perlu disusun agar aplikasi lebih jauhnya nanti tidak melanggar rambu-rambu kemanusiaan yang ada.

Dengan demikian, bisa ditarik hipotesis bahwa implan otak yang dikembangkan Neuralink, setidaknya untuk saat ini, masih memiliki lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Namun, segala mudarat itu bukannya tak bisa dihilangkan. Pasalnya, yang perlu dilakukan pada dasarnya "hanyalah" meregulasinya sedemikian rupa sehingga kerugian-kerugian bisa diminimalisasi.

Berurusan dengan figur seperti Musk yang kaya raya dan masyhur tentu bukan persoalan mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Toh, Musk selama ini mendapatkan banyak benefit melalui berbagai insentif serta subsidi yang diberikan pemerintah AS. Kuncinya adalah quid pro quo dan, dengan niat politik yang baik, segalanya bisa diarahkan menuju kemaslahatan bersama.

Baca juga artikel terkait ELON MUSK atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi