tirto.id - Rasa hangat menyeruak ke dalam diri Charlie Heatubun ketika kakinya berhasil mencapai puncak Pegunungan Arfak (dulu merupakan bagian dari Kabupaten Manokwari) setelah satu hari berjalan kaki dari Desa Mokwam. Di Januari 2009 yang basah itu, Charlie akan memulai dua bulan penelitian lapangan mengumpulkan spesimen bersama tim dari Royal Botanical Garden Edinburgh.
Bagi ahli palem yang kini menjadi guru besar botani di Universitas Negeri Papua tersebut, menjelajahi tempat-tempat yang pernah diselisik para naturalis besar merupakan pengalaman tak ternilai.
“Saya sangat bersyukur bisa mendatangi tempat yang juga didatangi oleh tokoh-tokoh yang saya kagumi kontribusinya dalam biologi, antropologi, seperti Alfred Russel Wallace, Odoardo Beccari, dan Lilian Gibbs,” ujarnya dalam sebuah wawancara pribadi melalui telepon (27 Januari 2022).
Sejak masa Hindia Belanda, wilayah Papua telah dilihat sebagai kawasan penting untuk penelitian biodiversitas, biogeografi, dan antropologi. Alfred Russel Wallace yang menjelajahi Kepulauan Nusantara selama sewindu dalam rentang 1854-1862 menghabiskan sepanjang 1858-1860 di Papua.
Dalam Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (2009, hlm. 425), dia mencatat amatannya tentang kemunculan unsur-unsur Melayu pada burung-burung Papua. Itu adalah tengara terjadinya gelombang migrasi dari wilayah barat ke timur Indonesia di masa lalu. Perubahan rupa bumi yang dinamis—dari daratan menjadi lautan atau sebaliknya—telah menghilangkan jejak lintasan burung-burung itu.
Satu dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1872, ahli botani Italia Odoardo Beccari memulai ekspedisi pengumpulan spesimen flora dan fauna Papua di Pegunungan Arfak. Beccari kurang berhasil mengumpulkan spesimen flora, tapi mendapatkan spesimen hewan dalam jumlah besar, terutama burung-burung Papua yang merupakan kontribusi berharga bagi ornitologi.
Jejak Wallace dan Beccari kemudian dilanjutkan oleh Lilian Suzette Gibbs. Pada 1913, Gibbs menjadi perempuan pertama yang mencapai Pegunungan Arfak. Dia sekaligus memimpin ekspedisi pengumpulan spesimen flora pegunungan—bidang kepakaran Gibbs sejak menekuni botani di Royal College of Science di London.
Penjelajahan Gibbs ke Pegunungan Arfak merupakan kelanjutan dari ekspedisi sebelumnya di Gunung Kinabalu pada 1910. Jadi, hasil-hasil ekspedisi Pegunungan Arfak bakal berguna untuk studi perbandingan flora pegunungan.
Pegunungan di Papua yang wilayahnya sangat luas, curah hujan yang mirip, dan ketinggian yang mengesankan merupakan lokasi yang sempurna untuk studi perbandingan. Gibbs juga membekali diri dengan catatan Beccari yang menyatakan bahwa terdapat kemiripan besar antara tumbuhan di Kinabalu dan Papua.
Menjelajah Pegunungan Arfak
Dalam catatan perjalanannya A Contribution to The Phytogeography and Flora of the Arfak Mountains (1917), Gibbs menyebutkan pihak-pihak yang telah membantunya melakukan ekspedisi tersebut. Di antaranya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.F. Idenburg yang telah memberinya perizinan dan instruksi-instruksi kepada para pejabat di daerah untuk memastikan penjelajahan nona dari Inggris ini berjalan lancar.
Ketika Gibbs tiba di Manokwari, Asisten Residen Manokwari L.J.J.M. Tabbers memerintahkan lima prajurit Ambon dan sepuluh tahanan alias “orang rante” untuk mengawal dan membantu Gibbs membawa perbekalan. Tabbers mengkhawatirkan keselamatan Gibbs karena belum lama ini terjadi peperangan antara orang pantai dan orang gunung.
“Orang rante, semuanya luar biasa, membuat saya terkesan dengan orang Papua. Mereka sangat ringan tangan membantu saya. Salah satu dari mereka berperan sebagai tukang masak, baik selama di pegunungan maupun sampai saya meninggalkan Manokwari. Beberapa di antara mereka jadi terampil memperlakukan spesimen botani,” catat Gibbs (hlm. 6).
Ketika menjelajahi Danau Anggi, Gibbs melihat seorang anak berdiri di atas rakit yang terbuat dari sejumlah batang palem. Dia lantas mengabadikan foto anak itu. Satu abad kemudian, berbekal foto dan penyebutan palem Kentia gibbsiana dalam buku Gibbs, Andre Schuiteman dari Kew Royal Botanic Gardens, Inggris, melihat sendiri palem tersebut di tanah asalnya.
Ketika sudah kering, palem ini sangat ringan dan cocok digunakan sebagai rakit maupun untuk kebutuhan lain. Di Tambraw, palem ini digunakan untuk atap dan lantai rumah. Populasi palem ini kemudian terancam karena penggunaannya yang kian masif (Petoe, Peter, et al. “Hydriastele gibbsiana, a remarkable belly palm from New Guinea”, Palms 63(1):5-10).
Dari penelitian lapangan itu, Gibbs menyimpulkan bahwa Papua merupakan pusat distribusi berbagai jenis tumbuhan Polynesia, Australia, dan dalam jumlah lebih sedikit, Melayu. Tumbuhan di Papua tidak hanya lebih tua jenisnya, tapi juga memiliki perbedaan yang mencolok dari tumbuhan di tempat lain. Sementara itu, flora Pegunungan Arfak menunjukkan kemungkinan jenis tumbuhan paling tua. Kesimpulan itu dia sampaikan juga di hadapan The Newcastle Meeting of the British Association for the Advancement of Science pada September 1916.
Pengamatan Gibbs akan kekayaan jenis tumbuhan di Papua dikonfirmasi dalam The Ecology of Papua (Takeuchi, 2007). Pulau Papua (gabungan Papua-Indonesia dan Papua Nugini) memiliki hampir 30 persen jenis pakis, dengan estimasi sekitar 3.000 spesies. Kekayaan jenis pakis ini menjadi fokus utama ekspedisi yang diikuti Charlie (Barber, Sadie dan Andrew Ensoll, “Field Collecting Living Material in Papua, Indonesia”, Sibbaldia. The Journal of Botanic Garden Horticulture No. 8, 2010, hlm. 127).
“Ekspedisi itu juga merupakan ekspedisi terakhir George Argent, ahli Rhododendron, di Papua,” kenang Charlie yang juga seorang Fellow of the Linnean Society of London.
Argent akhirnya bergabung dengan Gibbs yang telah memberinya banyak pengetahuan mendasar mengenai flora Papua. Gibbs sendiri yang meninggal pada 30 Januari 1925, tepat hari ini 97 tahun lalu.
Ketika mahasiswa, Lilian Suzette Gibbs menjelajahi Pegunungan Alpen di Eropa untuk mengumpulkan spesimen flora pegunungan. Dalam rentang 1905-1915, dia melakukan ekspedisi ke Australia, Selandia Baru, Fiji, Islandia, Papua, Borneo, Amerika Selatan, Amerika Serikat, dan Zimbabwe. Untuk menghormati sumbangsihnya pada ilmu botani, puluhan spesies—termasuk lebih dari 15 spesies baru yang ditemukannya di Gunung Kinabalu, Borneo—dinamakan dengan namanya, demikian juga penamaan genus tumbuhan Gibbsia.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi