tirto.id - Pecinta kopi berkumpul di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, April lalu. Mereka menghadiri salah satu eksibisi kopi terbesar di dunia. Ajang yang oleh Otten Coffee disebut sebagai fashion week-nya dunia kopi ini bertajuk Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo. Dalam pameran bertema one stop shop ini, seluruh pelaku industri kopi berkumpul. Mulai dari para antusias kopi, barista, dan tentu saja nama-nama besar perusahaan kopi. Panitia SCAA mengadakan acara ini di pusat konvensi terbesar ketiga di Amerika. Jadi bayangkan sendiri kemegahannya.
Dalam acara besar itu, nama Indonesia diistimewakan. Negeri berpenduduk 250 juta orang ini didapuk sebagai potrait country, sebuah penghargaan khusus untuk negara produsen kopi, yang membuat nama Indonesia terus bergaung sepanjang empat hari acara digelar. Setelah pemotongan pita bertuliskan “Si Ajaib Indonesia: Rumah Kopi Terbaik Nusantara” dipotong sebagai tanda dimulainya acara. Pujian pun dilontarkan kepada Indonesia untuk kopinya yang sudah mendunia. Direktur Royal Coffee Amerika mengatakan, “Kepada yang terhormat Indonesia, terima kasih atas kopimu selama ini,” dalam sebuah video penyambutan.
Penghormatan besar-besaran itu rasanya tak berlebihan. Indonesia memang terkenal sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia, sekaligus pengekspor kopi robusta terbesar kedua seantero bumi. Negara penghasil terbesar kopi, menurut data Organisasi Internasional Kopi, adalah Brazil, Vietnam, dan Kolombia secara berurutan. Sementara pengekspor robusta terbesar dipegang oleh Vietnam. Tapi, fakta ini tak melunturkan posisi Indonesia sebagai penghasil kopi terbaik dunia. The Huffingtonpost bahkan menyebutkan kopi luwak dari Sumatera sebagai kopi termahal di dunia.
Hikayat kopi dunia sebenarnya sudah berlangsung sejak berabad-abad silan. Predikat Indonesia sebagai negara kopi bukan buah bibir yang baru viral. Ia sudah ada sejak abad 16.
Kala dunia masih asing dengan biji hitam berbau khas itu, kompeni mencium kabar tentang suburnya tanah kepulauan di Samudera Hindia, yang kelak bernama Indonesia. Mereka menjadikan tanah jajahannya itu sebagai ladang kopi terbesar pertama di dunia. Kopi ini masuk melalui Batavia, dibawa oleh Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen. Bibit ini ditanam dan dikembangkan di tempat yang sekarang dikenal sebagai Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sayang, kloter pertama binasa dilanda banjir. Maka pada 1699, bibit-bibit baru didatangkan lagi. Kali ini perkembangannya cepat. Tak hanya diladangkan di Jakarta, daerah lain Indonesia mulai dipacaki tanaman serupa. Kopi kloter pertama ini adalah jenis Arabika.
Seperti tujuan awal sang komandan yang juga saudagar, kopi jadi komoditas dagang andalan VOC. Penjualan biji hitam ini meledak. Ekspornya dilakukan pertama kali oleh VOC pada tahun 1711, dan dalam kurun waktu 10 tahun meningkat sampai 60 ton per tahun. Sebelumnya, pada 1706 kopi-kopi nusantara ini dibawa ke Amsterdam untuk diteliti Raja Louis XIV. Cita-cita saudagar berubah jadi ambisi sang raja. Hindia Belanda saat itu menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia, membuat VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725-1780. Kopi-kopi ini kemudian dikenal sebagai “Secangkir Jawa” atau “Kopi Jawa”.
Sampai pertengahan abad ke-19, Kopi Jawa menjadi kopi terbaik di dunia.
Produksi kopi di Jawa mengalami peningkatan pesat. Pada periode 1830-1834, produksi kopi Arabika mencapai 26.600 ton, dan 30 tahun kemudian meningkat menjadi 79.600 ton dan puncaknya tahun 1880 -1884 mencapai 94.400 ton. Selama 175 tahun kopi Arabika merupakan satu-satunya jenis kopi komersial yang ditanam di Indonesia, hingga hama hemileia vastatrix atau Karat Daun menyerang komoditas ini pada 1876.
Ini membuat Arabika hanya bisa bertahan hidup di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ini pula yang kelak jadi cikap bakal terkenal beberapa entitas kopi di Sumatera, sebab Arabika masih subur di Bukit Barisan, Mandailing, Lintong, Sidikalang, dan Gayo.
Serangan hama tak membuat Belanda habis akal. Mereka mendatangkan Kopi Liberika ke Indonesia pada 1875. Namun, nasibnya sama dengan Arabika, habis dimakan Karat Daun. Rasanya yang terlalu asam juga tak terlalu disukai pasar. Sisa perkebunan Liberika masih bisa dijumpai di Jambi, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Masih tak habis akal, pada 1900 giliran Robusta yang didatangkan. Karat Daun kali ini kalah. Pun Robusta lebih gampang dirawat, membuat produksinya lebih tinggi. Ini membuat Indonesia sempat menjadi ladang pengekspor terbesar di dunia.
Semenjak Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan rakyat terus tumbuh dan berkembang, sedangkan perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil di Sumatera; dan perkebunan negara (PTPN) hanya tinggal di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kopi-kopi di Indonesia lantas diolah oleh masing-masing perkebunan sisa jajahan Belanda itu. Sehingga entitas yang muncul adalah sesuai dengan daerah tempat kopi ditanam. Seperti Kopi Sidikalang, Kopi Lintong, atau Kopi Gayo. Kopi-kopi ini memang memiliki cita rasa berbeda, sebagai penanda beragamnya nuansa yang ditawarkan kopi-kopi nusantara.
Hal ini diakui oleh mancanegara. Salah satunya Jonathan da Silva, seorang penggiat kopi dari Brasil, seperti dikutip dari National Geographic Indonesia, mengakui cita rasa kopi Indonesia yang kaya rempah.
Nus Nuzulia Ishak, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan RI setuju. Ia bilang kopi akan jadi bagian dari merek bangsa atau nation branding. Selain jadi pintu masuk bagi promosi pariwisata, kopi ia harapkan juga jadi investasi besar Indonesia. “Nantinya diharapkan ketika diekspor akan membawa satu merek, yaitu Kopi Indonesia, seperti yang dilakukan di Brasil atau Kolombia. Tentunya pencantuman merek pada satu jenis kopi harus melalui uji mutu dan standar,” kata Nus kepada National Georaphic Indonesia.
Kini, Indonesia diperkirakan menghasilkan 750 ribu metrik ton kopi. Dari jumlah ini, 154.000 metrik ton digunakan untuk konsumsi domestik. Sementara untuk diekspor 25 persen adalah biji kopi Arabika, dan sisanya Robusta.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti