tirto.id - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro membenarkan mutasi virus corona tipe D614G telah ditemukan di Indonesia. Mutasi D614G ditemukan pada sejumlah kasus Covid-19 di sejumlah daerah, yakni Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, Jakarta dan Bandung.
"Dari 24 whole genom sequencing [pengurutan genom utuh] yang disampaikan oleh Indonesia kepada GISAID, 9 mengandung mutasi D614G yaitu dua dari Surabaya, tiga dari Yogyakarta, dua dari Tangerang dan Jakarta, dan dua dari Bandung," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (9/2/2020) seperti dilansir Antara.
Menurut Bambang, dari sembilan Whole Genom Sequencing (WGS) mutasi D614G yang dilaporkan Indonesia kepada GISAID, satu di antaranya terkategori dalam clade GR dan berasal dari Jakarta. Delapan WGS lainnya dari luar Jakarta dan termasuk dalam kategori clade GH.
Dia menambahkan, Indonesia telah melaporkan 34 sekuens genom virus corona ke GISAID. Global Initiative on Sharing All Influenza Data atau GISAID adalah organisasi nirlaba internasional, yang mempelajari genome virus flu dan corona. Dari 34 sekuens yang dikirim ke GISAID, hanya 24 yang dianalisis lebih lanjut oleh lembaga itu karena sudah memenuhi syarat sebagai WGS.
Adapun 24 WGS dari Indonesia yang dilaporkan ke GISAID berasal dari riset Universitas Gadjah Mada (4); LIPI (2); ITB yang bekerja sama dengan Unpad dan laboratorium kesehatan Jabar (2); Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (10); Unair (6).
Sehari sebelumnya, Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM, dr. Gunadi juga sudah menyatakan bahwa timnya menemukan 3 isolat di Yogyakarta dan Jawa Tengah mutasi virus corona tipe D614G. Kata dia, data itu sudah dilaporkan kepada GISAID. Total ada 9 isolat dari Indonesia yang dilaporkan ke GISAID terbukti memuat mutasi D614G.
Namun, data mutasi D614G dari Indonesia baru sebagian kecil dari total laporan yang disampaikan oleh negara lain. Gunadi mencatat 77,5 persen dari 92.090 isolat yang masuk dalam pendataan GISAID terdeteksi memuat mutasi D614G, demikian dilansir laman resmi UGM.
Sementara itu, menurut pakar Biomolekular dari Universitas Airlangga (Unair) Profesor Ni Nyoman Tri Puspaningsih, tim peneliti dari kampusnya malah menemukan dua tipe mutasi virus corona di Surabaya. Selain tipe D614G, mutasi tipe Q677H juga terdeteksi.
"Jadi selain mutasi D614G, ada strain virus yang baru ditemukan di Surabaya. Mutasi tipe Q677H sama seperti tipe D614G yang sekarang sedang dibicarakan di berbagai negara," ujar Puspaningsih pada 1 September kemarin.
Menurut Puspaningsih, fakta bahwa mutasi tipe D614G ditemukan pada 77,5 persen data virus di GISAID menunjukkan bahwa strain ini sudah menyebar ke banyak wilayah di dunia dengan cepat. Sedangkan data mengenai mutasi tipe Q677H, belum banyak tersedia, karena baru ditemukan di Surabaya.
"Ini [tipe Q677H] baru pertama ditemukan di Surabaya. [..] Data Indonesia masih sangat sedikit. Mutasi ini belum tentu ada di tempat lain, atau di wilayah lain di Indonesia belum ditemukan," ujar Wakil Rektor I Unair tersebut.
Dampak Mutasi Corona D614G: Lebih Menular?
Dugaan bahwa mutasi tipe D614G membuat daya penularan virus corona 10 kali lebih tinggi masih diperdebatkan. Dugaan itu mencuat saat otoritas kesehatan Malaysia mengumumkan penemuan mutasi itu di negara jiran Indonesia tersebut, pada pertengahan Agustus 2020. Mutasi serupa juga telah ditemukan di Singapura dan Filipina beberapa pekan lalu.
Sementara menurut Menristek Bambang Brodjonegoro, hingga kini belum ada bukti ilmiah yang memastikan bahwa mutasi D614G yang menyebabkan penyakit COVID-19 menjadi lebih ganas dan menular. Kata Bambang, kementeriannya telah mengonfirmasi hal itu kepada Presiden GISAID.
"Yang disampaikan oleh Presiden GISAID bahwa tidak ada bukti atau belum ada bukti virus ini lebih ganas dan berbahaya. Jadi saya ulangi lagi tidak ada atau belum ada bukti yang menyatakan bahwa mutasi D614G ini lebih ganas atau lebih berbahaya," kata Bambang dalam konferensi pers virtual di Jakarta pada Rabu (2/9/2020).
"Belum ada bukti, [pengaruhnya] baik terhadap penyebaran maupun keparahan penyakit COVID-19," Bambang menambahkan.
Sedangkan Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM, dr. Gunadi mengatakan mutasi D614G memiliki daya infeksius hingga 10 kali lebih tinggi. Namun, Gunadi menegaskan bahwa daya infeksius yang tinggi ini ditemukan dalam sel bukan pada manusia atau komunitas.
"Tingkat infeksius penelitian ini pada tingkat sel bukan pada manusia atau komunitas," ujar dia.
Mengutip laporan Reuters pada 18 Agustus 2020 lalu, konsultan senior dari National University of Singapore dan presiden International Society of Infectious Diseases, Paul Tambyah menyebut ada indikasi mutasi virus corona tipe D614G tidak berarti hal buruk.
"Mungkin mutasi ini hal baik, ada virus corona yang lebih menular, tapi tak terlalu mematikan," kata dia.
Tambyah berpendapat demikian karena mayoritas virus cenderung berkurang keganasannya saat bermutasi. Tambyah menerangkan, ketika sebuah virus telah menular ke lebih banyak manusia, ia biasanya menjadi tidak terlampau mematikan. Sebab, virus bergantung pada adanya inang untuk bisa tetap hidup dan mendapatkan tempat berlindung.
Selain itu, Tambyah juga berpendapat mutasi D614G tidak berpotensi mengganggu pengembangan vaksin corona. Hal serupa disampaikan Sebastian Maurer-Stroh, perwakilan Badan Sains, Teknologi dan Riset Singapura.
"Varian coronanya hampir sama dan tidak mengubah area yang biasanya dikenali oleh sistem kekebalan atau imun yang diserang COVID-19, jadi seharusnya tidak ada perbedaan untuk vaksin yang sedang dikembangkan," kata Sebastian.
Meskipun demikian, pendapat Paul Tambyah diragukan oleh Profesor Paul Hunter, ahli dari Sekolah Kedokteran Norwich School, Universitas East Anglia, yang dilansir science media center, di Agustus 2020 lalu.
"Subtipe D614G SARS-CoV-2 ini memang lebih banyak menginfeksi orang dan lebih menular, dan bisa jadi tidak lebih mematikan. Namun, belum jelas bukti yang mendasari pernyataan ini," ujar Hunter.
Dia menjelaskan, dugaan bahwa mutasi D614G membuat Covid-19 lebih tidak mematikan mungkin muncul dari data penurunan kasus kematian pasien positif corona di seluruh dunia pada beberapa bulan terakhir. Namun, kata Hunter, terdapat penjelasan yang lebih baik mengenai fenomena itu.
Hunter mengatakan penurunan angka kematian kemungkinan terjadi sebab corona lebih banyak menular ke pasien dengan usia masih muda. Selain itu, karena pandemi sudah berlangsung lebih dari enam bulan, pengalaman dokter di banyak negara dalam menangani kasus Covid-19 sudah jauh lebih baik dibanding pada periode awal 2020.
Pendapat Profesor Brendan Wren, ahli mikrobiologi medis dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, yang dilansir science media centre, juga mengatakan bahwa penurunan tingkat kematian pasien Covid-19 di dunia belakangan ini dipengaruhi banyak faktor, dan belum tentu oleh mutasi.
Faktor-faktor itu seperti kemajuan metode pengobatan, penularan yang lebih banyak ke populasi dengan daya tahan tubuh kuat, dan perubahan perilaku masyarakat yang lebih patuh ke protokol kesehatan.
"Tanpa melakukan analisis komparatif pada model infeksi antara mutan D614G dan strain induk [virus corona], tidak mungkin menghubungkan kemunculan mutan ini dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah," ujar dia.
Editor: Agung DH