Menuju konten utama

Menyikapi Serbuan Aplikasi Ponsel Pintar Buatan Luar

Pasar aplikasi ponsel pintar di Asia Tenggara dikuasai pemain global. Di mana keberadaan aplikasi lokal?

Menyikapi Serbuan Aplikasi Ponsel Pintar Buatan Luar
Head of Media Relation Sinarmas Land Ahmad Soemawisastra bersama Emerging Business and Digital Venture Sinarmas Land Benny Widodo berbincang dengan peserta saat ajang Indonesia Next Apps 4.0 di Surabaya, Senin (31/7). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Tiara menatap layar ponsel pintarnya, tampak aplikasi WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Tiga aplikasi itu sangat rutin ia gunakan dalam aktivitas keseharian. Dari sekitar 50-an aplikasi yang tersemat, hanya ada dua aplikasi lokal yang terpasang.

Ponsel yang dipunyai Tiara bagian kecil dari lanskap dari menjamurnya kekuatan asing dalam dunia aplikasi di ponsel pintar. Kehadiran aplikasi luar tak bisa dipungkiri dari pasar aplikasi yang besar di Tanah Air. Pada 2017 diperkirakan terdapat 62,69 juta pengguna ponsel pintar, atau setara 24 persen total penduduk Indonesia. Android merupakan sistem operasi mobile yang paling utama, menguasai 83,99 persen pangsa pasar sistem operasi mobile per Juli 2017.

Sayangnya, di tengah pasar aplikasi ponsel pintar di Indonesia yang sangat besar, hanya sedikit pemain lokal yang sukses. Dalam dunia digital, memang agak sulit membagi secara hitam-putih asal dari aplikasi atau sebuah gawai dikembangkan. Contoh yang paling umum adalah iPhone yang dirancang di California dan dirakit di Cina. Ihwal semacam ini juga berlaku pada aplikasi. Aplikasi Go-Jek misalnya, perusahaannya dibangun oleh orang Indonesia, ada tangan-tangan para programer India saat mengembangkan aplikasi, sehingga Go-Jek masih masuk kategori aplikasi lokal.

Baca juga:Go-Jek, Karya Anak Bangsa Blasteran India

Sayangnya Go-Jek hanya segelintir aplikasi lokal yang mampu bicara banyak di tengah gempuran aplikasi luar yang makin menjamur. Berdasarkan Mobile App RankingSimiliar Web, dari 10 aplikasi Android paling laku di Indonesia, tak ada aplikasi asli Indonesia yang bertengger. Berturut-turut, aplikasi Android yang paling laris yaitu WhatsApp, Facebook Messenger, Instagram, Facebook Lite, SHAREit, BBM, UC Browser, Facebook, Mobile Legend, dan Grab. Aplikasi Go-Jek, startup harus puas berada di posisi ke-13. Urutan ke-13 sebagai urutan paling atas bagi aplikasi buatan Indonesia. Selepas Go-Jek, di posisi ke-17 ditempati oleh Tokopedia.

Baca juga:Gejolak Baru Gojek

Dari empat aplikasi papan atas di Indonesia tersebut, semuanya dikuasai oleh Facebook. Facebook sendiri, sebagai suatu layanan media sosial, merujuk data yang dirilis Statista, memiliki 77,73 juta pengguna yang berasal dari Indonesia pada tahun lalu. Pendapatan rata-rata per pengguna Facebook di seluruh dunia pada kuartal IV-2016 sebesar $4,83. Ini artinya pengguna dari Indonesia diperkirakan menyumbang $375,43 juta. Facebook sukses mendulang pasar Indonesia yang besar.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya yang pasarnya digarap oleh pemain luar. Negara tetangga Malaysia, Singapura, maupun Thailand, sukses pula digenggam oleh pemain-pemain global, terutama dalam segmen aplikasi. Data dari Similiar Web mengungkap, di Malaysia aplikasi WhatsApp dan Facebook Messenger menjadi aplikasi teratas di negeri jiran. Menariknya, startup ride-sharing negeri jiran bernama Grab, sukses merasuk menempati urutan ke-3. Selebihnya, tak ada nama-nama pemain lokal yang bercokol di 10 besar aplikasi paling top di Malaysia.

Thailand juga mengalami hal yang sama, di Negeri Gajah Putih itu, aplikasi-aplikasi Android yang berkuasa antara lain Facebook, YouTube, Facebook Messenger, Google Play, Google, Chrome, Instagram, ZenUI, dan terakhir 360 Security. Singapura justru tidak terlalu buruk, ada tiga aplikasi lokal mereka dari 10 besar dari aplikasi Android paling populer, antara lain Health 365, oBike, dan DBS Paylah.

Pengalaman Indonesia dan beberapa negara tetangga menunjukkan aplikasi lokal memang masih menjadi tamu di negerinya masing-masing. Lalu, bagaimana harus menyikapinya?

Infografik Apps Global VS Lokal

Sikap Pemerintah

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, dalam sebuah acara Ngopi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, mengungkapkan bahwa “tidak perlu semuanya harus di Indonesia.” Rudiantara mengingatkan bahwa perlu adanya redefinisi kedaulatan terutama di bidang teknologi digital. Ia mencontohkan bagaimana William Tanuwijaya sukses memegang kontrol Tokopedia meskipun perusahaan itu disuntik dana dari berbagai investor global.

“Kontrol Tokopedia walaupun ada Alibaba masuk, walaupun ada Jepang, masih ada di tangan William. Nasionalisme itu tidak hanya chauvinisme, artinya nasionalisme itu harus semuanya saya. [...] Kita harus meredefinisi kedaulatan apa. Sektor yang lain berbeda kedaulatan dengan yang lain. Contoh minerba (mineral dan batu bara) ditujukan dengan nilai tambah, nilai tambahnya harus tinggal di Indonesia (sektor digital tidak bisa diperlakukan sama),” ucap Rudiantara.

Baca juga:Lazada dan Tokopedia dalam Cengkraman Alibaba

“Pertambangan sangat lokal prosesnya, kalau namanya teknologi atau digital kan sudah global,” tambahnya.

Rudiantara terlihat optimistis menyongsong perusahaan digital lokal bertarung dengan global. CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kendala yang menghinggapi perusahaan digital Indonesia, terutama yang tengah dibangun, bersaing dengan perusahaan digital global, mulai dari jaringan hingga rekam jejaknya. Persoalan ini pun dialami oleh Tokopedia saat dibangun delapan tahun lalu.

“(Tokopedia) ditakdirkan untuk gagal sebelum mulai sebetulnya,” ucap William.

Saat Indonesia masih akan meredefinisi soal kedaulatan dalam persaingan dunia digital. Negara raksasa seperti Cina sudah memutuskan sikap tegas. Cina satu negeri yang sukses mengamankan dunia digitalnya dari serbuan perusahaan digital asing. Bermodal 731,25 juta pengguna internet per Desember 2016 lalu, Cina merupakan ladang subur di dunia digital. Namun, alih-alih membuka keran bagi pemain global, pemerintah Cina melalui “The Great Firewall of China,” berani melakukan proteksi. Hasilnya, nama-nama seperti Alibaba, Tencent, dan Weibo, sukses menjadi raksasa digital, bukan hanya di Cina tapi juga di dunia.

Baca juga:Tembok Cina di Dunia Maya

Cina memang jadi contoh yang teramat tinggi dan berani. Sementara itu, konsumen di Indonesia yang sudah dimanjakan dengan layanan aplikasi ponsel pintar buatan luar, dari mulai membalas email, memanfaatkan kemudahan dari layanan Google Maps dan lainnya. Memang kemudahan dan kenikmatan semua itu tak bisa diukur dengan uang atau soal bisnis semata yang dikemas dengan warna-warni nasionalisme. Namun, yang pasti saat ini semua kenikmatan konsumen itu belum dapat banyak dihadirkan oleh pemain lokal.

Baca juga artikel terkait APLIKASI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra