tirto.id - Untuk Pak Chris dan Mak No.
Kabar duka itu datang pada November 2020. Meski di tengah pandemi yang membuat banyak orang sudah terbiasa dengan lelayu, toh kabar meninggalnya Pak Christianto Rahardjo itu bikin saya termenung siang itu, tiga tahun silam.
Pak Chris, atau Mas Chris, begitu kami memanggilnya, adalah dosen Program Studi Televisi (PSTV) Universitas Jember. Pada suatu masa, medio 2005-2010, saya dan banyak kawan sering nongkrong di Kansas alias Kantin Sastra. Di sana, semua setara. Dosen dan mahasiswa makan serta ngopi di tempat yang sama, bisa saling nimbrung, bahkan debat.
Ada banyak dosen yang tiap hari ngopi di Kansas. Pak Ayu Sutarto, dosen legendaris Fakultas Sastra, misalnya. Kalau dia tidak sedang sibuk penelitian atau tak ada kelas, dosen wali saya ini nyaris pasti bisa ditemui di Kansas. Ada juga Pak Mochamad Ilham, Pak Syamsul Anam, Mas Ikwan Setiawan, dan tentu saja Mas Chris. Waktu itu PSTV belum ada, dan Mas Chris dikenal sebagai dosen Sastra Indonesia. Beliau dikenal sebagai pakar filologi, dan kalau tidak salah juga mengajar mata kuliah Jawa Kuno dan Jurnalistik.
Mas Chris lumayan sering bercerita, terutama soal hobinya mancing. Saya lebih sering mendengarkan ceritanya ketimbang menimpalinya, mengingat hobi mancing saya mentok di sungai dekat rumah, sedangkan Mas Chris sampai pergi ke tengah laut demi memuaskan hobinya itu. Dia seorang pencerita yang menyenangkan, lengkap dengan tawa yang menular. Sesekali Mas Chris bertimpal kelakar dengan Pak Ilham atau dosen lain.
Selain mancing, sama seperti orang-orang yang sedikit banyak dialiri darah epikurian, beliau doyan cari makan enak. Karenanya, dia juga mudah ditemui di Warung Mak No, sebuah rumah makan –harfiah maupun gramatikal, karena warungnya memang terletak di dalam rumah, dan orang biasa makan di halaman atau ruang tamu– di belakang Fakultas Sastra.
Beberapa bulan sebelum Mas Chris meninggal, Mak No lebih dulu mangkat. Para pelanggan Mak No menuliskan banyak eulogi mengenang sosok ibunya anak-anak, yang sudah memberi makan banyak mulut sejak era 1980-an dengan pecel, rawon, oseng-oseng, soto, dan aneka hidangan rumahan lain. Beberapa teman lain cerita kalau Mak No akan dengan senang hati memberikan bon bagi mereka yang belum dapat uang kiriman. Sungguh besar jasa Mak No.
Mahasiswa dan para dosen yang berduka atas kepergian Mas Chris, juga Mak No, membuktikan kalau keduanya adalah orang baik, punya jasa besar, dan jelas akan dirindukan.
Saya tak urung ikut berduka atas kepergian dua karakter penting itu. Merenung, bahwa perlahan semua yang dulu pernah melekat di Fakultas Sastra hilang untuk digantikan dengan yang baru. Termasuk nama Fakultas Sastra yang sudah tak ada lagi, berganti dengan Fakultas Ilmu Budaya.
Sebelum meninggal, Mas Chris sempat mengunggah gambar dan takarir terakhir. Temanya: nasi sodu, makanan yang lahir dari Asembagus, sebuah kecamatan di Situbondo, Jawa Timur. Dengan gaya kelakarnya yang khas, Mas Chris, dengan luwes mengaitkan nase sodu dengan kultur baru yang lahir karena pandemi –dan saya yakin cukup bikin dia jengah sekaligus lelah.
Panakajaya, kolega Mas Chris yang kebetulan jadi pemandu mancing siang itu, berkisah bahwa Mas Chris lahap menyantap nasi sodu. Dua piring dia tandaskan setelah semalaman memancing kerapu.
Sekilas, nasi sodu tak jauh beda dengan nasi lodeh. Isian umumnya adalah labu siam dan wortel. Ada juga yang pakai jagung, labu kuning, kecambah, atau kacang panjang. Sedangkan kuahnya mengikuti pola ajeg lodeh: pakai santan. Namun sebagai tanah yang diberkahi garis pantai panjang, warga Asembagus tak malu-malu memakai santan lebih banyak. Lebih machtig.
Namun, jika kamu melongok lebih dalam, terasa betul pembeda yang amat mencolok dari kebanyakan lodeh: kaldu nasi sodu memakai ikan tongkol, yang di Jakarta disebut sebagai ikan keranjang, juga ikan cue. Ikan tongkolnya bisa dibakar dulu, atau digoreng, atau langsung dicemplungkan begitu saja.
Hasilnya, seporsi nasi sodu, apalagi kalau diberi sambal terasi yang mencucuk lidah dan membuka pori-pori di kepala, adalah gambaran kalau pantai dan laut adalah halaman belakang rumahmu. Ia, sama seperti mayoritas makanan pesisir, punya cita rasa berani dan tegas. Karakter rasanya jelas: asin dan gurih. Tak ada waktu buat bergenit ria dan bermain moderat.
Untuk kemewahan citarasa seperti itu, para penjaja nasi sodu di sepanjang Asembagus itu, hanya akan meminta lima ribu, atau maksimal sepuluh ribu, dari kantongmu.
Maka tak salah kalau Pak Chris dengan puitis menyebut nasi sodu sebagai “…mazmur dari nirwana.” Dengan nase sodu pula, segala iring dan doa pujian mengiringi Pak Chris menuju surga.
Selamat jalan, Pak Chris. Sampean sudah gak akan pusing dengan ratusan webinar dan rapat virtual yang melelahkan itu. Selamat bersenang-senang di atas sana.
Untuk mengenang Mas Chris, hari ini saya sengaja memasak nasi sodu. Bahannya mudah didapat di warung sayur atau mlijo kesayangan anda.
Bahan inti yang tak boleh dilewatkan tentu saja adalah ikan tongkol. Untuk itu, saya rela bangun lebih pagi ketimbang biasa. Karena kalau lewat di atas jam 10, tongkol sudah lenyap dari rak penjual.
Sisanya adalah bumbu klasik. Bawang merah, putih, lengkuas, ketumbar, sedikit kunyit kalau mau agak kuning. Haluskan. Pakai juga irisan cabai yang ada di kulkasmu. Kamu bisa pakai cabai besar, rawit, atau keriting. Bebas saja. Semua tergantung kebutuhan.
Ikan tongkolnya boleh kamu bakar atau goreng untuk menguarkan wangi yang lebih aduhai. Saya, demi menghemat waktu, cukup dengan menyobek ikan, lalu membakarnya dengan blow torch.
Tumis bumbu halus hingga wangi, masukkan tongkol, tumis lagi hingga aroma lautan memenuhi dapur, masukkan air. Setelah mendidih, masukkan isian dan bahan iris. Saya pakai potongan tempe dan labu sebagai bahan isian tambahan. Lalu tuang santan, beri garam dan vetsin, masak hingga matang. Koreksi rasa.
Ini pertama kalinya saya masak nasi sodu dan cukup puas dengan hasilnya. Ia mudah dibuat. Karakter rasanya yang kuat rasa asinnya juga pas buat pecinta rasa ini. Mungkin menu ini akan sering saya buat, bergantian dengan jangan lombok ala Gunungkidul, yang sama-sama memakai biota laut buat bahan utama kaldunya.
Untuk lauk utama, saya menggoreng lele dan tahu bakso. Agar makin lengkap, saya bikin sambal terasi dan sambal kecap buat cocolan tahu bakso. Makan siang lengkap sudah.
Istri saya yang berdarah Minang terlihat lahap menyantap nase sodu ini. Kadang saya merasa dia sebenarnya cocok jadi orang Madura. Setelah beberapa waktu lalu terbiasa makan hasil olahan petis, kini dia suka nasi sodu yang gurih dan asin itu.
Untuk Mas Chris dan Mak No, semoga tenang di atas sana. Saya akan selalu ingat petuah kalian berdua.
Ngakan geluh, Cong!
Editor: Irfan Teguh Pribadi