Menuju konten utama

Mungkinkah Roger Deakins Dapat Oscar Setelah 13 Kali Gagal?

Fiksi-ilmiah, surealisme, dan kenyataan; tangkapan visual Roger Deakins dalam Blade Runner 2049.

Mungkinkah Roger Deakins Dapat Oscar Setelah 13 Kali Gagal?
Sinematografer Roger Deakins di acara Academy Awards ke-86 di Hollywood, California. FOTO/REUTERS

tirto.id - Jalanan Meksiko terekam jelas. Deretan mobil yang terjebak kemacetan dan beton layang yang berkelindan tersaji penuh presisi sekaligus tajam secara visual. Pergerakan kamera begitu pelan tapi meyakinkan. Semua dilakukan tanpa cela, pergantian dari satu frame ke frame lain berjalan mulus, dan terpenting; berhasil menghidupkan ketegangan.

Kira-kira seperti itu pengalaman saya saat menyaksikan adegan awal Sicario besutan Denis Villeneuve yang dirilis pada 2015. Film tersebut berkisah mengenai perang melawan kartel narkoba Meksiko. Selain dipuji para kritikus karena memiliki penulisan cerita yang kuat, Sicario juga dirasa mempunyai tangkapan visual yang menarik mata.

Pengambilan gambar di Sicario tentu tak bisa dilepaskan dari sang sinematografer, Roger Deakins. Pengalamannya malang melintang dan lebih dari 50 film telah ia hasilkan dengan posisinya sebagai sinematografer yang tak diragukan.

Perjalanan Deakins di dunia film dirintis sejak 1975. Kala itu, Deakins membuat film dokumenter pendek berjudul Mothers Own. Pada masa itu, Deakins memang banyak memproduksi film-film dokumenter. Baru ketika memasuki tahun 1984, Deakins terjun ke film panjang non-dokumenter lewat 1984 yang digarap bersama Michael Radford.

Kerja sama dengan Radford menjadi penanda akan karakter pengambilan gambar Deakins yang khas. Dalam prosesnya, Deakins dianggap menyediakan teknik berbeda yang bertumpu pada warna-warna tertentu dan pengaruhnya terhadap suasana di film. Selain itu, Deakins juga dipandang dapat menghidupkan detail yang ada di tiap adegan melalui komposisi pencahayaan.

Baca juga: Donald Trump Disindir Habis-habisan di Ajang Oscar

Dua tahun berselang, Deakins turut bagian pada Sid and Nancy garapan Alex Cox. Dengan kehadiran Deakins, kisah asmara Sid Vicious dan Nancy Spungen yang berujung tragis dapat diolah menjadi romantis. Terlebih saat pengambilan gambar Sid dan Nancy yang berciuman di dekat tong sampah dengan guyuran air hujan.

Beberapa tangkapan menarik Deakins lainnya ialah saat kamera menelusuri tubuh Sid yang ditelan kerumunan massa sewaktu konser, atau ketika kamera mengikuti Sid dan Nancy yang kabur dari kejaran polisi di tepi Sungai Thames.

Pada 1994, Deakins menggarap sinematografi The Shawsank Redemption arahan Frank Darabont yang kelak dielu-elutkan sebagai film cult klasik Hollywood. Film tersebut berkisah mengenai kehidupan Andy Dufresne (Tim Robbins) di penjara. Kekhasan Deakins nampak dalam adegan ketika Andy melarikan diri dari penjara, menyusuri lubang, sampai menghirup udara kebebasan dengan sapuan hujan. Lewat film ini, Deakins untuk kali pertama masuk nominasi Oscar.

Selepas pencapaian di The Shawsank Redemption, jalan karir Deakins menanjak. Ia tercatat berkolaborasi dengan beberapa sineas ternama seperti Martin Scorsese (Kundun, 1997), Ron Howard (A Beautiful Mind, 2001), M. Night Shyamalan (The Village, 2001), hingga Sam Mendes (Skyfall, 2012).

Baca juga: Film Moonlight Terima Oscar 2017 Awali Keberagaman

Namun, dari sekian banyak sineas yang bekerjasama dengan Deakins, Ethan-Joel Coen (Coen Brothers) adalah yang paling sering mengajaknya sebagai kolaborator. Total 12 film mereka kerjakan bersama, dari Fargo (1996), The Big Lebowski (1998), O Brother Where Art Thou (2000), The Man Who Wasn’t There (2001), sampai Hail, Caesar! (2016). Bahkan, Barton Fink (1991) sukses meraih Palme d’Or di ajang Cannes Film Festival serta No Country for Old Men (2007) memenangkan kategori Best Picture pada ajang Oscar.

Infografik Roger deakins

Pencerita yang Menanti Oscar

Awal Oktober lalu, proyek terbaru Deakins bersama Villeneuve, Blade Runner 2049 telah rilis. Sekuel dari Blade Runner (1982)—yang disutradarai Ridley Scott—ini merupakan kerja sama ketiga mereka selepas Prisoners (2013) dan Sicario (2015). Blade Runner 2049 digadang-gadang menjadi film box office. Namun, sampai tanggal 12 Oktober, film itu masih jauh dari ekspektasi tersebut. Dengan modal $150 juta, Blade Runner 2049 baru memperoleh pendapatan $94,7 juta secara global.

Meski demikian, hal itu tak mempengaruhi penilaian beberapa pihak terhadap kualitas Blade Runner 2049; terutama peran Deakins sebagai sinematografer. The Guardian, misalnya, memuji peran Deakins yang dapat memunculkan dunia senja dan kombinasi warna di setiap adegan.

Baca juga: 59 Tahun Wong Kar-Wai

The Telegraph menyatakan Deakins menemukan cara cerdik guna membuat wajah dan tubuh saling tumpang tindih, berbaur, lantas mengabur. Sementara The New Yorker menyebut Deakins senang menenggelamkan indra penonton lewat rangkaian gambar yang bercerita.

Berkaca dari itu muncul pertanyaan; apakah Deakins mampu menggondol penghargaan Oscar tahun depan sebagai sinematografer terbaik?

Pertanyaan tersebut memang menjadi hal yang mengganjal ketika membicarakan Deakins—selain persoalan perubahan teknisnya dari analog ke digital. Bagaimana tidak mengganjal, Deakins sudah masuk nominasi Oscar 13 kali dan belum pernah menang. Nahasnya, saat terdaftar empat tahun berturut dari 2012 sampai 2015, Deakins terpaksa bertekuk lutut di hadapan Emmanuel Lubezki (Gravity, Birdman, The Revenant) sebanyak tiga kali.

IndieWire dalam analisisnya menjelaskan bahwa dalam Blade Runner 2049, Deakins berhasil menawarkan keberagaman visual untuk dieksplorasi. Ada ornamen fiksi-ilmiah, surealisme, hingga kenyataan yang terikat dalam satu kesatuan. Kiranya, dengan modal tersebut, sudah saatnya Deakins membawa pulang Oscar.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf