tirto.id - Di Xinjiang, Cina, ada beberapa ungkapan khusus yang dipakai untuk menggambarkan situasi minoritas muslim di Uighur. Kata yoq, misalnya, digunakan untuk menyebut “hilang”. Lalu, adem yoq diartikan dengan “semua orang menghilang”. Sementara weziyet yaxshi emes merujuk pada “kondisi sedang tidak baik”.
Ungkapan-ungkapan tersebut merangkum penindasan pemerintah Cina terhadap muslim Uighur.
Agustus silam, sebagaimana diwartakan BBC, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan bahwa pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur dalam tempat "serupa kamp interniran berukuran besar". Laporan komite ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM Amnesty International dan Human Rights Watch.
Muslim Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan layaknya sumber penyakit, sampai didorong menyerukan slogan-slogan Partai Komunis. Selain itu, pemerintah Cina juga mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA dari jutaan warga.
Pemenjaraan itu tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian.
Laporan-laporan pelanggaran HAM ini segera disangkal oleh Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, mengatakan bahwa penduduk beragam etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam "kedamaian, kepuasan, serta menikmati kehidupan yang damai sekaligus maju”.
Faktor Ekonomi
Provinsi Xinjiang—atau akrab disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut Cina dan berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya, agama, dan bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di Cina. Ada lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari Cina maupun Asia Tengah. Uighur adalah salah satunya.
Komunitas Uighur, salah satu dari 50 etnis itu, adalah keturunan bangsa Turk dan berbicara dalam bahasa Uighur.
Isabella Steinhauer dalam "International Social Support and Intervention: The Uyghur Movement -Xinjiang Province, China" (2017, PDF) mengatakan bahwa selama berabad-abad, relasi Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut. Pada 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberikannya status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi, mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia Tengah dan Timur Tengah; dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina.
Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status otonomi, Cina meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada 1954, Cina mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.
Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya dengan membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.
Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, yang tak lain adalah suku terbesar di Cina. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis; dari yang semula hanya 6,7% (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40% (8,4 juta) pada 2008.
Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial. Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.
Dalih Pemberantasan Terorisme
Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina juga tak ragu meruntuhkan bangunan kuno di Kashgar.
Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan besar setelah tewasnya dua pekerja Uighur di Guangdong. Akibat bentrokan ini, 197 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.
Situasi bertambah buruk dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990an. Oleh Beijing, ETIM dikategorikan sebagai teroris dan diklaim berafiliasi dengan Al Qaeda sehingga layak diperangi.
Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang. Mereka menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam "China 's Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence" (2009, PDF) yang terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law.
Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.
Di sisi lain, ada juga sebagian masyarakat Uighur yang nampaknya mendukung upaya Beijing untuk menanggulangi gejolak di Xinjiang. Laporan panjang Gene A. Bunin di Guardian yang berjudul "‘We’re A People Destroyed’: Why Uighur Muslims Across China Are Living in Fear” (2018) memperlihatkan bahwa indikator dukungan itu nampak pada maraknya bendera komunis hingga sejumlah penduduk yang mengamini Beijing “sudah berusaha dengan baik mewujudkan harmonisasi etnis di Xinjiang”.
Tapi, lanjut Bunin, tak selamanya hal-hal semacam itu bisa ditafsirkan sebagai dukungan. "Seperti halnya sensor di Cina pada umumnya, [dukungan] semacam itu adalah kombinasi dari dua hal: antisipasi dan paksaan," imbuhnya.
Masalah di Uighur tak akan separah hari ini jika kebijakan-kebijakan Beijing lebih akomodatif terhadap ekspresi kultural masyarakat Uighur. Semakin direpresi, semakin kuat pula ketidakpuasan penduduk Uighur. Namun, bisakah pendekatan seperti itu diambil, mengingat permasalahannya berakar pada ekonomi dan upaya keras Beijing mengejar status superpower ekonomi dunia dengan milyaran dolar proyek infrastruktur?
Editor: Windu Jusuf