tirto.id - Banyak kelakar muncul sejak Presiden Joko Widodo melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Dengan latar belakangnya sebagai pendiri Gojek--perusahaan ride-sharing--, Nadiem dinilai akan mengubah sistem pembayaran SPP melalui Gopay lalu memperoleh cashback jika pembayaran dilakukan penuh setahun. Atau, pelajar di penjuru negeri hanya boleh diantar oleh Goride dan Gocar, bukan orangtua.
Pendek kata, berdasarkan guyonan di dunia maya, Nadiem diprediksi akan mengubah Kemdikbud menjadi Go-Dikbud, merujuk pada penamaan layanan-layanan Gojek.
Presiden mengatakan bahwa penunjukan Nadiem menjadi Mendikbud dilakukan agar ia “membuat terobosan-terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, yang siap kerja, siap berusaha, yang me-link and match antara pendidikan dan industri.”
Selama ini dunia pendidikan dan industri tidak berkesinambungan dengan baik. Giri Kuncoro, Software Engineer Gojek mengakui hal tersebut. Katanya, mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi belajar ilmu dasar, sementara industri telah melangkah lebih jauh, apalagi jika terkait dengan dunia teknologi yang perkembangannya begitu cepat.
Maka, tatkala mahasiswa lulus dan terjun ke lapangan, mereka diduga akan sukar mengejar keinginan industri. Di Gojek sendiri, programmer yang baru lulus kuliah umumnya akan diikutkan dalam pelatihan khusus dalam beberapa bulan.
Penunjukkan Nadiem sebagai Mendikbud, salah satunya, bertujuan untuk mengatasi alasan ini. Selain itu, melalui latar belakang teknologi yang dimiliki, Nadiem diyakini akan mampu membuat terobosan di bidang pendidikan melalui keahliannya itu.
Lantas, teknologi seperti apa yang dapat dimanfaatkan Nadiem?
Dari Supercomputer hingga WhatsApp
Dalam publikasi Departemen Pendidikan Inggris berjudul “Realising the potential of technology in education: A strategy for education providers and the technology industry” (PDF, 2019) menyebut praktik penggunaan teknologi guna mendukung pembelajaran, baik menggunakan hardware maupun software (aplikasi) diistilahkan sebagai EdTech alias Education Technology.
Dalam EdTech tidak ada teknologi khusus seperti apa yang dapat membantu proses belajar mengajar. Publikasi itu menyebut teknologi yang tepat adalah yang dapat mengakomodasi kebutuhan. Di Inggris, teknologi yang dipakai guna mendukung pendidikan beragam, tidak sama satu institusi pendidikan dengan lainnya.
Bolton College, misalnya, menggunakan supercomputer IBM Watson untuk menciptakan asisten digital bernama Ada. Klaim departemen pendidikan Inggris, Ada mampu menjawab lebih dari 2.500 ragam pertanyaan dan sanggup melayani lebih dari 11.000 mahasiswa Bolton College.
Mengapa Ada diciptakan Bolton College? Jawabannya sederhana: para pengajar tidak dapat menemani setiap saat mahasiswanya. Di sisi lain, para mahasiswa kadang terlecut ingin belajar di jam-jam luar kelas. Ada bagaikan Google Assistant ataupun Siri, tetapi spesifik menjawab kebutuhan pembelajaran dan dapat digunakan kapanpun.
Selain Ada, sistem visualisasi 3D juga digunakan dalam pembelajaran di Inggris. Adalah University of Wolverhampton yang melakukannya. Sistem ini dimanfaatkan pada pembelajaran anatomi makhluk hidup, menggantikan visualisasi tradisional. Lalu, di Highfurlong School, yang menjadi tempat anak-anak berkebutuhan khusus sekolah, assistive technology, seperti text-to-speech yang terdapat pada iPhone, dimanfaatkan.
Sebagaimana diwartakan Computer Weekly, Inggris tidak main-main mendukung dunia pendidikannya dengan teknologi. Kementerian Pendidikan Inggris menggelontorkan dana senilai £10 juta atau lebih dari Rp180 miliar untuk penciptaan teknologi yang mendukung pendidikan. Damian Hinds, Menteri Pendidikan Inggris, menyebut “kebijakan ini hanyalah langkah awal dalam memastikan sektor pendidikan mampu memanfaatkan semua peluang yang tersedia melalui EdTech.”
Tentu, pemanfaatan teknologi bagi pendidikan tidak hanya dilakukan Inggris. Di Nairobi, Ibukota Kenya, misalnya, sekolah dasar memanfaatkan teknologi khusus bernama Tusome: semacam sistem analisis performa pengajaran.
Tatkala guru sedang mengajar, ada pengawas yang menilainya dan memasukkan data kinerja pengajaran pada Tusome. Data kemudian diolah secara mandiri oleh Tusome dan jika dirasa kurang, sistem tersebut lantas mengeluarkan analisisnya demi meningkatkan pengajaran.
Tusome sendiri dibuat atas pendanaan USAID senilai $74 juta pada pemerintah Kenya dan kini telah digunakan pada 23.000 sekolah negeri dan 1.500 sekolah swasta.
Di India, teknologi yang dipakai untuk mendukung pendidikan berbeda. Sebagaimana dilaporkan Forbes, India merupakan salah satu rumah terbesar bagi anak-anak. Paling tidak, terdapat 430 juta anak-anak di India dan mayoritas berada di wilayah pedalaman India. Masalahnya, sekolah-sekolah di pedalaman India kekurangan guru. Menurut data, ada 97.273 guru yang mengajar sendirian di berbagai sekolah di pelosok India.
Guna menemani guru-guru tunggal di tiap sekolahannya itu, pemerintah lantas menyediakan interactive smart-boards, yang menyediakan beragam bahan pendidikan. Tatkala guru tunggal sedang mengajar langsung di kelas A misalnya, interactive smart-boards “mengajar” di kelas B.
Sementara itu, di Pakistan, teknologi yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan belajar mengajar memanfaatkan aplikasi sehari-hari: WhatsApp.
Sebagaimana ditulis Qudsia Anwar Dar dalam papernya berjudul “Use of Social Media Tool 'Whatsapp' in Medical Education,” mahasiswa kedokteran King Edward Medical University Lahore, Pakistan, memanfaatkan WhatsApp untuk saling bertukar informasi, khususnya tentang Ophthalmology.
Pemanfaatan WhatsApp pun dilakukan guru-guru sekolah dasar di kawasan terpencil Pakistan, dengan menciptakan sistem knowledge-sharing peer-to-peer antara guru via WhatsApp. Hal tersebut menandakan, untuk mendukung pendidikan tidak perlu teknologi yang canggih.
Bahkan, di beberapa daerah lain di dunia, penyediaan teknologi dasar masih sangat penting dilakukan. Misalnya terlihat pada SMA Negeri 1 Agats, Kabupaten Asmat, Papua.
Robertus Wandu Ubah, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Agats, mengatakan sekolahnya sangat membutuhkan komputer dan koneksi internet untuk siswa, terutama dalam rangka Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Menurutnya, pelaksanaan UNBK terbantu oleh WiFi gratis yang diberikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan beberapa unit komputer yang jumlahnya terbatas dan mesti dilakukan secara bergantian.
Tatkala UNBK berlangsung, menurut Robertus, koneksi internet lancar. Namun, “kalau saat-saat kayak gini (tidak berlangsung UNBK), susah. Kecuali subuh, bisa. Selain waktu tersebut, susah sekali. Untuk download saja sulit sekali. Berat. Padahal kita perlu untuk cari materi (pelajaran),” tutur Robertus.
Bagi pihak sekolah, internet digunakan untuk berkoordinasi dengan pusat. “Data-data terkait pendidikan harus dikirim. Seperti data BOS, absensi murid dan guru juga harus dikirim ke pusat,” kata Robertus.
Dalam laporan The Economist berjudul “In Poor Countries Technology Can Make Big Improvements To Education” dijelaskan bagaimana masalah utama pendidikan dari sisi pengajar. Antara lain terlalu sedikit, terlalu bodoh, atau bahkan tidak ada pengajar sama sekali.
Pengajar yang terlalu sedikit atau bahkan tidak ada, dapat sedikit diminimalisir permasalahannya seperti penggunaan interactive smart-board ala India. Sementara itu, penciptaan aplikasi digital Ada dan sistem analisis pengajaran pun bisa mengakali kekurangan pengetahuan yang dimiliki guru.
Selain dengan cara-cara di atas, pemanfaatan teknologi demi mendukung pendidikan juga dapat dilakukan dengan “cara sederhana”: memberikan laptop pada siswa.
Binbing Zheng, Assistant Professor di Michigan State University, dalam tulisannya di The Conversation, menyatakan program one-to-one, suatu program yang memberikan laptop pada tiap siswa di Amerika Serikat, yang diinisiasi oleh Maine Learning Technology Initiative (MLTI) pada 2002, terbukti sukses memajukan para siswa. Hal itu tampak dari nilai yang baik pada mata pelajaran sains, menulis, matematika, hingga bahasa Inggris.
Alasan kesuksesan itu sederhana saja: laptop adalah gerbang abad 21, abad telekomunikasi dan informatika.
Editor: Eddward S Kennedy