Menuju konten utama
Made in Abyss Season 2

Awas, Dunia Abyss Selalu Punya Cara untuk Mengejutmu

Di season keduanya ini, saga Made in Abyss berfokus pada lapisan keenam Abyss. Masih mempertahankan formula naratif season sebelumnya.

Awas, Dunia Abyss Selalu Punya Cara untuk Mengejutmu
Made In Abyss. wikimedia commons/free

tirto.id - Saya pikir saya sudah lebih siap selepas menonton season pertama serial anime Made in Abyss dan lalu filmnya. Namun, anime ini rupanya selalu punya cara untuk mengejutkan.

Season kedua anime ini dijuduli Made in Abyss: The Golden City of the Scorching Sun.Iakonon meraup lebih sedikit penonton dan kian jarang dibincangkan ketimbang judul-judul terdahulunya. Selain karena sifatnya sebagai sekuel, sepertinya ada faktor-faktor lain yang membuatnya begitu. Mungkin karena ending musim pertamanya yang terkesan “tuntas”, frekuensi rilis manga-nya yang lamban, ataupun penonton yang memang tak lagi meminatinya—mungkin juga lantaran tak rela lagi disiksa psikisnya lebih lanjut.

Perubahan format juga bisa jadi faktor lainnya. Ia tayang perdana dalam bentuk serial 13 episode pada 2017 lalu sekuelnya rilis dalam format film tiga tahun kemudian. Lalu pada 2021, musim kedua anime ini rilis kembali dalam format serial.

Made in Abyss: The Golden City of the Scorching Sun masih digarap oleh Kinema Citrus, disutradarai oleh Masayuki Kojima, dan ditulis naskahnya oleh Hideyuki Kurata. The Golden City of the Scorching Sun mengkover chapter 39-60 manga seinen berjudul Made in Abyss karya mangaka Akihito Tsukushi.

Seperti dua pendahulunya, di balik keelokan visual, konstruksi dunia yang bikin takjub, dan keriangan petualangan anak-anaknya, The Golden City of the Scorching Sun tetapberlimpah siksaan psikis dan boleh dikata makin aneh lagi.

Tak Pernah Lebih Aneh

Sesiap apapun saya, The Golden City of the Scorching Sun tetap punya cara untuk mengejutkan. Kehadiran karakter-karater barunya malah digunakan untuk menggebrak. Tanpa banyak ba-bi-bu, season ini diawali dengan bejatnya penyimpangan seksual.

Itu belum lagi menghitungselingan adegangoresemacam badan terbelah dan usus terburai, lalu kematian karakter anak-anak lagi, dan masih pula dilanjut dengan kejadian-kejadian yang lebih buruk daripada kematian.

Alih-alih menyorot petualangan karakter utama Riko (disuarakan Miyu Tomita), Reg (Mariya Ise) dan Nanachi (Shiori Izawa), The Golden City of the Scorching Sun dimulai dengan pengenalan banyak karakter baru. Mengambil waktu jauh di masa lalu, ia berpusat pada kumpulan orang buangan yang tergabung dalam korps bernama Ganja yang hendak mencari kota emas di dasar Abyss—lubang kolosal berlapis yang menjadi latarbagi saga ini.

Sementara itu, Tim Riko kini telah berhasil mencapai lapisan keenam Abyss usai menembus lautan mayat dari dalam elevator berbentuk bola. Lapisan keenam adalah latar yang terang seakan punya matahari sendiri. Penonton juga diperlihatkan bangunan-bangunan yang seolah mengambang di udara lalu bercampur dengan kristal menjelma fosil. Itu adalah dunia lama yang belum terjelaskan sepenuhnya.

Seluruh season berlangsung di Desa Iruburu yang dihuni para narehate (hollow). Di awal, desa ini tampak damai. Kesan itu juga makin dikuatkan oleh obrolan dan kegiatan ringan nan santai di antara para karakter.

Namun, dalam Made in Abyss, atmosfer cerah macam demikian jelas patut dicurigai. Pasalnya, kehadiran karakter baru atau makhluk berwujud menggemaskan lazimnya selalu diikuti ancaman. Penonton yang telah mengikuti serial anime ini sejak awal juga pasti sadar bahwa ia selalu memanfaatkan naluri alami manusia untuk melindungi anak kecil untuk memberikan efek emosional berlipat.

Tema-tema seperti soal jiwa, materialisme, dan religiusitas yang saling terikat satu sama lain juga masih diusung. Itu semua malah dijelajahi lebih jauh dan kian aneh lagi. Konsep tentang “harta” personal serta nilainya, misalnya, memiliki kaidah tersendiri di desa ini. Begitu pun cara mengonversinya menjadi sebuah valuta.

The Golden City of the Scorching Sun juga kembali menghadirkan antagonis yang mengesankan. Ia adalah individu yang terus berulah sampai akhir dan bahkan tetap terasa dampaknya meski sudah mati.

Karakter Wazukyan dengan ramalan-ramalan dan aura kenabiannya, diimbangi ambisi menemukan kota emas sekalian tempat untuk orang-orang terbuang, konsisten mengangkut tema-tema pokok dalam seri ini. Dia sosok yang pragmatis dalam melindungi kelompoknya, tapi juga bisa menjelma sebagai orang dewasa yang sampai hati menyakiti anak-anak.

Made in Abyss setidaknya tak hanya punya satu senjata untuk melukai penontonnya. Ia berhasil membuat perkelahian Reg kontra Faputa setara menyakitkannya dengan sederet tragedi yang menimpa karakternya. Dengan arah cerita yang tak bisa betul-betul diduga, The Golden City of the Scorching Sunmenyuguhkan sensasi petualangan emosional bagi penontonnya.

Infografik Misbar Made In Abyss

Infografik Misbar Made In Abyss. tirto.id/Quita

Kegelapan yang Hangat

Abyss selalu lebih aneh dari mimpi saat demam pun lebih keji dari mimpi buruk. Meski demikian, tetap ada optimisme dan kehangatan di tengah suramnya dunia Abyss.

The Golden City of the Scorching Sunmasih memakai struktur naratif serupa season pertama. Selalu ada ketenangan sebelum badai mengamuk. Temponya agak lambat di paruh pertamaseason, lantas terus menanjak melaju menyebarkan luka-luka sampai episode finale yang durasinya juga dua kali lebih panjang.

Latar lokasinya yang tak berubah membuat season ini lebih fokus. Konsep dan sistem yang berlaku di lapis keenam Abyss pun dapat diterangkan secara lebih mendalam. Meski banyak halberhasil disingkap, tetap ada misteri yang tersembunyi (salah satunya, bagaimana penamaan karakter Reg).

Di antara banyaknya hal yang diungkap, masih terdapat beberapa hal yang terkesan diringkas atau dipercepat. Itu barangkali karena saking banyaknya aspek yang lebih perlu dijelaskan. Tak ada penjelasan berarti bagaimana Irumyuui menciptakan Juroimoh, misalnya.

Dari segi penulisan, terdapat pemencaran karakter utama yang terasa dipaksakan. Menghidupkan lagi trauma yang menghantam Nanachi, misalnya, seolah jadi formulaik dan terkesan diulang-ulang. Begitu pun “keterpaksaan” Reg menghadapi Faputa yang bisa dibaca sebagai upaya memutar-mutar plot agar lebih menyakitkan.

Kita juga lagi-lagi disuguhi akhir dari antagonis yang tak benar-benar menerima pembalasan setimpal. Di lain sisi, hal itu masih bisa dibaca sebagai cara “kreatif” untuk memperdalam kesan jengkel dalam benak penonton. Penulisan kisah hidup Irumyuui dan Vueko pun agaknya dibuat untuk makin mengguratkan empati.

Saat terasa sedikit kemenangan pun, naratifnya masih menyisakan kesengsaraan, mensahihkan ketragisan yang dilekatkan pada kisah hidup beberapa karakter.

Poin-poin plotnya memang bisa dipertanyakan. Namun, semuanya setidaknya dirakit dengan rapi ke dalam naratif serta digunakan untuk mempertegas motif para karakter utamanya.

Label kreatif” agaknya juga bisa disematkan pada pembangunan dunianya; untuk konsep dan sistem yang sekilas terkesan tak keruan, tapi sangat mendetail. Jugauntuk desain makhluk, dari narehate yang paling sederhana hingga Turbinid Dragon yang rumit.

Mencekam sekaligus melegakannya lantunan “Hanezeve Caradhina” masih menyelinap di momen-momen paling menentukan, diikuti sederet scoredansoundtrack lainnya gubahan Kevin Penkin yang makin megah dan berwarna.

Voice acting berkesan datang dari segala penjuru, baik dari mereka yang karakternya didesain tak ekspresif seperti para narehate atau gemas-sekaligus-liarnya Misaki Kuno sebagai Faputa. Satu yang paling menonjol datang dari rapuhnya suara Yuka Terasaki sebagai Vueko, yang seakan selalu berada di ambang penghabisan.

...

Sekali lagi, saya pikir saya sudah lebih siap menonton kelanjutan Made in Abyss. Selepas menyaksikan bagaimana One Piece menyajikan backstory karakter-karakternya, sesudah Grave of the Fireflies, juga seusai mengikuti dua judul terdahulu Made in Abyss. Namun, sekebas apa pun, ujung-ujungnya saya tetap tersentuh dengan penulisan setiap karakter dalam serial anime ini.

Untungnya, cara Made in Abyss menguliti karakternya memberikan kedalaman yang substansial sebelum memberikan sorotan lebih banyak pada mereka di kemudian hari. Sialnya, anime ini memang sanggup menghadirkan, semacam katarsis sekecil apapun. Bisa jadi sebagai bentuk pertahanan, tapi saya mulai membaui kisah ini bakal berakhir lebih tragis.

Entah apa lagi yang bakal ada di depan. Yang pasti, selama Made in Abysstetap mempertahankan standar seperti ini, saya rasanya bakal terus menonton kiprah Riko, Reg, Nanachi, dan Faputa menerobos perut bumi yang penuh petaka dan menyongsong kebrutalan lain lagi.

Baca juga artikel terkait SERIAL ANIME atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi