Menuju konten utama

MUI Samarinda: Sertifikasi Khatib Sebaiknya Dilakukan MUI

"Saya sangat tidak setuju jika sertifikasi dilakukan oleh pemerintah apalagi pihak keamanan, sebab itu tentu lain lagi ceritanya," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda, Kalimantan Timur, KH Zaini Naim.

MUI Samarinda: Sertifikasi Khatib Sebaiknya Dilakukan MUI
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Wacana mengenai sertifikasi khatib di ibadah sholat jumat yang masih dikaji oleh Kementerian Agama mendapat dukungan dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda, Kalimantan Timur, KH Zaini Naim.

Ia mengatakan, wacana sertifikasi khatib tersebut cukup penting untuk membedakan antara penceramah berkualitas dengan yang tidak. Namun demikian, sertifikasi tersebut menurutnya lebih layak dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Muslim atau dalam hal ini MUI, bukan pemerintah.

"Menurut saya, sertifikasi itu penting untuk melihat apakah khatib atau penceramah itu punya kualitas menyampaikan ceramah ke masyarakat," ujar Zaini Naim di Samarinda, Jumat (10/2/2017), seperti dikutip dari kantor berita Antara.

"Saya sangat tidak setuju jika sertifikasi dilakukan oleh pemerintah apalagi pihak keamanan, sebab itu tentu lain lagi ceritanya."

Ia menyatakan ada tiga hal yang patut menjadi standardisasi dalam sertifikasi itu, pemahaman agama, retorika dan akhlak dari ustad atau ulama.

"Bagaimana mau ceramah agama kalau dia sendiri kurang paham agama. Pemahaman agama itu menyangkut Alquran dan Hadist. Jadi, seorang penceramah itu harus mengerti dan tidak asal menerjemahkan ayat-ayat suci Alquran, begitu pun harus tahu membedakan hadist palsu dan asli," jelasnya.

Terkait retorika, Zaini berpendapat seorang penceramah harus bisa membedakan audiens atau dengan siapa serta kapan dan dimana ia menyampaikan ceramah, sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima dan dicerna dengan baik.

Sementara akhlak yang baik, lanjutnya, dibutuhkan agar dakwah yang disampaikan bisa didengar dan diterima oleh umat.

"Menurut saya, itulah tiga hal yang perlu disertifikasi kepada para penceramah dan yang harus melakukan adalah ulama sendiri, bukan pemerintah apalagi aparat keamanan," terang Zaini.

MUI Samarinda sendiri, terangnya, sudah melakukan program sertifikasi terhadap para mubaligh di daerah setempat sejak enam tahun lalu.

"Kami sudah melakukan sertifikasi yang didasari keprihatinan saya melihat banyaknya penceramah yang tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas. Asal berani bicara saja, sudah menjadi ustad," ucapnya.

"Jika pada pendidikan umum, seorang dosen minimal harus berpendidikan S2 dan guru harus minimal S1. Itulah yang menjadi keprihatinan saya, sehingga melakukan sertifikasi terhadap para penceramah."

Sebelumnya, pada Senin lalu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama (Kemenag), Mastuki menyatakan wacana mengenai sertifikasi khatib di ibadah sholat jumat masih berupa kajian. Saat ini, kata dia, Kemenag sedang menjaring aspirasi dan masukan dari masyarakat mengenai wacana ini.

Dia menambahkan, wacana sertifikasi khatib belum pasti terealisasi. Kemenag juga tidak akan mengintervensi materi khutbah.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI KHATIB atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara