tirto.id - Pepe Reina, penjaga gawang Aston Villa, baru saja mengalami momen paling buruk di sepanjang hidupnya karena terinfeksi COVID-19.
Seturut laporan Guardian, mantan penjaga gawang Liverpool itu mengalami sesak nafas selama 25 menit, setelah sempat demam tinggi, sakit kepala, dan batuk kering. Ia lantas melawan, mengisolasi diri selama beberapa minggu, dan sembuh. Namun, Reina tetap mengingatkan:
“Kemenangan ini hanya untuk sementara waktu.”
COVID-19 saban hari kian masif mencaplok umat manusia di segala penjuru dunia. Per Sabtu, 4 April 2020, situs Worldometer mencatat sudah ada lebih dari 1 juta kasus yang terjadi karena virus ini. Sekitar 300 ribu orang memang dinyatakan sembuh, tapi hampir 60 ribu orang meninggal dunia. Dan sepakbola, olahraga yang membesarkan Reina, juga kebagian imbasnya.
Untuk membatasi penyebaran COVID-19, hampir semua kompetisi sepakbola musim 2019-2020 ditunda, tak terkecuali liga-liga top Eropa, dari Serie A, La Liga, Premier League, hingga Bundesliga. Rencana awalnya, liga-liga besar tersebut akan kembali bergulir pada awal Mei 2020, sehingga bisa berakhir pada akhir Juni 2020.
Sayangnya, menurut Paul Wilson dari Guardian, rencana itu terdengar seperti mimpi di siang bolong. COVID-19, kata Wilson, masih merajalela dan awal Mei masih terlalu dini untuk kembali mengundang kerumunan. Tidak ada yang tahu kapan pandemi ini akan mencapai titik akhir.
Lantas, bagaimana nasib kompetisi liga top Eropa musim 20192-2020 apabila kondisi tak kunjung membaik untuk kembali memutar liga?
Berpengaruh untuk Masa Depan
Dalam konferensi jarak jauh yang digelar UEFA dengan 55 negara anggotanya pada 1 April 2020, disepakati bahwa pertandingan internasional -- baik laki-laki maupun perempuan -- akan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Pertandingan-pertandingan itu meliputi pertandingan persahabatan, pertandingan play-off Euro 2020, dan pertandingan kualifikasi Euro 2021 untuk sepakbola perempuan.
Adapun, UEFA tak luput mengambil keputusan penting lain: sisa pertandingan Liga Champions dan Liga Europa musim 2019-2020 juga akan kembali ditunda sampai batas waktu yang belum diketahui kapan berakhirnya. Sebelumnya, seperti liga-liga top Eropa, dua kompetisi tersebut rencananya akan kembali bergulir pada Mei 2020.
Keputusan UEFA itu tentu saja sangat berpengaruh terhadap masa depan liga-liga top Eropa musim 2019-2020. Penundaan jadwal pertandingan internasional bisa berarti bahwa ada waktu untuk menyelesaikan musim kompetisi. Namun, beberapa liga top Eropa justru bersiap untuk mengambil risiko paling buruk.
Serie A, misalnya. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk melanjutkan liga, mereka setidaknya sudah menyiapkan tiga opsi: (1) membatalkan kompetisi musim 2019-2020, (2) melangsungkan pertandingan play-off, dan (3) memutuskan liga berakhir pada pekan-26 di mana Juventus -- yang memimpin klasemen sementara -- akan keluar sebagai juaranya.
Meski demikian, Gabriela Gravina, Presiden Federasi Sepakbola Italia (FIGC), menyatakan bahwa Juventus menolak dengan tegas opsi yang ketiga.
Di Spanyol, La Liga juga bersiap mengambil langkah seperti di Serie A. Pada akhir Maret lalu Marca melaporkan: La Liga musim 2019-2020 kemungkinan besar akan dibatalkan seandainya sisa pertandingan masih tidak dapat dilanjutkan pada 27 Juni 2020.
“Jika sampai waktu tersebut seluruh negeri (Spanyol) tidak bisa kembali ke kehidupan normal, sepakbola tak akan berarti dan akan mengalami kehancuran total,” kata salah seorang presiden klub di La Liga kepada Marca.
Sementara itu, Premier League, liga paling glamor di Eropa, belum berani mengambil langkah tegas. Meskipun para pemangku kepentingan di Premier League bersepakat bahwa liga tidak akan kembali berlangsung pada awal Mei 2020, mereka terus menggodok kemungkinan untuk melanjutkan sisa musim 2019-2020. Salah satunya, menurut Miguel Delaney, kepala penulis olahraga di Independent, ialah melangsungkan pertandingan dengan “gaya Piala Dunia”.
Semua peserta Premier League rencananya akan bertanding di tempat tertutup, yang digelar di Midlans dan di London, pada Juni hingga Juli 2020. Ada 92 pertandingan sisa dan semuanya akan disiarkan secara langsung oleh televisi.
Guna menghemat waktu, pertandingan-pertandingan tersebut juga tidak hanya akan berlangsung di stadion, melainkan juga akan digelar tempat latihan klub. Dengan begitu, selain bisa menyelesaikan liga, Premier League dapat memenuhi kontrak bernilai miliaran dolar Amerika dengan televisi.
Namun, Delaney juga mewanti-wanti: “Rencana memang mudah dibuat, tapi ini masih penuh dengan masalah logistik. Rencana ini tidak hanya membutuhkan tempat karantina untuk semua klub, tapi semua penyelenggara, kameramen, dan petugas-petugas lainnya.”
Lain itu, soal risiko pertandingan tertutup selama COVID-19 masih mewabah, Premier League bisa belajar dari Bundesliga.
Pada minggu kedua Maret 2020, Bundesliga, yang sampai sekarang belum mengambil langkah tegas mengenai kelangsungan musim 2019-2020, akan menggelar pertandingan tertutup antara Borussia Monchengladbach melawan FC Koln di Stadion Borussia-Park, markas Gladbach. Hanya saja, kednati para penggemar jelas-jelas dilarang datang ke stadion, lebih dari 1000 orang penggemar tuan rumah tetap nekat bergerombol di luar stadion.
Penyebabnya sederhana belaka: Koln adalah salah satu rival berat Gladbach.
Tentu saja sikap tersebut sangat mengkhawatirkan, mengingat COVID-19 saat itu mulai menggerogoti orang-orang Jerman, dan Forbes melaporkan sudah ada sekitar 2000 orang Jerman yang terinfeksi penyakit mematikan itu.
Yang lebih mengerikan lagi, seandainya pihak Premier League sepakat menerapkan pertandingan tertutup, para penggemar klub-klub Premier League -- terutama para penggemar klub yang berbasis di kota London -- kemungkinan juga akan cenderung melakukan hal yang sama.
Dari sana Delaney mengambil kesimpulan: selama keadaan belum benar-benar aman, ide itu pun tak akan pernah terealisasi.
Klub Harus Siap Merugi Demi Kemanusiaan
Rasa pesimistis Delaney tersebut tentu saja menjelaskan sebuah hal: tidak hanya di Premier League, kompetisi top Eropa musim 2019-2020 memang amat sulit untuk kembali dilangsungkan dalam situasi pandemi seperti sekarang. Dan bila itu benar-benar terjadi, maka dampak kerugian jelas amat besar.
Klub-klub sepakbola, menurut hitung-hitungan Financial Times, hanya punya tiga pemasukan utama: hak siar televisi, sponsor, dan tiket pertandingan. Tidak diperpanjang atau disudahinya musim 2019-2020 di tengah jalan berarti nihil pemasukan, tuntutan televisi, dan pengeluaran besar-besaran bagi tiap klub. Belum lagi perkara regulasi dan administrasi: dari promosi-degradasi hingga kontrak para pemain.
Namun, di tengah-tengah ancaman buruk tersebut, sepakbola tentu saja masih bisa memperjuangkan hal yang paling penting di tengah pandemi ini: kemanusiaan.
Sebagian besar pesepakbola, termasuk Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, bersedia memotong gaji mereka. Pemotongan itu, selain digunakan untuk menjaga keuangan klub, nantinya dapat digunakan membayar gaji staf klub yang tidak berhubungan dengan kegiatan di atas lapangan. Messi dan pemain-pemain Barcelona lainnya, misalnya, bahkan rela memotong sebagian besar penghasilannya dari klub.
“Kami bersedia dengan pemotongan gaji karena kami paham bahwa kita semua sedang berada dalam kondisi sulit. Kami, selaku pemain, akan membantu klub,” kata Messi, mewakili pemain-pemain Barcelona, dilansir dari BBC.
“Gaji kami akan dipotong sebesar 70% selama keadaan darurat ini. Kami juga akan membantu klub agar mampu membayar 100% gaji pekerja (yang tidak berhubungan dengan kegiatan di lapangan),” lanjutnya.
Di Inggris, kabar menyenangkan datang dari kota Manchester. Sementara Manchester United berencana mengganti rugi tiket musiman para penggemar untuk empat pertandingan yang ditunda, Manchester City pun turut menempuh langkah penting.
Sebagaimana dilaporkan Sky Sports, saat lima klub besar Premier League memilih merumahkan staf mereka, di mana 80% gaji staff tersebut akan jadi tanggungan pemerintah, City memilih tetap membayar para pekerja mereka secara penuh. Klub yang sedang mendapatkan ancaman sanksi dan UEFA tersebut menyatakan:
“Kami bertekad akan tetap melindungi orang-orang kami, pekerjaan mereka, dan bisnis kami, dan pada saat bersamaan semampu kami akan mendukung orang-orang yang berhubungan dengan kami untuk menghadapi masa yang menantang ini.”
Dalam waktu dekat, tindakan-tindakan seperti itu barangkali tak kalah penting dari pada memikirkan keberlangsungan sisa musim 2019-2020 dengan segala tetek bengeknya. Sebab, memaksakan liga tetap berjalan tak akan pernah ada artinya apabila mengorbankan kemanusiaan. Pesan Nana Addo Dankwa Akufo-Addo selaku Presiden Ghana, bisa menjadi pengingat:
“Kami tahu bagaimana caranya menghidupkan kembali perekonomian. Apa yang kami tidak bisa adalah menghidupkan kembali manusia.”
Editor: Eddward S Kennedy