Menuju konten utama

Milisi Nelayan Mengepung Laut Cina Selatan

Upaya Cina memasukkan Laut Cina Selatan ke dalam wilayah perairannya digagalkan arbitrase. Namun, Cina tidak akan diam begitu saja. Negeri Tirai Bambu tersebut diyakini akan menggunakan segala caranya untuk tetap berkuasa di Laut Cina Selatan.

Milisi Nelayan Mengepung Laut Cina Selatan
Pendemo dari partai lokal Tiongkok berdemonstrasi memprotes Amerika Serikat yang mendukung putusan pengadilan internasional yang menolak klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan, di luar konsulat Amerika Serikat di Hong Kong, Tiongkok. [Antara Foto/Reuters/Bobby Yip]

tirto.id - Para pemimpin negara-negara Asia Tenggara saat ini mungkin tengah menarik napas lega. Permanent Court of Arbitrase (PCA) di Den Haag pada Selasa, (12/07/2016), telah menolak secara legal klaim Cina atas “nine-dash line” dan “traditional fishing ground”. Hal ini seketika menggugurkan upaya Cina untuk memasukkan wilayah Laut Cina Selatan ke dalam wilayah perairan resminya.

Di sisi lain, tarikan napas para pemimpin itu tidak akan bertahan lama. Mereka harus kembali menahan napas dalam harap-harap cemas, mengingat Cina sudah mempersiapkan senjata terbarunya di Laut Cina Selatan: milisi nelayan.

Agresivitas Nelayan Cina di lautan

Klaim Cina atas “traditional fishing ground” di Laut Cina Selatan telah membawa nelayan-nelayan mereka mengarungi perairan-perairan sengketa. Tujuan utama mereka tidak hanya untuk mencari ikan, tetapi juga untuk menandai wilayah-wilayah tersebut sebagai milik Cina. Mereka juga melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum bagi nelayan dari negara lain yang masuk ke wilayahnya. China Daily edisi Februari 2016 mencatat, para milisi nelayan di kota Sansha telah terlibat dalam 250 operasi penegakan hukum dalam tiga tahun terakhir di wilayah sekitar perairan pulau Hainan. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka dikenal tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

CNN pada Mei 2016 menurunkan liputan tentang Le Tan, seorang nelayan Vietnam yang mengalami tindak kekerasan oleh “orang-orang dari kapal nelayan berbendera Cina”. Le Tan menceritakan bagaimana orang-orang itu menaiki kapalnya lalu merampas ikan dan perlengkapannya. Tan mengaku, ia sudah lima kali mengalami kejadian serupa dalam satu dekade terakhir. Pada satu kesempatan, seorang anaknya bahkan disekap dan dianiaya sehingga tidak bisa melaut selama tiga bulan.

Dalam skala yang lebih besar, seperti ditulis Foreign Policy pada April 2016, milisi nelayan Cina turut terlibat dalam dua konflik bersenjata antara militer Cina dan Vietnam pada 1974 di Kepulauan Paracel dan konflik Cina-Filipina di Scarborough Shoal pada 2012. Dalam dua kejadian itu, nelayan Cina merupakan pihak yang paling pertama merespons krisis sekaligus memberikan bantuan kepada militer Cina dalam menghadapi Vietnam dan Filipina. Dalam kejadian di sekitar Subi Reef dekat Kepulauan Spratlys pada Oktober 2015, kapal nelayan Cina bahkan berani melakukan manuver-manuver provokatif di sekitar kapal destroyer milik Amerika Serikat, USS Lassen, yang tengah berpatroli.

Sementara itu, dalam laporan NYTimes pada Oktober 2010, seorang reporter Global Times yang ikut dalam kapal nelayan Cina menulis, saat kapal penjaga pantai Jepang menyuruh kapalnya berbalik arah saat melintas di Kepulauan Diaoyu, kapal nelayan Cina justru balik menggertak via trasmitter. “Kami adalah kapal administrasi nelayan Cina. Kepulauan Diaoyu adalah wilayah turun-temurun Cina, dan kami tengah menjalankan tugas negara di wilayah perairan negara kami. Kami meminta anda untuk pergi dari sini secepatnya!,” bunyi pesan kapal Cina itu kepada kapal penjaga pantai Jepang.

Dukungan pemerintah bagi nelayannya

Besarnya nyali nelayan Cina dalam menghadapi nelayan-nelayan negara lain disebabkan oleh dukungan yang melimpah dari pemerintahnya. Pada Maret 2013, hanya satu bulan setelah mulai menjabat, presiden Cina Xi Jinping melakukan kunjungan bersejarah ke wilayah pulau Hainan. Pulau ini sangat penting bagi Cina, mengingat letak geografisnya yang tepat berada di pinggiran Laut Cina Selatan dengan sebagian besar penduduknya merupakan nelayan. Pulau Hainan adalah wilayah terdepan Cina yang berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah sumber konflik seperti Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Di sisi lain, pulau Hainan juga menjadi markas bagi tiga kesatuan milisi nelayan Cina: Danzhou Maritime Militia, Sansha City Maritime Militia, dan Tanmen Maritime Militia.

Seperti dilansir oleh China Daily, Presiden Xi menghabiskan waktunya dengan santai bersama nelayan-nelayan Hainan. Di sisi lain, ia juga meminta para nelayan untuk “tidak hanya mencari ikan saja, tetapi juga terlibat aktif dalam mengumpulkan informasi-informasi kelautan dan mendukung pembangunan pulau-pulau dan karang buatan”. Hal ini menyiratkan adanya dukungan simbolis dari pemerintah Cina terhadap aksi agresif para nelayannya.

Pemerintah dan Angkatan Laut Cina juga memberikan bantuan bagi para nelayan. Menurut laporan Washington Post pada April 2016, pemerintah daerah Hainan mensubsidi pembangunan kapal-kapal nelayan berskala besar dan penyediaan layanan global positioning system gratis bagi 50.000 kapal nelayan. Melalui layanan itu, para nelayan dapat leluasa mengirimkan sinyal kepada kapal penjaga pantai atau bahkan angkatan laut Cina saat mereka mengalami masalah dengan kapal negara lain. Kesatuan kapal penjaga pantai dan angkatan laut Cina akan selalu aktif mengawasi dan menjaga para kapal nelayan yang tengah melaut.

Pemerintah Cina tidak selalu menyalurkan subsidinya secara langsung kepada para nelayan. Laporan Reuters edisi April 2016 menulis, BUMN yang berbasis di Hainan, South Cina Sea Modern Fishery Group, menyediakan stok bahan bakar, air dan es untuk menyimpan ikan, serta membeli ikan-ikan dari nelayan yang berangkat ke Kepulauan Spratlys. Salah satu tujuan utama mereka, selain mencari ikan, adalah “mengibarkan bendera Cina di Spratlys”.

Tentara Pembebasan Rakyat Cina (sebutan untuk tentara nasional Cina) juga menyediakan pelatihan-pelatihan militer bagi milisi nelayan di Hainan. Menurut laporan Strait Times edisi Mei 2016, pelatihan militer dasar bagi para nelayan tersebut dikoordinasikan oleh People's Armed Forces Department, terutama cabangnya yang berada di tingkat kota. Cabang ini berada di bawah naungan petinggi militer dan petinggi partai Komunis setempat. Pelatihan yang biasanya berlangsung antara Mei dan Agustus, mencakup pelatihan SAR (search and rescue ), pelatihan survival di laut, serta “menjaga kedaulatan Cina”. Para nelayan juga mendapatkan bayaran atas keikutsertaan mereka di pelatihan itu.

Taktik “Perang Rakyat” Model Baru

Penggunaan nelayan sebagai salah satu unsur penjaga pertahanan Cina bersumber dari dogma “perang rakyat” yang dikembangkan oleh Cina sejak era revolusi oleh Mao Zedong. Konsep ini menganjurkan mobilisasi dan militerisasi penduduk sipil untuk menghadapi kondisi darurat khususnya perang.

Konsep “perang rakyat” pada awalnya dikembangkan melalui logika perang darat dengan petani sebagai tulang punggung mobilisasi sipil. Konsep tersebut selanjutnya mengalami perubahan seiring dengan pergantian fokus pertahanan Cina dari darat ke laut setelah Cina menyandang status sebagai negara hegemon baru selain Amerika Serikat dan Uni Soviet (kini Rusia).

Menurut laporan Stratfor, kebijakan maritim Cina awalnya diarahkan untuk mengamankan kepentingannya di wilayah perairan dalam (perairan di sekitar garis pantainya) dan Laut Kuning (terkait perbatasan dengan Taiwan yang diklaim oleh Cina sebagai provinsi yang membelot). Dalam situasi inilah milisi nelayan pertama mulai dibentuk pada dekade '50an sebagai persiapan untuk merebut kembali Taiwan. Peran milisi nelayan makin menguat saat mereka terlibat dalam merebut Kepulauan Paracel dari Vietnam Selatan pada 1974.

Memasuki awal abad 21, seiring kemajuan ekonomi yang pesat, Cina mulai memperluas orientasi maritimnya dari sebelumnya yang berkutat di perairan berjarak dekat (kebijakan Laut Kuning) menjadi berorientasi lautan luas (blue-ocean policy). Konsekuensi dari pendekatan ini adalah Cina harus menambah armadanya sekaligus melengkapi angkatan lautnya dengan kapal-kapal yang memiliki kemampuan menjelajahi samudra.

Cina menyadari bahwa mereka harus mencari terobosan strategi maritim baru untuk menegaskan supremasinya di perairan yang lebih luas. Dalam konteks ini, menurut mantan atase militer Amerika Serikat di Beijing, Dennis J. Blasko, angkatan laut Cina tengah melakukan penelitian dalam teori operasi maritim sekaligus merumuskan strategi dan taktik baru dalam bidang perang rakyat maritim dalam kondisi modern. “Dalam kasus tertentu, mengerahkan kekuatan sipil [dalam menghadapi ancaman] dapat menghindarkan kesan provokatif dan menurunkan potensi eskalasi konflik dibandingkan mengirim personil militer aktif,” ujarnya kepada NYTimes edisi Oktober 2010.

Sementara itu, Toshi Yoshihara, profesor strategi dari U.S. Naval War College dalam Foreign Policy edisi April 2016 turut menyatakan, “Berlainan dari kehadiran angkatan laut yang dapat memicu permusuhan, pengerahan kapal nelayan dapat mempertahankan sikap low profile Cina untuk mendukung klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.”

Kapal-kapal nelayan Cina perlahan-lahan telah menggantikan fungsi kapal militer dan penjaga pantai untuk memasuki wilayah-wilayah perairan sengketa. Hal ini terlihat dari riset yang dilakukan oleh Asia Nikkei pada 2014 dimana terjadi penurunan yang signifikan dari kehadiran kapal pengintai Cina di daerah sekitar perairan pulau Senkaku yang menjadi sengketa antara Jepang dan Cina. Pada saat bersamaan, peningkatan justru terjadi pada kehadiran kapal-kapal nelayannya. Dalam kurun waktu Januari – September 2011, kesatuan penjaga pantai Jepang mencatat angka kehadiran tersebut sebanyak 208 kali yang menunjukkan peningkatan sejumlah 2.4 kali dari tahun lalu dan sekitar 26 kali lebih besar dari angka tahun 2011.

Keunggulan taktis yang ilegal

Cina menyadari bahwa Laut Cina Selatan merupakan kawasan vital bagi lalu-lintas perdagangan internasional, sehingga sikap agresif mereka yang mereka tunjukkan pasti akan mengganggu stabilitas kawasan. Sikap permusuhan Cina akan memancing langkah balasan dari negara-negara di Laut Cina Selatan, termasuk negara adidaya seperti Amerika Serikat yang belakangan mulai mengirimkan kapal induk USS Stennis sebagai sinyal peringatan bagi Cina untuk meredam langkah agresif mereka. Oleh karena itu, Cina harus mencari celah untuk menegaskan dominasinya di Laut Cina Selatan tanpa memancing reaksi keras dari negara-negara di sekitarnya.

Celah ini justru muncul dari penggunaan kapal nelayan sebagai milisi. Kapal nelayan secara teknis memiliki kecepatan dan kemampuan bermanuver yang sangat cocok untuk bergerak baik di lautan luas maupun di wilayah kepulauan. Selain itu, dari sisi hukum, keberadaan milisi yang disamarkan lewat status nelayan yang notabene adalah warga sipil sangat menyulitkan penindakan oleh aparat hukum dan militer dari negara lawan.

Andrew Erickson dan Conor Kennedy—peneliti dari US Naval War College—memaparkan bahwa penggunaan milisi maritim memiliki beberapa keunggulan seperti kemudahan untuk menyangkal keterlibatan aktif negara saat terjadi insiden dengan negara lain. Namun, keuntungan terbesar dari penggunaan milisi nelayan adalah kemampuan untuk menciptakan “keuntungan asimetris” yaitu situasi saat kapal nelayan Cina memanfaatkan kebingungan kapal musuh untuk tetap melancarkan operasi.

Melanggar etika konflik

Penggunaan milisi nelayan merupakan langkah yang tidak etis sekaligus melanggar hukum humaniter internasional. Hukum humaniter internasional adalah peraturan yang mengatur perilaku negara dalam sebuah konflik bersenjata. James Kraska—profesor dari Stockton Center for the Study of International Law-- berpendapat, penggunaan kapal nelayan untuk membantu angkatan laut telah melanggar prinsip “pembedaan sipil-militer” di dalam sebuah konflik bersenjata atau situasi yang berpotensi mengarah ke kondisi tersebut. Tujuan pembedaan ini adalah demi melindungi warga sipil dari dampak konflik bersenjata, sementara penggunaan kapal nelayan justru mengaburkan pembedaan tersebut.

Pemerintah Cina tampaknya menyadari bahwa milisi nelayan adalah sesuatu yang ilegal. Pemerintah Cina melalui juru bicara kementerian luar negerinya, Lu Kang, menolak bahwa pemerintahnya memfasilitasi keberadaan milisi nelayan untuk melakukan tindakan-tindakan agresif di perbatasan. “Hal tersebut tidak pernah ada”, tegasnya kepada Aljazeera edisi Juni 2016. Di sisi lain, milisi nelayan faktanya masih merupakan salah satu strategi utama Cina dalam konstelasi politik teritori di Laut Cina Selatan, bersama dengan strategi lain seperti pembangunan pulau dan karang buatan disertai pangkalan militer.

Penolakan klaim Cina atas “nine-dash line”oleh PCA diperkirakan akan meningkatkan agresivitas Cina di Laut Cina Selatan mengingat negara ini sejak jauh-jauh hari sudah menyatakan diri tidak terikat dengan apapun keputusan PCA. Agresivitas semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi serupa dari negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan. Filipina, sebagai contoh, juga menyatakan diri akan membentuk milisi nelayan, seperti yang diungkapkan oleh Northern Luzon Command Chief Lieutenant General Romeo Tanalgo dalam konferensi pers pada 24 Juni 2016. Negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan harus secepatnya menemukan solusi untuk menghindari agresivitas Cina sekaligus menghindari penggunaan strategi yang sama dengan negara itu.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti