Menuju konten utama
Misbar

My Happy Marriage, Saga "Cinderella" Tak Biasa di Jepang Abad 19

Penonton diajak menyusuri kisah romansa yang tak biasa di Jepang abad ke-19. Terkadang kisahnya biasa saja, tapi penuh ancaman mengintai.

My Happy Marriage, Saga
Header Misbar My Happy Marriage. tirto.id/TIno

tirto.id - My Happy Marriagesebetulnyabukanlah jenis tontonan yang biasa saya saksikan. Meski begitu, episode perdananya cukup memancing ketertarikan saya lantaran menyiratkan kisah romansa yang tak biasa. Caranya memelihara rasa penasaran lantas jadi poin penting yang kelak terus dimainkan pada setiap episode dalam season pertamanya ini.

My Happy Marriage ialah serial anime arahan sutradara Takehiro Kubota, sekaligus jadi salah satu judul terkini garapan studio Kinema Citrus (studio di balik serial Made in Abyss). Menyusul manga dan film live-action yang telah lebih dulu dirilis, serial yang ditayangkan di Netflix ini merupakan medium adaptasi terbaru dari light novel berjudul sama yang ditulis oleh Akumi Agitogi dan diilustrasikan oleh Tsukiho Tsukioka.

Visualnya penuh warna lembut dengan art style yang tampak ditujukan untuk demografi shōjo (walaupun sejatinya bisa disaksikan berbagai golongan penonton). Anime ini mengambil latar Jepang era Restorasi Meiji pada abad ke-19 di saat makhluk halus (spirit) dan sihir jamak ditemukan.

Di sana, Miyo Saimori (disuarakan Reina Ueda) lahir tanpa kekuatan supranatural dan karenanya diperbudak oleh keluarganya, terutama ibu dan saudari tiri yang opresif. Tak ada yang betul-betul baru sejauh itu. Sampai kemudian, perempuan muda lagi rendah diri itu dijodohkan dengan Kiyoka Kudou (Kaito Ishikawa), seorang bangsawan sekaligus komandan tentara yang intimidatif.

Rekam jejaknya perkara cinta pun sepenuhnya buruk. Seluruh perempuan yang dijodohkan dengannya minggat hanya dalam hitungan hari.

Hadirnya dorongan untuk menyaksikan plot dari-benci-jadi-cinta atau naratif soal luluhnya hati sosok tsunderebarangkali yang membuat saya bertahan menontonnya. Namun, alasan saya hingga akhirnya menyelesaikan 12 episodenya tak lain karena My Happy Marriage ialah kisah romansa yang pantas.

Trauma Dibalut Supranatural

Tutur lembut vokal Reina Ueda sekalian menarasikan kisah karakternya, Miyo yang setiap saat terdengar sangat rapuh, memicu simpati, tapi juga tak pernah berlebihan. Desain karakternya pun sepenuhnya menyerupai karakter yang perlu dilindungi.

Sangat mudah untuk berpihak kepada Miyo sedari awal. Seorang underdog tak berdaya lantaran dihadapkan pada para antagonis seperti ibu tiri dan saudari tiri yang one dimensionalnggak ada obatnya. Mereka sepenuhnya lalim terhadap Miyo kapan pun mereka muncul di layar dengan dialog-dialog klise antagonis.

Kekejian yang berulang tak pelak menghadirkan trauma pada diri Miyo. Itu bikin dia merasa tak berharga sama sekali, berulang-ulang memohon maaf pada hal yang tak perlu, dan memenuhi malam-malamnya dengan mimpi buruk. Menariknya, poin terakhir tak melulu soal PTSD-nya Miyo semata, melainkan terkait dengan dunia yang dia tinggali.

Pemilihan Jepang dua abad silam sebagai latar jadi terlihat masuk akal. Jepang masa lalu jadi panggung yang tepat untuk menegaskan lebih banyak lapisan pada plot yang hendak dituju My Happy Marriage.

Ini latar waktu yang tepat untuk mengangkat soal perjodohan yang bakal menyeret lebih banyak intrik lain, semisal persaingan antarkeluarga terpandang. Perjodohan atau pernikahan berlatar kepentingan politik dan ekonomi jadi pemandangan umum belaka di saat itu.

Ini juga adalah waktu saat hubungan antarkeluarga bisa terputus karena satu pernikahan yang tak berjalan lancar. Juga masa yang tepat untuk mengangkat tema peran perempuan di ranah sosial. Kiyoka Kudou, misalnya, menjelma sosok yang defensif gara-gara seluruh perempuan yang dijodohkan dengannya semata datang karena mengincar status sosial sebagai elite, alih-alih cinta. Sedangkan kakak perempuannya, Hazuki Kudou, justru diceraikan atas tekanan keluarga suaminya lantaran dianggap “tak bisa apa-apa” sebagai seorang istri.

Naratifnya kian menebal lantaran dunia yang sama ialah dunia supranatural. Perjodohan jadi erat kaitannya dengan menjaga garis keturunan yang punya kemampuan magis hebat. Yang tersisihkan bakal melawan, mencari segala cara untuk (lagi-lagi) menyasar kekuatan—terlebih karena Miyo sendiri nyatanya punya kemampuan dahsyat warisan keluarganya yang bahkan sanggup bikin Kaisar Jepang saat itu mendengki.

Segala kekuatan supranatural nyatanya tak disertakan dari awal, seakan jadi pelengkap untuk kisah Miyo. Aksi yang melibatkan kemampuan demikian baru benar-benar dihadirkan pada episode ketiga. Kisah romansa yang semula terkesan biasa tiba-tiba dimeriahkan oleh hadirnya pirokinetis, telekinetis, hingga kemampuan menghilang dan masuk ke alam mimpi.

Sesekali, duel atau pertempuran seru terjadi dan cukup menghibur di sana-sini. Seluruhnya diberdayakan untuk menopang penceritaan Miyo, tak hanya sebagai perempuan yang mesti bangkit dari keterpurukan, tapi juga selaku sosok yang diberkahi kekuatan dream-sight.

Ketika Miyo merengkuh kekuatan supranaturalnya untuk pertama kali, dia mesti menghadapi masa lalunya dalam imaji simbolis jeratan akar jalar berduri. Itu titik krusial dalam kebangkitannya mengatasi trauma, pengabaian, dan kegagalan menilai diri dengan pantas.

Momen yang sama lantas jadi yang terbaik dalam naratif ini. Miyo mampu bangkit bukan hanya karena kekuatan super yang mendadak aktif, tapi juga berkat adanya support system yang memadai dari orang-orang terdekatnya.

Untuk tiba di titik itu, romansa yang jadi tulang punggung cerita bisa dikedepankan. Cinta bukannya jadi sekadar gol. ia bisa jadi jalan untuk menolong orang terkasih. Penerimaan yang pantas terhadap Miyo telah hadir pada sepertiga awal season.Lalu apa lagi? Menjaga dan memberdayakan penerimaan itu sebagai upaya melawan kesusahpayahan.

Kesinambungannya diperlukan Miyo untuk melintasi perjuangan mahaberat sebelum jadi sosok yang lebih siap menghadapi badai.

Cinta juga, di dunia yang menempatkan kekuatan sebagai nilai tertinggi, rasanya jadi benda asing. Kendati ditulis bagai kisah romansa kebanyakan, di sini cinta hadir dalam banyak wajahnya; entah berbalut motif simpati, kenyamanan dengan pasangan, maupun penyerahan diri usai hidup yang ambruk.

Afeksi disampaikan dalam momen-momen menggemaskan (mungkin sanggup bikin sebagian wajah penonton ikut bersemu merah) dalam penceritaan manis yang tak jarang romantis dan wholesome. Di saat yang sama, ancaman terbaru selalu mengintai dan makhluk-makhluk gaib nan buas dibangkitkan dari kubur oleh mereka yang dibutakan kekuasaan.

Cinderella yang Menjelma Sesuatu yang Baru

My Happy Marriage hadir dengan konklusi happy ending, sejauh ini. Ancaman lain, sekalian untuk kisi-kisi season keduanya kelak, bahkan belum dihadirkan.

Struktur penceritaan berhasil dimainkan dengan baik untuk membangkitkan karakternya sekalian mengelevasi naratifnya. Kisah happily ever after serupa Cinderella malah dijadikan pembuka di sini. “Tontonan kesengsaraan” menjelma bumbu dalam menampilkan kisah romansa dalam dunia yang cukup distingtif.

Ia berdenyut lambat sepanjang serial bergulir, cukup berhati-hati dalam set up jalinan plotnya. Seolah menyesuaikan dengan lemah-lembutnya Miyo. Ditunjang score berupa sayup-sayupnya denting piano melankolis yang berubah jadi orkestrasi megah pada momen-momen krusial arahan komposer Evan Call. Tak lupa lagu pembuka"Anata no Soba ni" oleh Riria yang memikat pula memberikan kesan bahwa serial mengarah ke arah yang cukup optimis.

Ketenangan jadi elemen yang diterapkan ke banyak titik, sukses menyerapmu dalam episode-episode yang terkesan “tak-terjadi-apa-apa”. Betul, ada episode-episode yang seolah hanya perkara Miyo beli kimono atau sekadar belajar etiket dalam menjadi seorang bangsawan. Itu adalah kisah-kisah yangbiasa pada mulanya, tapi biasanya disusul dengan bahaya atau poin plot yang mengintai pada setiap ujung episodenya.

My Happy Marriage juga ditopang visual dan art style cantik yang diamplifikasi dengan warna yang kian semarak saat serial menuju arah-arah yang fantastis. Ia terkesan punya animasi yang “cukup mewah”, terlebih mantap lagi pada adegan-adegan aksi atau bahkan dalam detail—semisal memberikan para karakternya bola mata penuh warna.

Sebagai kisah cinta, terdapat semacam love interest lain untuk Miyo. Idenya tak terasa benar-benar baru, tapi cukup unik.

Cenderung menekankan pada ihwal manisnya permulaan romansa pula seriusnya urusan-urusan yang membelitnya, bikin serial ini tak punya banyak tempat untuk banyak humor. Meski begitu, ia masih muncul tipis-tipis saja berkat ulah Yoshito Godou, bawahan Kiyoka yang kuat-tapi-iseng.

Saya belum menemukan karakter antagonis yang betul-betul mendalam sejauh ini. Makhluk gaib serupa grotesquerie pun terkesan tak terlalu mengancam, sekadar cukup untuk mendekor fondasi kisah yang baru saja bermula. Itu barangkali juga untuk mempertegas bahwa ancaman-ancaman terbesar selalu datang dari manusia.

My Happy Marriage cukup untuk memikat para penonton baru meraih light novel ataupun manga-nya, pula cukup sebagai anime yang berdiri sendiri. Mengingat serial ini sudah diperbarui untuk season keduanya, akan menarik untuk melihat arah kisah ini ke depannya.

Apakah ia bakal tetap semanis—juga sepahit—season pertamanya ini? Akankah kisah Miyo dan Kiyoka tetap penuh kebahagiaan sebagaimana judulnya? Kalaupun iya, akan menarik untuk mendapati langkah-langkah penceritaan seperti apa yang bakal ditempuh untuk bikin kisah ini tetap mengesankan.

Baca juga artikel terkait ANIME atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi