Menuju konten utama

Nasib Tragis Maskapai Perintis

Dua tahun sudah PT Merpati Nusantara Airline (Merpati) berhenti beroperasi. Hingga kini, nasib sekitar 1.500 karyawan dan eks karyawannya masih terkatung-katung. Tidak ada kejelasan soal pembayaran gaji ataupun pesangon.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, sejak 2009 hingga 30 September 2013, pendapatan Merpati Nusantara lebih kecil dari biaya operasionalnya.

Nasib Tragis Maskapai Perintis
Pesawat Maskapai Merpati FOTO/www.dishub.kaltimprov.go.id

tirto.id - Merpati Nusantara lahir dari sebuah tujuan mulia untuk menghubungkan wilayah-wilayah terpencil di Nusantara. Di masa kejayaannya, Merpati sangat diandalkan untuk menjangkau rute-rute perintis yang tidak dimiliki maskapai komersial lainnya. Sayangnya, pengelolaan Merpati tidak berjalan dengan baik. Utang terus membengkak sehingga harus berhenti beroperasi.

Sekitar 52 tahun setelah pendiriannya, Merpati berhenti terbang. Beratnya beban operasional dan utang tak mampu lagi dipikul. Akibatnya, nasib ratusan karyawan tidak jelas. Lebih dari dua tahun gaji karyawan tidak diberikan.

Pemerintah sendiri sepertinya sudah kehabisan akal untuk menyelamatkan Merpati. Suntikan modal sesuai kemampuan pemerintah sepertinya tidak cukup untuk menutupi biaya penyelamatan Merpati. Upaya untuk menjual kepada investor lain juga tak membuahkan hasil. Alhasil, nasib karyawan Merpati pun semakin tidak jelas.

Maskapai Perintis

Merpati didirikan pada 6 September 1962, sebagai moda transportasi udara penghubungan daerah. Pada awalnya, Merpati hanya memiliki aset berupa empat pesawat De Havilland Otter DHC-3 dan dua Dakota DC-3 milik angkatan udara. Sejak tahun 1970, Merpati tidak lagi hanya mengembangkan operasinya di rute-rute jarak pendek, tetapi juga jarak menengah dan jauh. Kala itu, Merpati mulai melayani penerbangan lintas batas yakni Pontianak-Kuching, Palembang-Singapura, dan Kupang-Darwin.

Peran positif dan prestasi Merpati mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai perusahaan berbadan hukum perseroan terbatas (PT). Terhitung sejak 6 September 1975, Merpati resmi berbadan hukum PT dan berganti nama menjadi PT Merpati Nusantara Airlines.

Sepanjang 1975 hingga 1978, Merpati mulai mengambil bagian dalam penerbangan haji dan transmigrasi. Tahun 1978, pemerintah memutuskan untuk mengalihkan penguasaan modal negara di Merpati ke PT Garuda Indonesia Airways (Garuda). Dengan adaya pengalihan, Merpati sebagai anak perusahaan Garuda bertugas melayani penerbangan perintis, penerbangan lintas batas, penerbangan transmigrasi, penerbangan borongan domestik dan internasional.

Dua puluh tahun kemudian, pemerintah menetapkan Merpati terpisah dari induknya dan menjadi badan usaha yang mandiri di bawah naungan Departemen Perhubungan. Namun, Merpati ternyata tidak mampu terbang sendiri dengan baik. Seiring berjalannya waktu, Merpati terseok, terlilit utang.

Hingga akhir Desember 2013, Merpati mengoperasikan lima unit pesawat jenis Boeing, delapan unit jenis MA 60, dan dua unit pesawat twin outer. Total pesawat yang dimiliki Merpati berjumlah 17 armada, tujuh di antaranya merupakan jenis Boeing. Pertengahan Desember, dua pesawat ditarik pihak leasing karena Merpati tak mampu membayar cicilan. Dua pesawat yang ditarik adalah tipe Boeing 737-300 MDU dan Boeing 737-400 MDR.

Februari 2014, seluruh pesawat Merpati tidak lagi terbang. Ketika itu, Merpati dalam kondisi defisit kas perusahaan, dengan beban utang lebih dari Rp7,29 triliun. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan Merpati.

Merpati Sakit Keras

Merpati memang “sakit keras”. “Obatnya” sangat mahal. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan, sejak 2009 hingga 30 September 2013, pendapatan Merpati Nusantara lebih kecil dari biaya operasionalnya. Merpati mengalami kerugian beruntun selama hampir 14 tahun. Hal itu mengakibatkan Merpati dibelit utang kepada sejumlah kreditur dan entitas pendukung operasional penerbangan. Hingga Oktober 2013, Merpati memiliki utang senilai Rp7,29 triliun.

Kepada Pertamina saja, Merpati berutang Rp270 miliar. Itu belum ditambah bunga dan denda. Saking terlalu lama menunggak, pada 2011 Pertamina sempat melakukan embargo avtur kepada Merpati. Embargo avtur tentu menghambat operasional maskapai itu.

Saat pucuk pimpinan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih dipegang Dahlan Iskan, sempat ada usaha mencari investor baru. Sayangnya, usaha itu nihil meski Menteri BUMN sudah berganti.

Sejumlah upaya revitalisasi dan restrukturisasi juga telah dilakukan. Tidak sedikit dana telah dikucurkan pemerintah untuk menyelamatkan maskapai pesakitan itu. Pada 2004 dan 2005, pemerintah memberikan bantuan berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Merpati senilai Rp75 miliar. Tahun 2006, dana PMN kembali dikucurkan dengan jumlah lebih besar, yakni Rp450 miliar.

Dua tahun kemudian, pemerintah menyetujui suntikan modal Rp300 miliar untuk restrukturisasi sumber daya manusia (SDM), revitalisasi armada, relokasi operasi, dan perbaikan aliran kas. Lalu, pada 2011, pemerintah juga menyuntikkan Rp560 miliar dana PMN. Akan tetapi, upaya-upaya itu terbukti gagal memperbaiki kondisi Merpati. Entah langkah restrukturisasinya yang tidak tepat, atau karena manajemennya yang salah langkah.

Dua tahun sejak Merpati berhenti beroperasi, para karyawan masih belum juga mendapatkan hak-haknya. Sebagian dari mereka telah bekerja di tempat lain. Sebagian lagi memilih menunggu kelanjutan nasibnya. Mereka umumnya sudah berusia lanjut dan tidak memiliki kemampuan khusus. Ada juga yang menggantungkan hidup dari usaha-usaha lain seperti berdagang.

Ke Meja Hijau

Pada tahun 2016, Merpati harus menghadapi drama baru. Pada Februari, sejumlah karyawan melayangkan permohonan pailit atas maskapai itu. Di saat bersamaan, cucu Merpati, PT Prathita Titian Nusantara (PTN) mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menangguhkan permohonan pailit karyawan dan memeriksa perkara PKPU terlebih dahulu.

Selasa, 8 Maret 2016, Majelis hakim yang dipimpin Heru Prakosa menolak permohonan PKPU yang diajukan PTN. Oleh karena Merpati adalah BUMN, yang berhak mengajukan PKPU atas perusahaan itu semestinya Menteri Keuangan. Hal itu termaktub dalam Pasal 223 Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

“Menolak permohonan PKPU yang diajukan pemohon,” ujar Heru dalam amar putusannya. Dengan begitu, maka majelis hakim akan melanjutkan memeriksa perkara permohonan pailit yang diajukan sejumlah karyawan dan eks karyawan.

Para karyawan yang hadir di persidangan mengucapkan syukur. “Terima kasih Pak Hakim,” teriak beberapa orang. Mereka tampak sumringah. Padahal, jika menilik lagi UU No. 37/2004, karyawan pun tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan pailit atas perusahaan BUMN.

Karyawan yang mengajukan pailit ini memang hanya segelintir dari total karyawan dan eks karyawan Merpati yang mencapai 1.500 orang. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan Program Penawaran Paket Penyelesaian Permasalahan Pegawai (P5) yang ditawarkan manajemen Merpati. Penawaran dalam program itu dianggap tidak sesuai dengan hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Ery Wardhana yang pernah menjabat sebagai Senior Vice President Corporate PlanningMerpati merupakan salah satu karyawan yang tidak setuju dengan program itu. Menurutnya, kalau karyawan tidak setuju, pihak Manajemen tidak boleh memaksa karyawan untuk setuju. “Kami hanya ingin mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kami,” katanya.

Memang melalui program itu, Merpati hanya akan menggelontorkan dana Rp350 miliar untuk membayar kewajiban kepada karyawan. Dana pinjaman yang didapat dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) itu jauh lebih rendah dari apa yang diajukan pihak Merpati, yakni Rp1,4 triliun. Aset milik Merpati dianggap tidak mumpuni untuk mendapatkan pinjaman sebanyak itu.

Ery dan beberapa karyawan yang mengajukan pailit pun sebenarnya tak menginginkan Merpati pailit. Diakuinya, permohonan itu diajukan hanya untuk mencari perhatian agar dibuka ruang diskusi antara manajemen dengan mereka yang tak setuju P5. Mereka juga paham, jika Merpati sampai pailit, konsekuensi logisnya adalah aset Merpati tidak akan cukup membayar seluruh gaji karyawan.

Dalam program P5, manajemen menawarkan membayarkan sebagian hak karyawan. Sisanya, dianggap sebagai utang perusahaan. Dalam formulir pendaftaran program P5 yang diperoleh Tirto.id, disebutkan bahwa kekurangan hak yang belum dibayarkan, akan dibuatkan Surat Pengakuan Utang (SPU). SPU itu ditandatangani oleh Direktur Utama Merpati Capt. Asep Ekanugraha. Dalam surat itu, tidak dijelaskan kapan sisa hak karyawan akan dibayarkan. Ery dan kawan-kawan tak terima dengan itu.

Seorang karyawan Merpati yang ikut menandatangani perjanjian bersama P5 karena merasa tak punya pilihan. “Daripada sama sekali tidak dibayarkan, ya sudahlah,” kata karyawan yang enggan disebut namanya itu. Dia pun tidak begitu paham kapan hak yang tertuang dalam SPU akan dibayarkan Merpati. Dari informasi yang dia dapat, pihak manajemen mengatakan kepada karyawan bahwa pembayaran sisa kewajiban akan dilakukan jika sudah ada investor baru dan Merpati sudah mampu meraup untung. Dan itu, entah kapan.

Simpang Siur Pembayaran

Pagi hari sebelum putusan PKPU Merpati dibacakan, beredar kabar bahwa telah terjadi pembayaran kepada sebagian karyawan. Kabarnya, mereka yang memakai rekening BRI telah menerima pembayaran. Salah satu eks karyawan, Yan Zulhadi menuliskan 'Alhamdulillah' dalam laman Facebook-nya. Postingan itu diikuti sejumlah komentar yang menyinggung program P5.

“Rek (rekening-red) selain BRI, Insya Allah besok bagi yang tanda tangan perjanjian bersama periode pertama,” tulis Yan menjawab pertanyaan rekannya. Dari komentar di postingan itu, tampak beberapa rekan Yan belum menerima pembayaran.

Kuasa hukum Merpati Rizky Dwinanto membenarkan telah dibayarkannya paket penyelesaian sesuai program P5 tersebut. Tetapi mungkin butuh waktu untuk menyelesaikan kepada seluruhnya yang telah menandatangani perjanjian bersama. Dia mengakui ketersediaan dana dengan kewajiban yang harus dibayar perusahaan tidaklah sebanding. Itu sebabnya dibuat paket penyelesaian.

Pada 5 Februari 2016, melalui surat edaran No. SE/03/II/2016, pihak manajemen Merpati menyebutkan bahwa pembayaran hak karyawan sesuai paket dalam P5 diharapkan selesai dalam kurun waktu 16 - 29 Februari 2016. Surat edaran yang ditandatangani VP Corporate Secretary & Legal Merpati Riswanto C. Putra itu disebarkan kepada seluruh karyawan aktif dan nonaktif. Kemudian, surat edaran kembali dikeluarkan pada 14 Februari. Intinya, pembayaran penyelesaian hak karyawan akan tertunda karena adanya permohonan pailit oleh sebagian karyawan.

Irni Setiani, istri dari salah satu karyawan Merpati yang telah meninggal dunia mengaku sempat mendapat tawaran pembayaran Rp127 juta. Irni adalah ahli waris dari Agus Gandiana, manager untuk jalur peristis di Merpati. Agus meninggal dunia pada Februari 2014. Dia menolak tawaran tersebut dan memilih bergabung dengan barisan karyawan yang mengajukan permohonan pailit. Pasalnya, menurut laporan bagian keuangan Merpati dua bulan setelah kematian suaminya, Irni seharusnya berhak atas Rp600-an juta.

Persoalan karyawan Merpati sebenarnya tidak selesai di program P5, krarena masih menyisakan utang. Tidak ada yang bisa memastikan kapan mereka akan mendapatkan sisa hak yang belum dibayarkan. Ini artinya, nasib karyawan semakin tidak jelas.

Baca juga artikel terkait GARUDA atau tulisan lainnya

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra