tirto.id - OK OCE Indonesia merilis hasil survei terbaru terkait hambatan-hambatan yang ditemui oleh para pegiat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia. Kepala Badan Riset OK OCE Indonesia, Yunita Dian, mengatakan kebanyakan pelaku UMKM susah berkembang.
Yunita mengatakan dalam survei lembaganya ada tiga hambatan terbesar yang dialami oleh para pelaku UMKM, yaitu permodalan (31 persen); pemasaran produk (27 persen); dan harga bahan baku (21 persen). Ia menyebut survei tersebut dilaksanakan pada 21 Agustus-28 November 2019 dengan 1.016 orang anggota Perkumpulan Gerakan OK OCE (PGO).
PGO adalah perkumpulan rintisan Sandiaga Salahuddin Uno ketika menjabat Wakil Gubernur DKI periode 2017-2018 (kini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).
"Riset tersebut selesai pada Desember 2020,” ucap Yunita, Selasa (12/1/2021).
Dari survei yang digelar selama pandemi, kata Yunita, sebanyak 71,5 persen responden melakukan penjualan secara daring. Kata para responden, hambatan penjualan adalah jaringan pemasaran secara daring (34 persen); aktivitas pemasaran yang tidak optimal (33 persen); dan keterampilan pemasaran secara daring (27 persen).
Ia juga menambahkan ada 68,9 persen usaha yang dikelola oleh para responden berusia kurang dari lima tahun, sehingga relatif belum stabil pertumbuhan dan penghasilannya. Apalagi, lanjut Yunita, keadaan seperti itu semakin dipengaruhi dengan kondisi pandemi COVID-19 selama 10 bulan terakhir.
“Hambatan lain adalah kondisi pandemi. Dalam hasil survei, yang paling terpengaruh selama pandemi adalah pengelolaan usaha sebanyak 94,4 persen. Sebanyak 89,2 persen responden menyatakan omzet penjualan menurun sebesar 25-50 persen (31 persen) dan 50-75 persen (29,6 persen),” ungkap Yunita.
Oleh karena itu, Ketua Umum OK OCE Indonesia Iim Rusyamsi meminta pemerintah untuk memberikan dukungan kepada para pelaku UMKM. Bentuknya seperti bantuan modal, penciptaan aktivitas pasar yang sehat dengan menyeimbangkan daya beli masyarakat, serta pengaturan harga bahan baku yang stabil.
Program Kampanye Pilgub DKI
Program OK-OCE diperkenalkan Sandiaga Uno sejak dimulainya masa kampanye Pilkada DKI Jakarta pada Januari 2017 lalu. Saat kampanye, Sandiaga mengatakan apabila Anies dan dirinya terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, mereka akan menerapkan program OK-OCE. Artinya dari program itu adalah One Kecamatan, One Center of Entrepreneurship, berupa ikhtiar melahirkan wirausaha di setiap kecamatan Ibukota Jakarta.
Saat masih berkampanye, Sandiaga mengklaim program OK-OCE sudah diikuti 3.300 pengusaha muda.
Dalam kampanye Pilkada DKI, Sandiaga mengulang-ulang manfaat OK OCE. Bahkan ia sempat mengaitkan OK-OCE dengan situasi sosial seperti penggusuran. OK-OCE juga dikatakan digadang-gadang sebagai solusi atas lambatnya birokrasi dalam melayani dunia usaha.
OK OCE mulai surut sejak ia memilih hengkang setelah 10 bulan menjadi Wagub DKI dan maju sebagai calon wakil presiden 2019.
Pada 2018, sejumlah gerai yang
diklaim bagian program OK OCE bertumbangan seperti di Jalan Warung Jati Barat, Kalibata. Salah satu faktornya: sepi pembeli dan sewa yang mahal.Bertugas sebagai Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno mengaku enggan memboyong program OK OCE ke kementeriannya. Ia mengklaim bahwa dirinya sudah keluar dari program itu.
“Mereka [OK OCE] tetap minta jalan independen. Saya jawab tidak, tidak ada program OK OCE di Kemenparekraf,” sebut Sandiaga dalam diskusi daring Partai Nasdem, Rabu (13/1/2021).
OK OCE akan tetap jalan sebuah gerakan nasional untuk pencipta lapangan berkerja berbasis wirausaha. “Mereka akan berencana untuk IPO di 2023, silakan. Kita tidak akan mengadopsi program tersebut di Kemenparekraf,” ungkapnya.
Program Gagal?
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai, salah faktor kegagalan OK OCE adalah minimnya pembekalan dan pendampingan Pemprov DKI Jakarta.
Kata dia, para pelaku UMKM yang mendaftar OK OCE awalnya harus melewati tujuh tahap pembekalan awal. Kebanyakan isinya hanya berupa pengatahuan umum.
“Setelah selesai tidak dibekali apa-apa. Pengetahuan ada, tapi modal dan pendanaannya enggak ada. Itu menjadi masalah. Enggak ada pendampingan yang konkret. Mereka hanya dilepasliarkan saja,” imbuh Trubus saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu pekan lalu.
Masalah kedua, kata Trubus, gerai kurang diminati masyarakat karena lebih mahal ketimbang minimarket yang sudah ada. Trubus pernah mendatangi gerai OK OCE dan menemukan kualitas barang di bawah rata-rata. “Ini bikin warga enggak berminat,” ujarnya
Masalah berikutnya, kata dia, gerai-gerai mereka banyak berada di area yang tidak strategis. Trubus menyimpukan, OK OCE adalah produk gagal dan korban dari janji manis kampanye Pilgub DKI.
“Ini kaya program bohong-bohongan saja. Hanya nempel nama aja. OK OCE memang lebih mengarah ke program politik saja,” ungkapnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali