Menuju konten utama

Nasib Sriwijaya Air Diputuskan 2 Oktober

Kemenhub menunggu keputusan Direktur Utama Sriwijaya Air hingga 2 Oktober terkait kelanjutan operasional maskapai tersebut.

Nasib Sriwijaya Air Diputuskan 2 Oktober
Sriwijaya Air. Antara foto/muhammad iqbal/kye/16

tirto.id - Keberlangsungan operasional Sriwijaya Air akan ditentukan pada Rabu, 2 Oktober 2019. Kementerian Perhubungan masih memberikan waktu kepada manajemen Sriwijaya Air untuk mengambil keputusan sendiri.

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan akan menunggu keputusan Direktur Utama Sriwijaya Air hingga 2 Oktober terkait kelanjutan operasional maskapai tersebut.

“Alurnya itu, dia bikin atas inisiatif sendiri (terkait usulan penghentian sementara operasional) karena kita sudah kasih toleransi transisinya lima hari sampai 2 Oktober pukul 00.00 WIB,” kata Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Avirianto di Jakarta, Senin (30/9/2019), seperti dilansir dari Antara.

Avirianto mempersilakan internal Sriwijaya untuk mengambil keputusannya sendiri. Namun, apabila lewat batas itu ternyata belum ada keputusan yang diserahkan ke DKUPPU Kemenhub, maka Kemenhub akan memutuskan apakah operasional itu akan dihentikan atau tetap berjalan.

“Kita menunggu surat pemberitahuan dari Direktur Utama ke Dirjen Perhubungan Udara, Pokoknya itu nanti setelah tanggal 2 kita rapat, Sriwijaya berubah apa tidak. Kalau memang berubah kita abaikan, kalau dia tidak berubah makin menurun, kita ambil keputusan kita nanti bisa stop operasi atau segala macam,” katanya.

Sebelumnya beredar rekomendasi penghentian sementara operasional Sriwijaya Air Group dari Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena.

Dalam surat nomor Nomor: 096/DV/1NT/SJY/1X/2019 tertanggal 29 September 2019 yang beredar, Toto menjelaskan, rekomendasi itu diputuskan usai Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melakukan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan Sriwijaya menemukan adanya ketidaksesuaian pada laporan yang disampaikan perusahaan 24 September 2019 pada DKPPU.

Berdasarkan temuan tersebut, diketahui bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di perusahaan ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.

Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan Line Maintenance.

Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (Tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.

"Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan setelah diskusi dengan Direktur Teknik dan Direktur Operasi sebagai pelaksana safety, maka kami merekomendasikan Sriwijaya Air menyatakan setop operasi atas inisiatif sendiri (perusahaan) atau melakukan pengurangan operasional disesuaikan dengan kemampuan untuk beberapa hari ke depan, karena alasan memprioritaskan safety. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi perusahaan yang benar-benar menempatkan safety sebagai prioritas utama," ujar Toto dalam surat tersebut.

Sementara Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto menjelaskan, saat ini Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities AeroAsia (GMF) untuk perawatan pesawat. Selain kepada GMF, Sriwijaya Air Group juga menunggak utang kepada BUMN lainnya yakni Pertamina, Angkasa Pura I, dan II, Airnav Indonesia dan lainnya dengan total Rp2,46 triliun terhitung pada Oktober 2018.

Dia menjelaskan, banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia untuk perawatan pesawat itu.

“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp800 miliar, berpotensi macet,” katanya, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (30/9/2019), seperti dilansir dari Antara.

Fadjar menambahkan kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dalam Hazard, Identification dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A di mana tingkat paling parah adalah 5A. Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan.

Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Romdani Ardali Adang mengatakan pihaknya juga merasa khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin.

“Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah. Spare part saja tidak, oli saja, ban pun terseok-seok,” katanya.

Baca juga artikel terkait SRIWIJAYA AIR

tirto.id - Bisnis
Sumber: Antara
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti