Menuju konten utama

Nasib Baik Bank-Bank Eks-Milik Yayasan & Koperasi TNI/PNS

Bank-bank yang dulunya milik koperasi ataupun yayasan, kini telah berganti pemilik dan tumbuh besar.

Nasib Baik Bank-Bank Eks-Milik Yayasan & Koperasi TNI/PNS
Suasana pelayanan nasabah di kantor pusat Bank Bukopin, MT Haryono, Jakarta Selatan, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.

tirto.id - Pasar perbankan digital Indonesia sedang merekah. Sejumlah perusahaan asing mengincar bank-bank lokal kelas menengah ke bawah untuk dijadikan pintu masuk ke pasar perbankan digital Indonesia.

Terbaru, PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE) resmi diakuisisi oleh Sea Group, pemilik wahana marketplace Shopee. Bank BKE tinggal nama, berganti menjadi PT Bank Seabank Indonesia mulai 10 Februari 2021.

Namun, Bank BKE bukan satu-satunya bank yang punya sejarah panjang di Indonesia dan dulunya dimiliki oleh yayasan atau koperasi milik pegawai negeri atau TNI. Ada Bank Bukopin dan juga BTPN yang merupakan milik koperasi dan juga pensiunan, tetapi kini sudah malih rupa menjadi bank milik swasta dan asing. Bank-bank ini sudah mengalami transformasi besar-besaran dan menjadi salah satu bank swasta besar.

Ada pula yayasan TNI yang sempat memiliki bank seperti Bank Gemari, milik Yayasan Kesejahteraan Angkaran Bersenjata Republik Indonesia yang akhirnya menjadi bagian dari BCA, bank swasta terbesar di tanah air kini. Atau Bank Windu Kentjana yang dulunya milik Yayasan Dharma Putra Kostrad, tetapi kini sudah menjadi milik China Construction Bank.

Bank-bank yang awalnya dikelola secara “kekeluargaan” ini pada akhirnya harus dilepas oleh pengelola awalnya. Ada kebutuhan untuk penambahan modal agar berkembang menjadi besar, ataupun mengikuti aturan Bank Sentral (sebelum regulator berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan) yang terus memperbaiki kondisi perbankan nasional.

Bank BKE Dulu Punya Koperasi Pegawai Negeri

Seperti kisah Bank BKE, yang berpindah-pindah pemilik karena adanya kebutuhan penambahan modal. Menilik dari sejarahnya, Bank BKE dulunya milik koperasi Pegawai Negeri Indonesia. Dalam perjalanannya, sejumlah investor masuk menyuntikkan modal untuk kelangsungan hidup Bank BKE. Akibatnya, kepemilikan saham koperasi Pegawai Negeri pun menyusut, dan investor swasta menjadi mayoritas. Sampai akhirnya dilego kepada investor asing.

Bank BKE lahir pada 27 Februari 1992 dengan nama Bank Kesejahteraan Ekonomi. Ide pendirian dicetuskan oleh Ketua Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI) Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Modal awal sebesar Rp 10 miliar, dengan komposisi kepemilikan saham terdiri dari 90% IKPRI dan PT Taspen 10% untuk pemegang saham seri A.

Untuk memperkuat perkembangan bisnis dan struktur keuangan perusahaan, jumlah pemegang saham ditambah dengan masuknya Dana Pensiun PT Jasindo, Dana Pensiun PT Jasa Raharja, Dana Pensiun Pertamina, PT Asuransi Ekspor Indonesia, dan Koperasi Pegawai Bank BKE, masing-masing memegang saham seri B.

Pada 2005, Bank Kesejahteraan Ekonomi melakukan perubahan Anggaran Dasar terkait perubahan modal dasar menjadi Rp200 miliar. Tahun 2014, PT Reliance Securities Tbk masuk sebagai pemegang saham setelah menambah modal sebesar Rp60 miliar.

Setahun kemudian, Bank Kesejahteraan Ekonomi melakukan transformasi dan mengubah namanya menjadi Bank BKE. Bank BKE kemudian memulai aksi korporasi dengan menerbitkan obligasi subordinasi Rp170 miliar.

Pada 2018, IKPRI harus mengurangi kepemilikan sahamnya di Bank BKE, sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/POJK.03/2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Berdasarkan POJK ini, pemegang saham lembaga non-keuangan maksimal 30%. Saat itu, IKPRI memiliki 46,43%.

Sebagian saham IKPRI di Bank BKE akhirnya dibeli oleh PT Danadipa Artha Indonesia. Dengan menyuntikkan Rp85 miliar ke Bank BKE, Danadipa mendapatkan 21% saham yang sebelumnya digenggam IKPRI. Komposisi pemegang saham berubah.

Menurut laporan keuangan Bank BKE tahun 2019, komposisi pemegang saham per Desember 2019: IKPRI (25,43%), PT Danadipa Artha Indonesia (21%), PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (20,55%), PT Recapital Advisors (19,68%), PT Taspem (2,81%), Dana Pensiun PT Jasa Raharja (1,44%), Dana Pensiun PT Asuransi Jasa Indonesia (1,24%), Koperasi Pegawai PT Bank Kesejahteraan Ekonmi (0,74%), PT Mitra Lintas Persada (7,12%).

Pada 2020, Bank BKE menambah modal melalui private placement. Setelah proses selesai, pemegang saham utama terdiri dari PT Danadipa Artha Indonesia (94,95%) dan PT Koin Investama Nusantara (5,05%).

Baru dua tahun menguasai Bank BKE, Danadipa melego kepemilikannya kepada Sea Group, yang merupakan induk usaha e-commerce Shopee. Sea Group berencana menjadikan Bank BKE sebagai bank digital, untuk menopang pertumbuhan Shopee di Indonesia.

Bukopin dan BTPN Juga Pindah ke Asing

Selain Bank BKE, ada Bank Bukopin yang dulunya merupakan bank koperasi, dan kini telah menjadi milik asing pula. Bank Bukopin kini telah berganti nama menjadi PT Bank KB Bukopin Tbk, setelah masuknya KB Kookmin Bank.

Bukopin didirikan pada 10 Juli 1970 untuk mendukung gerakan koperasi di Indonesia. Awalnya, Bukopin diberi nama Bank Umum Koperasi Indonesia, dan berbadan hukum koperasi.

Pada 1993, status Bukopin berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Bank Bukopin. Aksi korporasi besar terjadi pada 10 Juli 2006, saat Bank Bukopin mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.

Pada 2013, Bosowa Corporindo miliki keluarga Aksa Mahmud masuk Bank Bukopin, dan secara bertahap terus meningkatkan kepemilikannya dengan membeli saham milik Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo).

Seperti dilansir Investor Daily, Bosowa Corporindo membeli 14% atau 1,11 miliar saham dari Yabinstra (9,5%) dan Kopelindo (4,6%) dengan total nilai Rp1,17 triliun atau Rp 1.050 per saham pada Juni 2013. Melalui rights issue Bank Bukopin pada Desember 2013, Bosowa menambah saham menjadi 18,57%. Dua tahun kemudian, Bosowa menambah kepemilikan sahamnya menjadi 30%, sekaligus menjadi pemegang saham pengendali.

Pada 2018, KB Kookmin Bank masuk melalui rights issue, sehingga komposisi pemegang saham berubah menjadi Bosowa Corporindo 23,395%, KB Kookmin Bank 22%, Kopelindo 11,5%, NKRI 8,9%, publik 34,18%.

Kookmin Bank terus menambah kepemilikannya di Bank Bukopin hingga menjadi 67%, skaligus menjadi pemegang saham pengendali Bank Bukopin. Bosowa tidak terima, menggugat ke PTUN, dan memenangkannya. Namun, Kookmin Bank bergeming dan tetap mengendalikan Bank Bukopin, bahkan mengubahnya menjadi Bank KB Bukopin. Konflik perebutan kendali atas Bank Bukopin ini masih bergulir di meja hijau.

Jika Bank Bukopin jatuh ke tangan bank asal Korea, BTPN jatuh ke tangan bank asal Jepang. Seperti Bukopin, BTPN awalnya juga didirikan tanpa tujuan komersil. BTPN lahir di Bandung tahun 1958 dengan nama Bank Pegawai Pensiunan Militer (Bapemil).

Menurut Jurnal Parlementaria 132-133 Januari-Februari 1987 (Hlm 73), Bapemil didirikan oleh 6 orang purnawirawan dan seorang pengusaha swasta. Tujuan awalnya adalah untuk menghindarkan para pensiunan, janda dan anak yatim dari incaran rentenir. Pada 18 Juli 1960, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan menetapkan Bapemil sebagai bank perkreditan yang melakukan kegiatan usaha sebagai bank pegawai.

Setelah itu, Komisi VII DPR meminta agar status badan hukum Bapemil ditingkatkan sesuai dengan UU No14/1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, Bapemil. Bapemil kemudian berubah status menjadi bank tabungan.

Pada 1986, Bapemil berganti nama menjadi Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Pada 22 Maret 1993, statusnya kembali berganti dari bank tabungan menjadi bank umum.

Pada 1998, Grup Bakrie masuk ke BTPN. Komposisi kepemilikan saham BTPN berubah menjadi Bakrie Capital Indonesia/BCI (49%), Bank Nusa Nasional/BNN (45,54%), pengusaha Mustafa Ishak Jatim (5,46%).

Setelah krisis moneter menerpa Indonesia, Bakrie harus melego sebagian kepemilikannya untuk memenuhi kewajibannya. Sementara BNN diambil alih pemerintah, menjadi Bank Take Over (BTO), dan di kemudian hari dilebur bersama dengan Bank Danamon.

Sebagian saham BTPN yang dimiliki Bakrie akhirnya menjadi milik pemerintah. Setelah semua perkembangan, pada tahun 2005, terjadi perubahan kepemilikan di BTN. Komposisinya menjadi Recapital Advisors (22,6%), Danatama (19%), BCI (10%), pengusaha Fuad Hasan Masyhur (20%), pemerintah/BPPN (28,4%).

Pada 2008, terjadi perubahan kepemilikan secara besar-besaran. Pemerintah melalui PPA (pengganti BPPN) akhirnya melepas saham BTPN melalui IPO pada 12 Maret 2008. Setelah IPO, pemegang saham lain ikut melepas saham BTPN. Texas Pacific Group (TPG) Nusantara S.a.r.l mengakuisisi 71,6% saham BTPN senilai Rp1,8 triliun. TPG membeli saham milik PT Recapital Advisors, PT Danatama Makmur, PT Bakrie Capital Indonesia, dan Fuad Hasan Masyhur.

Setelah lima tahun menguasai mayoritas saham BTPN, TPG secara bertahap melepas kepemilikannya kepada Sumitomo Mitsui Banking Corporation. Hingga akhir 2019, Sumitomo Mitsui Banking Corporation telah menguasai 92,43% saham BTPN. Sisanya dimiliki BCA (1,02%), BNI (0,15%), publik (5,23%), treasury stock (1,17%).

Pada Februari 2019, Sumitomo sebagai pemegang saham pengendali, menggabungkan BTPN dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia. Namanya pun berubah menjadi PT Bank BTPN Tbk.

Infografik Bank-Bank yang ganti juragan

Infografik Bank-Bank yang ganti juragan. tirto.id/Fuad

Bank Windu Kentjana dan Bank Gemari Punya ABRI

Lain halnya dengan Bank Windu Kentjana dan Bank Gemari, yang awalnya dimiliki oleh yayasan yang terkait Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Bank Windu Kentjana yang didirikan pada 1957 awalnya merupakan milik Yayasan Dharma Putra Kostrad dan pengusaha Liem Sioe Liong. Menurut Bosuk & Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto (2016), Soeharto menugaskan Liem untuk bekerjasama dengan para jenderal di Yayasan Dharma Putra Kostrad. Pada 1967, Bank Windu Kentjana ditata ulang dengan masuknya pada jenderal finansial Soeharto dalam jajaran dewan direksi. Liem dan dua saudaranya tercatat sebagai bagian pemilik Bank Windu Kentjana.

Marleen Dieleman dalam Rhythm of Strategy: A Corportate Bigraphy of the Salim Group of Indonesia (2007) menuliskan, salah satu strategi ABRI adalah menggunakan yayasan untuk tujuan bisnis. Yayasan-yayasan ini masih dan tetap menjadi bisnis yang besar hingga akhir rezim Soeharto. Yayasan Dharma Putra Kostrad adalah salah satunya.

“Tentara, sekarang banyak menjadi kekuatan politik, menjadi sangat aktif dalam aktivitas terkait bisnis, yang memberikan tentara pendanaan tambahan. Soeharto dan teman-teman dekatnya memainkan peran utama dalam aktivitas ini,” tulis Dieleman (hlm. 47).

Dalam perjalanannya, Bank Windu Kentjana juga mengalami perubahan kepemilikan. Pada 8 Januari 2008, Bank Windu Kentjana merger dengan Bank Multicor menjadi PT Bank Windu Kentjana International Tbk untuk memenuhi program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang ditetapkan Bank Indonesia. Dalam API, BI mewajibkan modal minimal Rp80 miliar harus dipenuhi pada akhir 2007.

Bank Windu Kentjana International kemudian melakukan merger dengan PT Bank Antardaerah atau Bank Anda, yang 100% dimiliki bank tersebut. Merger dilakukan berbarengan dengan masuknya China Construction Bank Corporation (CCB). CCB menguasai 60% saham di CCB Indonesia. Setelah semua proses merger dan masuknya CCB selesai, Bank Windu Kentjana berubah nama menjadi PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk. Bisnisnya pun berubah dengan titik berat pembiayaan di sektor korporasi, khususnya infrastruktur.

Ada pula Bank Gemari yang dulunya milik Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pada 1977, Bank Gemari diambil alih oleh BCA yang harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia untuk menjadi bank devisa. Sesuai ketentuan BI saat itu, untuk menjadi bank devisa, setidaknya ada tiga bank yang dimerger menjadi satu.

Setelah akuisisi Bank Gemari, BCA kemudian mendapatkan izin valas dari BI pada 1977. Izin itulah yang kemudian membantu BCA tumbuh besar dan menjadi pemimpin di perbankan Indonesia.

Baca juga artikel terkait BANK BKE atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf