tirto.id - Alaska dibeli Amerika Serikat dari Rusia pada 18 Oktober 1867, tepat hari ini 153 tahun lalu. Tanggal ini diperingati sebagai Alaska Day dan menjadi hari libur di wilayah tersebut. Kawasan luas di Kutub Utara yang dipenuhi salju ini kemudian diberi status Territory of Alaska. Pada 3 Januari 1959 barulah Alaska secara resmi menjadi Negara Bagian AS ke-49.
Hampir tidak ada gejolak besar di wilayah ini selama bergabung dengan AS. Kepadatan penduduknya yang sedikit (0,49 per m2), letaknya yang "terpencil" di utara, serta daerahnya yang terpisah dengan daratan utama AS membuat Alaska seperti negeri antah berantah. Tentang Alaska, orang-orang barangkali lebih mengenal para penduduk asli yang biasa dijuluki 'Eskimo'—sebuah istilah yang problematis karena mengandung bias rasial. Alaska juga dikenal karena menjadi habitat beruang kutub.
Pada 4 November 2016 sejumlah perwakilan perusahaan yang dimiliki orang-orang asli Alaska mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk meninjau kembali keputusan Ninth Circuit yang pada Februari 2016 disahkan pemerintah AS.
Isi dari Ninth Circuit yang menuai protes ini adalah tentang perlindungan atas area seluas 187.000 mil persegi di Alaska sebagai habitat kritis beruang kutub. Mereka yang mengajukan petisi ingin menjamah area tersebut untuk kepentingan pengeboran minyak. Sebagian besar wilayah habitat Beruang Kutub berada di lepas pantai Alaska yang diyakini kaya sumber minyak.
Badan Perlindungan Ikan dan Satwa Liar AS (USFWS) juga telah berjuang pada area yang lebih luas dari negara bagian California sejak 2010. USFWS sadar, tanpa habitatnya, populasi Beruang Kutub akan lebih cepat menyusut akibat ekspansi bisnis manusia yang merusak tatanan kehidupan beruang seperti mencari sumber makanan.
Kalangan perusahaan seperti Arctic Slope Regional Corporation (ASRC), sebagai salah satu yang meneken petisi, ngotot bahwa penetapan area dalam Ninth Circuit justru akan membahayakan pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup warga Alaska. Mereka mengklaim area habitat kritis yang selama ini jadi habitat Beruang Kutub tak pernah dikunjungi oleh beruang kutub. Penetapan itu dinilai ASRC menghambat proyek-proyek yang berbau ekonomi di area yang jadi perdebatan. Contoh yang terjadi di AS ini menunjukkan kegiatan bisnis berdampak pada risiko lingkungan khususnya pada Beruang Kutub.
Bisnis dan Nasib Beruang Kutub
Ekspansi bisnis atas nama pertumbuhan ekonomi seringkali digaungkan oleh pemodal besar untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang masih “perawan”. Di AS, semenjak Donald Trump terpilih sebagai presiden, ada kekhawatiran dari para ilmuwan dan aktivis lingkungan soal lingkungan. Trump menganggap pemanasan global hanyalah hoax belaka. Di sisi lain, berbagai penelitian ilmiah mencoba membuktikan bahwa pemanasan global memang benar-benar sedang terjadi. Ancamannya bukan hanya pada manusia, tapi juga spesies lain termasuk Beruang Kutub.
Beruang Kutub hanya bisa hidup di area kutub yang dingin dan bisa menjangkau kawasan di dekat laut untuk mencari makanan utama mereka, anjing laut. Menurut catatan World Wildlife Fund (WWF), populasi Beruang Kutub bisa ditemukan di Kanada bagian arktik, Alaska (AS), Greenland, Rusia bagian arktik, Norwegia bagian Arktik, dan sejumlah kawasan es lain di sekeliling Kutub Utara.
Total populasi Beruang Kutub menurut data WWF pada 2015 diperkirakan 22.000-31.000 beruang. Sedangkan menurut Polar Bear International totalnya kurang dari 25.000 beruang. Jumlah ini kian menyusut setiap dekade. Populasi beruang kutub di wilayah selatan Laut Beaufort misalnya, telah berkurang kurang lebih 40 persen dalam rentang waktu satu dekade mulai 2001 hingga 2010, dari 1.500 beruang jadi 900 beruang.
Sedangkan, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan bahwa populasi Beruang Kutub akan menyusut hingga 30 persen pada 2050 dari saat ini apabila tren pemanasan global terus berlanjut. Kehilangan habitat hidup merupakan ancaman terbesar bagi keragaman biologis di Bumi. Rilis WWF tahun lalu mencatat 85 persen berbagai spesies pada 2006 terancam kelestariannya akibat kehilangan tempat tinggal karena efek pemanasan global maupun terdesak oleh kerakusan manusia.
Khusus bagi Beruang Kutub, mereka tak bisa hidup selain mengandalkan es lautan di sekitar arktik. Temperatur bumi yang makin panas menyebabkan es kutub mencair lebih cepat. Beruang Kutub terdesak makin jauh ke arah pusat kutub, sedangkan habitat mangsa utama mereka kebanyakan berada di pinggir laut lepas. Mereka terpaksa bermigrasi ke tempat yang sumber makanan yang justru langka.
Kawasan tempat mencari makan Beruang Kutub makin jauh terutama saat musim panas tiba. Dalam catatan WWF, kondisi ini mengurangi tingkat kelangsungan hidup beruang kutub dalam jangka panjang. Dalam posisi yang kian terdesak, National Geographic mencatat sejumlah adaptasi baru yang dilakukan Beruang Kutub dalam rangka bertahan hidup.
Beruang Kutub yang kelaparan di area Svalbard, Norwegia Utara, akan memakan lumba-lumba hasil buruannya sebagian saja. Sisanya mereka kubur di bawah tumpukan salju untuk dimakan beberapa hari kemudian. Perilaku ini mengejutkan para ilmuwan tak hanya untuk pola adaptasinya yang unik, tapi juga perubahan jenis makanan beruang kutub yang tak lagi memangsa anjing laut.
Kawanan Lumba-lumba yang jadi santapan baru Berung Kutup diduga berenang ke area perairan Svalbard saat es mencair. Tentu, ini jadi fenomena tak normal akibat pemanasan global, karena biasanya es di kawasan tersebut beku sepanjang tahun. Saat sebagian es mulai membeku, lumba-lumba terjebak dan menjadi santapan empuk Beruang Kutub. Namun, jumlahnya yang tak banyak membuat sang beruang mesti berhemat pasokan makanan.
Adaptasi lainnya, dalam penelitian Robert Rockwell di 2011 yang dipublikasikan di Jurnal Oikos disebutkan bahwa telur burung angsa salju yang ditetaskan wilayah di Kanada bagian Utara digunakan sebagai sumber makanan cadangan oleh Beruang Kutub. Mereka menenggak isinya bagai “melahap sepotong mentega,” tulis Rockwell.
Rockwell memperkirakan 88 butir telur angsa salju setara dengan kalori yang dikandung seekor anjing laut. Mereka memakannya untuk sarapan dan berharap bisa untuk mengganjal perut selama enam bulan selanjutnya. Sayang, upaya ini tak bisa 100 persen sukses, sebab telur-telur tersebut bukan makanan utama para beruang. Dalam jangka panjang, memakan telur angsa salju juga bukan solusi bagi Beruang Kutub untuk mempertahankan populasinya.
Menunda hibernasi atau kegiatan istirahat jadi adaptasi Beruang Kutub. Kondisi pemanasan global menyebabkan proses mencairnya es di Kutub Utara berlangsung lebih lama, sedangkan pembekuan kembali di musim dingin berlangsung tak sempurna. Hal ini menyulitkan beruang kutub dalam mencari makanan sebab mereka bergantung pada keberadaan es saat berburu anjing laut. Efeknya, jadwal hibernasi menjadi kacau akibat pengumpulan lemak di tubuh terkendala hasil buruan yang menipis.
Beruang Kutub juga berdaptasi dengan memakan makanan manusia. Karyn Rode, ahli biologi satwa liar yang bekerja untuk U. S. Geological survey di Alaska mengatakan bahwa Beruang Kutub sebagai pemakan yang sangat oportunis. Beruang bisa mengonsumsi makanan sisa dan sampah di kota-kota dekat habitat mereka.
“Mereka akan makan apapun, meskipun itu makanan yang sesungguhnya tak baik bagi pencernaan mereka,” kata Rode.
Sebagai binatang karnivora yang sedang terdesak, apakah beruang kutub juga punya potensi memangsa manusia? Kekhawatiran itu pernah mengemuka di 2014 lalu saat penduduk Kota Arviat di Nunavut, Kanada, sedang merayakan Halloween. Tradisi berkeliling rumah demi mendapatkan permen dan coklat terpaksa dilarang oleh otoritas setempat sebab ada kemungkinan serangan Beruang Kutub kepada anak-anak yang sedang berkeliaran di luar rumah.
Potensi serangan beruang kutub terhadap manusia amat kecil. Namun, fenomena tersebut cukup menjadi bukti bahwa pemanasan global yang diciptakan oleh aktivitas manusia secara tak langsung bisa membahayakan manusia itu sendiri. Pada dasarnya Beruang Kutub juga memiliki insting seperti manusia, untuk urusan perut dan bertahan hidup, rela melakukan apa saja. Persoalannya, apakah manusia menyadarinya?
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 November 2016 dengan judul "Nasib Beruang Kutub di Ujung Tanduk". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Ivan Aulia Ahsan