Menuju konten utama
Made in Abyss Season 1

Menyoal Hasrat Eksplorasi Manusia nan Horor Sekaligus Indah

Di balik tampilannya yang cerah, Made in Abyss menyajikan petualangan nan horor sekaligus indah.

Menyoal Hasrat Eksplorasi Manusia nan Horor Sekaligus Indah
Made In Abyss. wikimedia commons/free

tirto.id - Selama menonton anime ini, kau mungkin bakal kehabisan stok air mata atau bahkan mual. Bisa jadi juga naik pitam. Lebih buruk lagi, kau barangkali selamanya terkenang pada detail-detail yang membubung membungkus benak sebagai trauma.

Made in Abyss,demikian judul anime yang saya maksud,saya dapati semata dari hasil pencarian dengan kata kunci "manga/anime seputar pertambangan". Di antara rentetan rekomendasi yang muncul kemudian, posternya adalah yang paling mencolok. Pun tampak riang dan cerah dengan dua karakter anak berlarian di dunia yang penuh warna.

Tanpa peringatan apa pun—entah sinopsis, trailer, premis, blurb—saya terjun lalu amblas di dalamnya. Anime ini ternyata sama sekali bukan soal pertambangan, tapilebih mirip kutukan yang memilukan. Barangkali juga berkah, karena saya mampu untuk “kembali” dan menulis resensi ini—berikut juga melanjutkan nonton sekuel-sekuelnya.

Ia aneh lantaran sisipan adegan-adegangore, tak jarang disturbing, tapi juga bukan main indah dan sesekali hangat. Iabicara ihwal kemurnian rasa penasaran anak-anak dan hasrat manusia menjelajah dunia. Bahwa perasaan-perasaan terbaik dalam hidup acapkali baru bisa tercapai usai proses yang menyakitkan.

Made in Abysssemula adalah manga seinen karya Akihito Tsukushi yang dipublikasikan oleh Takeshobo. Animenya—yang tengah kita bicarakan ini—diproduksi oleh studio Kinema Citrus dan dirilis pada 2017 lalu. Masayuki Kojima duduk sebagai sutradaranya, sementara naskahnya ditulis Hideyuki Kurata.

Sebagai alih wahana, season perdana animeMade in Abyss mengkover volume 1 sampai 3 manga-nya. Ia tidak sepenuhnya menerapkan gambar-gambar penuh garis dan shading yang khas dari sumber aslinya. Namun setidaknya, animenya dihadirkan dengan animasi yang mulus.

Para kreatornya juga mempertahankan art styleAkihito Tsukushi yang sekilas kekanakan berikut nuansa folklorik dengan warna-warna menenangkan laiknyarilisan studio Ghibli.

Itulah faktor-faktor yang sanggup membuat saya bertahan mengikuti petualangan Riko dan Reg menembus perut bumi.

Eksplorasi Jurang, Eksplorasi Emosi

Riko (disuarakan oleh Miyu Tomita) ialah remaja perempuan berusia 12 tahun yang tinggal di panti asuhan di Kota Orth. Seperti kebanyakan karakter utama, dia riang, menggemaskan, optimis, dan sampai tahap tertentu terikat trope “bocah terpilih”. Minim kemampuan fisik yang esensial untuk penjelajahan, Riko dipertemukan dengan sesosok cyborg (atau boneka mekanis, atau robot) bocah laki-laki lupa ingatan. Riko lalu menamainya Reg.

Dengan kombinasi wawasan dan brute force, lemah-tapi-berani dan kuat-tapi-penakut, keduanya lantas saling mengisi. Mereka juga menguatkan motif satu sama lain—Riko hendak mencari ibunya, sementara Reg mencari jati dirinya. Mereka jadi tim dalam pengembaraan menuju dasar lubang kolosal nan misterius alias Abyss.

Sedari mula, Made in Abyss menampilkan gagasan yang mencemaskan: mengirim anak-anak menuju lubang yang pada dasarnya serupa neraka.Semakin ke dalam, semakin tak terpahami dan kian bengis siksaan menanti.

Di season pertama ini, para kreatorMade in Abyss terbilang sukses mendirikan fondasi kokoh. Penonton diajak untuk menyiapkan diri untuk formula keji-menjijikkan yang bakal tersaji ke depan. Ia sekalian memberi penjelasan tentang dunia tempat saga ini berlangsung.

Di atas permukaan, penonton diajak menelusuri dunia dengandesain Abad Pertengahan Eropa yang sebenarnya cukup generik. Namun, dunia permukaan bukanlah medan sesungguhnya untuk petualangan Riko dan Reg. Dunia bawah alias Abyss-lah panggung sejatinya.

Abyss “dibangun” berlapis-lapis seperti neraka dalam adikarya Dante Aligheiri. Level bahayanya bakal semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman Abyss. Level bahaya juga ditengarai dengan desain antarlapisan yang distingtif, para makhluk yang creepy lagi variatif, keanehan fungsi relik dari dunia kuno, dan ekosistem yang berjalan dengan cara yang sangat berbeda ketimbang dunia permukaan.

Perlahan tapi pasti, kemisteriusan itu memerangkap. Kecantikan dan marabahaya Abyss menciptakan hasrat. Ia amat memikat bagi para cave raiders (atau delvers), bahkan menjadi habitat bagi sebagian mereka yang merengkuhnya.

Abyss juga dunia di mana penghuninya tak punya konsep soal tuhan. Abyss menjelma proyeksi manusia terhadap hasrat dan ketakutan. Kedalaman dan rahasianya ditakuti sekaligus diimani.

Riko si bocahsebenarnya paham betul dampak berat yang menunggunya kala menjelajahi Abyss. Namun, itu tak pernah cukup untuk menghentikannya. Untuk beberapa waktu, gairah tualang jadi menyerupai kepercayaan buta laiknya agama.

Tema “religius” itu lantas disandingkan dengan “materialisme”. Kepercayaan pada relik-relik dalam Abyss jadi ketamakan. Mereka yang sanggup mengumpulkan relik-relik paling langka lantas jadi sangat dihormati. Para delvers pada level-level teratas lalu dikultuskan dan dirayakan.

Made in Abyss hanya punya plot tunggal dan ia disajikan secara linear—sebagian besar screentime digunakan untuk menyoroti petualangan Riko dan Reg. Struktur demikian memungkinkan penonton lebih mudah mencerna kisahnya—juga sangat cocok dijadikan gim video.

Menuruni Abyss jelas tak seenteng menginjakkan kaki di eskalator. Riko dan Reg dengan cepat kewalahan bertahan hidup. Ada kalanya, hambatan yang mereka hadapi jauh melampaui kemampuan mereka. Di saat seperti itu, masuklah karakter-karakter penghuni ceruk-ceruk Abyss.

Kisah-kisah mereka bahkan bisa lebih aneh, absurd, dan horor ketimbang makhluk endemik Abyss. Rupanya, tinggal di bawah tanah dalam waktu yang lama sanggup mendisorientasi siapa pun. Yang dewasa bakal mengusung kepribadian yang janggal (seperti Ozen) dan karakter anak-anak (seperti Nanachi) lazimnya bakal tetap memilik sejumput optimisme di dalam muramnya Abyss.

Eksplorasi jurang misterius rupanya hanyalah pembuka untuk eksplorasi emosional yang lebih mendalam. Pun kebanyakan menggunakan eksploitasi anak sebagai senjatanya.

Dari sana, muncul apa yang membuat Made in Abyss jadi Made in Abyss. Karakterisasi mendalam dengan backstory kelam, juga pemaparan adegan yang sanggup bikin ternganga. Menyimpulkannya sebagai “menggugah” saja rasanya tak cukup. Ini adalah panggung eksekusi penuh boneka.

Infografik Misbar Made In Abyss

Infografik Misbar Made In Abyss. tirto.id/Quita

Menyakitkan, tapi juga Memulihkan

Made in Abyss dikawal oleh score gubahan komposer Kevin Penkin.Ia kadang menguarkan nuansa ceria, tapi acap pula kontemplatif dan menegangkan. Lantas satu komposisi khusus menyeruak. Kerap berulang menyelinap pada momen-momen monumental. “Hanezeve Caradhina”, demikian judul komposisi Penkin yang dinyanyikan Takeshi Saito itu.

Saat pertama kali muncul, Hanezeve terdengar janggal. Ia serupa chant atau bahkan hopelandic-nya Sigur Rós. Dua-tiga kali kemudian, ia tetap tak bisa dimengerti, tapi makin terasa bagai godam yang diayunkan menuju ulu hati.

Saito melolong, memekikkan lirik dalam bahasa rekaan seiring aransemen nan magis. Ia seakan senapas dengan Abyss itu sendiri. Horor sekaligus menawan, ia layak menjadi anthemuntuk anime ini.

Selain score dan soundtrack, elemen-elemen penopang terbaik anime ini juga tersebar merata. Mulai dari desain dunia dan makhluk yang Lovecraftian, desain para karakter yang kebanyakan berwajah simpel tapiberkostum mencolok, dialog-dialog yang tepat guna, dan pastinya voice acting memukau.

Sayaka Ohara sebagai voice actor Ozen jadi salah satu yang paling menonjol. Dia sukses membawakan aura karakter yang lama terisolasi. Begitu pun Shiori Izawa sebagai Nanachi yang tak bisa lebih tepat lagi. Dan tentunya kredit untuk kedua voice actor karakter utamanya yang sanggup untuk ceria, tapi juga intens menggaungkan kepiluan pada momen-momen krusial.

Namun, Made in Abyss bukannya tanpa cela. Dari segi tempo, misalnya, ia terasa dipercepat di beberapa momen—mungkin untuk meringkas versi manga-nya. Pada satu waktu, ia menampilkan “Forest of Temptation”, sebuah konsep yang jamak digunakan pada kisah-kisah fantasi. Namun sayangnya, itu tak dieksplorasi lebih lanjut—tak ada godaan apa pun, tak sesuai namanya.

Made in Abyss juga sesekali terasa inappropriate. Seakan tak cukup puas dengan siksaan yang dialami anak-anak, humor-humor seksual pun sesekali dimunculkan—meskipun bisa saja dikaitkan dengan kepolosan para karakternya, anak-anak remaja. Adegan-adegan disturbing, meski bukan sepenuhnya kekurangan, mungkin bakal seterusnya menghantui mereka yang sensitif.

Permulaannya yang lambat bisa dimaklumi, meski rentan jadi tak cukup manarik bagi mereka yang tak sabaran. Namun secara keseluruhan, temponya bisa dibilang pas, perlahan menjerumuskan.

Poster berupa imaji ceria anak-anak remaja dan petualangannya seakan jadi jebakan. Itu jadi pelajaran bagi penonton seperti saya untuk tak menilai anime dari sampulnya. Namun, tanpa humor dan kecerahan sesekali dan tone ringan di banyak segmen, Made in Abyss bakal makin terperosok ke dalam jurang niche.

Untungnya, season perdananya ini berakhir dengan penutup yang terasa-sebagai-ending-padahal-belum. Ada kelegaan dan resolusi, menyiratkan bahwa kendati naratifnya disusun untuk menyakitkan, tapi juga ada upaya memulihkan. Bahwa petualangan masih berlanjut, tapi juga tiada masalah bila kau tak sanggup lagi.

Ia mungkin bakal tinggal menjadi hantu, menjelma trauma, tapi saya sama sekali tidak menyesal. Lantaran sebagai manifestasi rasa penasaran manusia, Made in Abyss adalah wujud terbaiknya.

Baca juga artikel terkait ANIME atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi