Menuju konten utama

Mudik Via Jalur Darat, Pantaulah Peta Digital Secara Rutin

Sudahkan Anda buka aplikasi peta di gawai sebelum dan saat mudik via jalur darat?

Mudik Via Jalur Darat, Pantaulah Peta Digital Secara Rutin
Sejumlah kendaraan bermotor berjalan merayap saat melintas di Tol Dalam Kota, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/6). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Kemacetan parah terjadi di pintu keluar tol Brebes Timur atau dikenal sebagai Brebes Exit aliat Brexit tahun lalu. Namun, banyak pula pemudik yang selamat dan terhindar dari kemacetan itu. Agar bisa selamat syaratnya amat mudah: sering-seringlah Anda membuka aplikasi peta digital di gawai Anda.

Anissa, 26 tahun, masih ingat momen tahun lalu itu. Ia dan suaminya hendak pulang ke Purwokerto. Sesuai rencana awal mereka ingin memakai tol dari Jakarta hingga Brebes. Lalu dari Tegal berbelok ke arah kanan menuju Slawi di selatan. Dalam benaknya lewat tol akan lebih cepat dan akan terhindar dari kemacetan.

Ahmad Santoso, 32 tahun, pada arus mudik lebaran lalu dia berangkat bersama istrinya yang sedang hamil besar untuk pulang ke Yogyakarta. Berdasarkan prediksi dokter, istrinya akan lahir seminggu setelah lebaran. Dia pun nekat untuk pulang pada puncak arus mudik tepatnya pada 2 Juli 2016. Ahmad berencana mudik lewat utara. Sama seperti Anissa, dibukanya Tol Kanci-Pejagan membuat Ahmad memutuskan akan keluar di Tol Brebes Timur.

Selama di mobil, Anissa dan Ahmad tidak henti mencari info perkembangan kemacetan di Cirebon lewat radio dan sosial media. Saban 20 menit sekali mereka pun membuka aplikasi Google Maps di gawainya.

Di rest area Tol Cikampek Km 57, Ahmad akhirnya memutuskan istirahat cukup lama. Sedangkan Anissa dan suaminya memilih rehat sejenak di rest area Tol Cipali Km 102.

Anissa dan Ahmad merasa gelisah setelah melihat garis merah yang melintang panjang menuju Pintu Tol Brebes Timur di aplikasi Google Maps. "Kalau tidak salah saya lihat di peta, macetnya sampai 20 Km. Yang buat saya gelisah warna merahnya itu merah pekat mendekati hitam yang artinya macet parah dan stuck," kata Anissa.

Setelah berpikir sejenak, Ahmad memutuskan akhirnya dia memilih belok ke Bandung dan meneruskan perjalanan lewat jalur selatan melalui jalur Nagreg. Sedangkan Anissa menyarankan suaminya keluar di Kertajati, Majalengka, dan memotong ke selatan hingga tembus Ciamis.

"Untung saja, kalau saya tetap nekat lewat Brebes, sepertinya enggak akan bisa lebaran sama keluarga," kata Anissa.

Bagi Ahmad, lewat selatan adalah keputusan tepat karena Ahmad dan istrinya berhasil lolos dari kemacetan laknat “Brexit”. Sesampai di Yogya, keesokan harinya, tak disangka si istri kemudian melahirkan.

“Enggak kebayang banget kalau misalkan tetep nekat lewat utara, enggak lucu juga kalau istri saya lahiran di mobil,” kata dia.

Fitur traffic di Google Map bagaimanapun telah menyelamatkan Ahmad dan Anissa. Fitur ini juga bisa Anda dapatkan melalui aplikasi Waze, yang juga dimiliki oleh Google. Saat momen mudik kali ini amat penting untuk sering-sering mengecek aplikasi Google Maps dan Waze di gawai Anda.

Fitur traffic lazim dipakai orang-orang kota untuk menembus kemacetan. Aplikasi ini akan memberi tahu rute yang akan Anda lalui macet, padat atau lancar jaya. Dari informasi ini akhirnya kita bisa menunda perjalanan, memilah tetap terus nekat atau cari jalan pintas lain.

Jadi sebuah pertanyaan dari manakah Google mendapatkan data-data kemacetan ini? Suatu hal yang mahal dan di luar nalar jika Google sengaja memasang jutaan kamera pengawas di sepanjang jalan demi fitur Google Traffic ini.

Data traffic aplikasi ini adalah data yang realtime. Jika warna di peta menunjukkan jalan itu merah, maka di sana memang betul sedang macet. Begitupun jika jalan berwarna hijau, berarti jalan dapat dilalui dengan lancar.

Lalu dari mana data didapatkan? Jawabannya adalah pengguna Android. Setelah merilis sistem operasi Android pada akhir 2008, Google memasang pelacak GPS pada siapa pun pengguna berbasis Android.

Ponsel Android Anda secara otomatis akan mengirimkan kepada Google mengenai lokasi dan pergerakan Anda. Data-data individu ini kemudian akan dianalisis oleh mesin komputer. Google akan mendeteksi sebuah kemacetan jika dalam satu titik di jalan tersebut terjadi perlambatan atau banyak pengguna Android yang berhenti.

Lantas bagaimana dengan mereka yang tak memakai sistem berbasiskan Android? Data GPS akan tetap didapat jika Anda mengaktifkan aplikasi Google Maps. Karena itulah tidak sedikit juga para pengguna iPhone atau Microsoft yang turut membesarkan Google Traffic.

Sampel data yang dipakai untuk analisis kemacetan ini tentu tidak hanya mengambil dari satu atau dua pengguna saja. Data yang diambil dari satu titik bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Karena sampel yang banyak inilah, Google tidak akan mungkin mendeteksi aktivitas Anda yang berhenti di sebuah toko jadi sebuah kemacetan.

Selain memakai pengguna Android sebagai sumber data, Google pun memanfaatkan Waze. Google mengakuisisi Waze pada pada 2013. Tidak tanggung-tanggung, pembelian Waze ini menelan biaya hingga $1 milliar dolar. Bergabungnya Waze membuat elemen manusia dijadikan dalam perhitungan informasi lalu lintas.

Sebelum bergabung dengan Google, Waze adalah aplikasi populer. Waze memiliki fitur terbaik, yaitu notifikasi real-time yang menjadi petunjuk soal kecelakaan, puing di jalanan, lubang atau konstruksi jalan, sampai informasi acara tertentu sepanjang rute perjalanan pengguna. Data-data ini didapat dari pengguna Waze yang saling berbagi informasi.

Baca juga artikel terkait ARUS MUDIK atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS