tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan resmi merilis regulasi baru yang mengatur soal tarif maskapai penerbangan dalam negeri kelas ekonomi. Salah satu yang direvisi dalam beleid baru ini adalah tarif batas bawah menjadi 35 persen dari sebelumnya 30 persen.
Aturan baru itu tertuang dalam Permenhub Nomor 20/2019. Namun, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Nur Isnin Istiartini mengatakan beleid baru ini tidak banyak mengubah tarif yang ada, hanya sebatas menaikkan tarif batas bawah.
Selain itu, perubahan yang cukup mencolok lainnya hanya mencangkup kewajiban pengumuman tarif yang diberlakukan maskapai dan keharusan melibatkan asosiasi pengguna jasa penerbangan.
“Tetap ya [tarifnya]. Mayoritas tetap hanya tidak lebih mahal,” kata Isnin kepada wartawan saat memberi keterangan tentang regulasi baru tarif maskapai penerbangan di Gedung Karsa, Kemenhub, pada Jumat sore (29/3/2019).
Regulasi baru ini memang tak banyak menjawab persoalan tarif tiket yang dikeluhkan masyarakat dan pelaku usaha, khususnya di sektor pariwisata. Padahal berdasarkan notulensi rapat tertanggal 25 Maret 2019 yang bocor, pemerintah sempat mendesak maskapai menurunkan tarif.
Dalam rapat itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bahkan disebut memberi ultimatum pada maskapai untuk menurunkan harga tiket per April 2019. Meski Luhut telah membantah hal itu.
“Enggak juga. Kami enggak bilang begitu. Jangan terlalu itu lah. Kami bilang [ke maskapai] coba lihat suasana market [pasar] bagaimana,” ucap Luhut kepada wartawan pada Rabu, 17 Maret 2019.
Luhut menambahkan “ya hasilnya [rapat] bagus. Mereka [maskapai] akan melakukan adjustment [penyesuaian harga tiket] sesuai perhitungan perusahaan mereka.”
Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan mengatakan, untuk kelangsungan bisnis penerbangan memang maskapai harus menyesuaikan harga tiket dengan biaya yang ada. Terlebih menurutnya biaya kini mengalami tren kenaikan, tetapi sulit diatasi bila tren harga tiket justru stagnan.
“Poinnya ketika enggak ada biaya, ya jangan promosi. Bahwa semuanya ketika terbang harus ada yield. Kami, kan, enggak mungkin terbang membakar uang. Kan, harus ada yieldmargin,” kata Ikhsan, Jumat kemarin.
Bisa Pengaruhi Sektor Usaha
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan fluktuasi harga tiket pesawat ini dapat berpengaruh pada sektor usaha yang berkaitan langsung dengannya. Ia mencontohkan bisnis penerbangan, hotel, restoran, travel agent hingga UMKM lantaran bergantung pada kemampuan mobilitas masyarakat.
Faisal mengatakan, dampak pada sejumlah sektor tersebut dapat membuat pelaku usaha kesulitan merencanakan bisnisnya. Terutama bila menyangkut perhitungan laba, pendapatan yang berujung pada sulitnya mengatur proyeksi jangka panjang.
“Waktu dia naik itu mengurangi mobilitas orang. Ketika dia juga fluktuatif, dampaknya bisa lebih luas. Sektor-sektor di pariwisata bisa terpengaruh karena ketidakpastian terutama di business planning,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto.
Faisal menilai pemerintah tidak cukup hanya meminta penurunan tarif dan harga avtur saja. Keduanya, menurut Faisal, perlu bersikap transparan terhadap struktur biaya yang dihadapi sehingga penentuan tarif yang dilakukan tidak menimbulkan prasangka di kemudian hari.
Sebab, ia mengkhawatirkan bila penurunan tarif yang dilakukan kilat itu tidak bertahan lama dan malah kembali bergejolak usai pilpres pada April 2019 nanti, maka dapat menimbulkan ketidakpercayaan investor yang membutuhkan kepastian dalam dunia usaha.
“Kalau temporer, investor akan masih wait and see. Gimana ini bisa diselesaikan (gejolaknya). Kalau berlarut-larut bisa mengganggu investor yang ingin masuk ke sektor-sektor ini,” ucap Faisal.
“Jadi tidak bisa dipaksakan harus diperhitungkan betul-betul,” kata Faisal menambahkan.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Sudrajat mengatakan naik-turunnya harga tiket ini memang sedikit banyak memengaruhi sektor pariwisata dan lainnya. Apalagi sektor perhotelan dan restoran yang cukup ketergantungan terhadap jumlah orang yang melakukan perjalanan baik wisata maupun bisnis.
“Ya tentu sedikit banyak ada pengaruhnya. Bukan hanya terhadap pariwisata, melainkan sektor-sektor lain,” ucap Sudrajat saat dihubungi reporter Tirto.
Sementara Ketua Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto enggan menanggapi hal ini. Ia mengatakan asosiasinya sudah melakukan sesuai dengan aturan dan hukum yang diatur pemerintah mengenai tarif.
“Kami sudah sesuai dengan aturan dan hukum batas atas dan bawah. Sesuai hukum permintaan,” ucap Bayu saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (29/3/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz