tirto.id - Dalam pembukaan gerakan Akselerasi Generasi Digital yang diadakan pada pertengahan Desember 2021 di Jakarta Convention Center--mengingat kembali apa yang disampaikan Mark Zuckerberg dalam kunjungannya ke kantor Facebook--Presiden Joko Widodo menyebut bahwa "dalam 10-15 tahun lagi setiap orang nanti bisa beli lahan virtual, bisa bangun bisnis virtualnya sendiri, dan juga akan ada mall virtual, game virtual, kantor virtual, dan wisata virtual."
Ia menilai Indonesia harus siap menghadapi perubahan dunia digital, sebuah perubahan yang diyakini Mark Zuckerberg berbentuk "metaverse". Presiden Jokowi meminta masyarakat mengambil keuntungan dalam celah perubahan. Konon Indonesia memiliki potensi besar jika ikut serta dalam perubahan yang hendak dibangun oleh Zuckerberg ini.
"Perusahaan-perusahaan besar juga berlomba untuk membangun metaverse. Facebook yang berubah jadi Meta, Epic games, Roblox, Microsoft semuanya masuk ke sana," tegas Jokowi.
Metaverse, masa depan digital ala Zuckerberg, pertama kali dikenal pada 1992. Kala itu, melalui novel garapannya berjudul Snow Crash, Neal Stephenson memperkenalkan konsep ini. Suatu konsep yang "tidak benar-benar ada. Namun, saat ini, jutaan orang melangkah, menjelajah, dan beraktivitas di dalamnya [...] menggunakan komputer ataupun mesin yang cukup kuat."
Stephenson terinspirasi dari kerja John Walker dan Jaron Lanier dari Autodesk dalam menciptakan teknologi bernama virtual reality (VR). Sebagaimana dipaparkan Cory Ondrejka dalam studinya berjudul "Escaping the Gilded Cage: User Created Content and Building the Metaverse" (2004), metaverse merupakan lingkungan online, dunia selain dunia fisik, yang menjadi tempat nyata lain bagi para penggunanya untuk melakukan beragam aktivitas, baik sosial, bisnis, maupun hiburan.
Sejak Stephenson memperkenalkan metaverse, banyak pihak berupaya mewujudkannya menjadi nyata. Salah satunya dipengaruhi populasi komputer yang kian menggurita, metaverse coba diaplikasikan dalam pelbagai gim bertema MMORPG (massively multiplayer online role-playing game) yang tumbuh pada pertengahan 1990-an, semisal Meridian 59, World of Warcraft, The Sims, hingga Ragnarok Online.
Namun, karena pengaplikasian ini mewujud dalam bentuk video gim, ruh sebenarnya dari metaverse--interaksi sosial, aktivitas bisnis--gagal terwujud. Sementara itu, kembali merujuk Ondrejka, kegagalan MMORPG menjadi metaverse sesungguhnya dipengaruhi terutama oleh "besarnya modal yang harus disiapkan untuk membuat semesta sebesar metaverse." Terlebih, kala itu, meskipun komputer lumrah dimiliki, teknologi yang dikandungnya masih terbatas.
Meskipun pelbagai video gim MMORPG yang muncul pada pertengahan hingga akhir 1990-an gagal mewujudkan metaverse dalam arti yang dipikirkan Stephenson, namun upaya penciptaan metaverse tak pernah sirna. Pada awal 2000-an, misalnya, Valve Software memelopori kemunculan video gim yang menyatukan kerja sama, realisme, dan gameplay yang menarik sesuai dengan gerak nyata manusia melalui Counter-Strike (hasil modifikasi dari video game Half-Life).
Upaya yang lantas disempurnakan dengan kemunculan Second Life pada 2003 dan Pokemon Go--gim yang dipelopori penggagas Google Earth dan Google Maps dengan menyatukan dunia nyata dengan dunia maya. Dan hampir 30 tahun setelah konsep metaverse diperkenalkan Stephenson, Roblox, platfom yang diciptakan oleh Erik Cassel dan David Baszucki, mencoba peruntungan dalam mewujudkan konsep ini dengan menggabungkan kaidah-kaidah aplikasi komputer/smartphone. Yakni platform virtual yang digunakan untuk bermain gim dan interaksi sosial--melakukan jual/beli barang, konser, menjelajah berbagai tempat, dan pelbagai kegiatan lainnya. Tentu, usai penggunanya bersalin rupa dari bentuk fisik ke avatar digital.
Andreessen Horowitz, pemimpin firma investasi a16z, yang mengucurkan dana senilai $4 miliar untuk Roblox, percaya bahwa Roblox (dan metaverse secara umum) merupakan masa depan dunia digital. Sebuah dunia yang diyakini bersalin ke dalam bentuk ide yang digagas Stephenson dan diyakini Horowitz berevolusi pula menjadi Web3 (atau Web 3.0).
Alih-alih menggunakan server terpusat, dunia web di masa depan akan disajikan secara desentralisasi--gara-gara kesuksesan Bitcoin dan NFT menggebrak dunia melalui teknologi blockchain. Artinya, karena tidak menggantungkan diri pada server terpusat, web di masa depan adalah web yang digenggam sepenuhnya oleh masyarakat umum.
Tentu, atas prediksi masa depan dunia digital ini, seperti yang diharapkan Presiden Jokowi, peluang tercipta. Namun, seberapa besar kans masyarakat umum (bukan Zuckerberg atau pesohor teknologi lain) menggapainya? Jawabannya, sebagaimana dipaparkan Jeff John Roberts dalam Kings of Crypto: One Startup's Quest to Take Cryptocurrency Out of Silicon Valley and Onto Wall Street (2020): kecil.
Sangat kecil kans masyarakat umum menguasai masa depan dunia digital. Ini terjadi karena, dalam catatan sejarah, dunia digital sebetulnya diciptakan dengan pondasi "dibuat oleh masyarakat, diisi oleh masyarakat." Atau, secara singkat, demokratis.
Sayangnya, perlahan tapi pasti, muncul Big Tech (Google, Facebook, Apple, Microsoft, Amazon, Twitter) untuk menguasai dunia digital--membuat pondasi demokratis pelan-pelan sirna dalam tubuh dunia digital. Dan dalam kasus metaverse ataupun Web3, kenyataan pahit ini pun diprediksi terjadi. Mengapa? Coinbase, startup yang menjebatani pelbagai mata uang digital (terutama Bitcoin) dan masyarakat umum adalah contohnya.
Didirikan oleh Brian Armstrong dan didanai oleh firma investasi bernama Y Combinator, Coinbase sukses menjadi startup yang bervaluasi $63 miliar karena masyarakat umum yang hendak memiliki Bitcoin atau berbagai uang digital, kebingungan mengakses Bitcoin. Musababnya, secara teknis, Satoshi Nakamoto (penggagas Bitcoin) membangun Bitcoin untuk menihilkan keberadaan penengah (bank dan negara) dalam bertransaksi. Dan untuk menghilangkan ketergantungan pihak penengah ini, Nakamoto mendistribusikan transaksi ke masyarakat melalui teknologi blockchain. Meminta masyarakat "mengikhlaskan" komputer dan internet serta listrik yang dimiliki untuk mendukung sistem Bitcoin.
Nahas, hanya secuil masyarakat umum yang bersedia mengikhlaskan komputer milik mereka untuk mendukung Bitcoin, entah karena dianggap tak berguna ataupun tidak paham teknis "mendonasikan" komputer mereka guna mendukung Bitcoin. Akibatnya, Coinbase, yang memungkinkan masyarakat umum memiliki/bertransaksi Bitcoin dalam sekali klik, merajalela dan populer digunakan. Berhasil menyingkirkan falsafah desentralisasi dalam tubuh Bitcoin.
Metaverse dan Web3 tampaknya akan bernasib seperti Bitcoin. Nasib yang diperkirakan terjadi oleh Jack Dorsey, mantan Chief Executive Officer (CEO) Twitter.
"Kamu (masyarakat umum) tidak akan memiliki 'web3'," tegas Dorsey. "Para VC-lah (venture capital/kapital ventura) yang akan memilikinya."
Editor: Irfan Teguh Pribadi