tirto.id - Kinerja perdagangan Indonesia mengalami defisit cukup dalam sepanjang tahun 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angkanya mencapai 8,5 miliar dolar AS atau terburuk sejak 1975.
“Defisit ini terbesar sejak 1975. Tahun itu kita defisit sebesar 391 juta dolar AS,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (15/1/2019).
Buruknya kinerja perdagangan, kata Suharyanto, disebabkan oleh defisit migas yang angkanya mencapai 12,4 miliar dolar AS. Defisit minyak mentah mencapai 4,4 miliar dolar AS atau naik dari 1,7 miliar dolar di 2017.
Sementara hasil minyak terjerembab ke angka 15,95 miliar dolar AS, atau lebih rendah dibandingkan tahun 2017 yang nilainya mencapai 12,88 miliar dolar AS.
Surplus, berdasarkan data yang dipaparkan BPS, hanya tercatat pada perdagangan gas dengan nilai sebesar sebesar 7,5 miliar dolar AS-- naik tipis dari 6,02 miliar dolar AS pada tahun 2017.
Meski demikian, data BPS menunjukkan jebloknya neraca dagang sepanjang 2018 ini tak hanya dipicu oleh defisit migas.
Sebab, kinerja perdagangan nonmigas juga terlihat loyo dengan menciutnya surplus menjadi 3,8 miliar dolar AS dari sebelumnya 20,4 miliar pada 2017. Akibatnya, neraca non-migas tak mampu memberikan kompensasi bagi neraca migas yang jeblok.
Impor nonmigas meroket 19,7 persen dibandingkan 2017 dengan nilai 158,8 miliar dolar AS. Sementara ekspor nonmigas hanya tercatat tumbuh 6,25 persen dari 153,0 miliar dolar AS pada 2017 ke 162,6 miliar dolar AS pada 2018.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyebut tingginya impor merupakan dampak perbaikan industri dan infrastruktur yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Menurut Shinta, hal ini wajar belaka. Sebab, kondisi investasi dan daya beli masyarakat sedang membaik. Akibatnya, kata Shinta saat dihubungi reporter Tirto, "otomatis industri kita jadi bergerak.”
Problemnya, Indonesia kurang memiliki kemampuan dalam pengolahan intermediate goods dan bahan baku semi jadi. Hal ini mengakibatkan pemerintah harus mengimpor untuk menunjang pembangunan infrastruktur dari luar.
“Belum lagi tingkat konsumsi masyarakat yang naik, jadinya kami juga mengimpor barang jadi dan dampaknya adalah defisit neraca perdagangan,” kata Shinta.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira membenarkan lonjakan impor memang disebabkan oleh keperluan proyek infrastruktur pemerintah.
Hal tersebut menyebabkan adanya lonjakan Impor bahan baku sebesar 20,06 persen sepanjang 2018.
Bahkan, kata Bhima, pada Desember 2018, di mana biasanya permintaan bahan baku industri tidak optimal terpotong libur panjang justru impor besi baja masih mencatat pertumbuhan 4,96 persen.
"Besi baja impor dipastikan sebagian besar untuk kebutuhan proyek infrastruktur. Artinya komitmen pemerintah untuk menunda proyek yang berkontribusi besar terhadap impor belum serius,” kata Bima kepada reporter Tirto.
Impor barang konsumsi sepanjang tahun 2018 juga naik sebesar 22 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga Indonesia hanya tumbuh dikisaran 5 persen.
“Ini bisa dicek apakah ada kontribusi dari maraknya e-commerce karena 93% produk ecommerce adalah barang impor. Penerapan kenaikan PPh 21 untuk membendung impor barang konsumsi pun dampaknya bisa dikatakan nyaris tidak ada,” kata dia.
Terkait impor migas yang tercatat mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah, yakni 29,8 miliar dolar AS--meroket 5,5 miliar dolar AS dan membuat neraca migas tekor-- penyebabnya disinyalir karena implementasi Mandatori B20 yang belum optimal.
Selain itu, ketergantungan BBM impor juga semakin besar saat produksi dalam negeri turun dan harga minyak mentah rata-rata 70 dolar AS per barel untuk jenis brent.
“Kurs rupiah juga berkontribusi atas bengkaknya impor migas dari sisi nilai,” kata Bima.
Bima juga menyoroti lesunya ekspor yang turut mempengaruhi jebloknya neraca perdagangan. Sepanjang 2018, kata Bima, nilai ekspor hanya mampu tumbuh 6,25 persen karena banyaknya hambatan dagang negara mitra utama seperti AS, Cina, Eropa dan India.
“Kementerian perdagangan kurang ekspansif dalam melakukan penetrasi ekspor maupun negosiasi dagang. Serba business as usual. Begitupun hambatan dagang ke pasar non-tradisional masih lambat untuk diselesaikan. Perjanjian dagang dengan negara di Afrika terbukti berjalan di tempat,” kata dia.
Respons Pemerintah
Terkait ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan impor nonmigas yang mengalami defisit sepanjang 2018 karena banyaknya masuk barang modal dan bahan baku yang diperlukan untuk pembangunan.
“Kalau melihat pertumbuhan impor, tentu meningkatnya impor nonmigas lebih banyak karena barang modal dan bahan baku,” kata Enggartiasto, seperti dikutip Antara, Rabu (16/1/2019).
Enggartiasto mengklaim dengan banyaknya barang modal dan baku masuk ke Indonesia, mengindikasikan pembangunan dan investasi dalam negeri berjalan.
Hal tersebut, kata Enggartiasto, berbeda kondisinya bila misalnya peningkatan impor adalah diakibatkan karena konsumsi yang tinggi.
Karena itu, kata Enggartiasto, untuk jangka menengah kementeriannya menginginkan agar Indonesia mendapatkan akses pasar yang besar dan memperluas ke pasar nontradisional sebagai upaya guna meningkatkan ekspor.
Apalagi, kata dia, pertumbuhan perekonomian dunia mengalami perlambatan pada periode 2016-2018, dan sejumlah lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan IMF telah memberikan proyeksi pertumbuhan pada 2019 yang dapat dinilai sebagai proyeksi yang suram.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz